REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rangga Pantu Asmara Jingga *)
Mahalnya biaya politik sering kali disebut-sebut sebagai biang keladi korupsi yang dilakukan para calon kepala daerah. Mahar politik, dana saksi, hingga politik uang saat kampanye, kabarnya merupakan deretan ongkos besar yang harus disediakan oleh para petarung pilkada. Ongkosnya pun berbeda-beda antarmasing-masing daerah. Semakin luas cakupan wilayah, katanya, semakin besar pula dana yang mesti disediakan.
Gara-gara mahalnya biaya politik ini, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Zulkifli Hasan pernah menyebut, operasi tangkap tangan calon kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bak tinggal menunggu waktu saja. Zulkifli yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional mengatakan, biaya untuk membayar saksi di daerah lumbung suara besar bisa mencapai miliaran rupiah.
Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, misalnya, masing-masing dibutuhkan sekitar Rp 180 miliar hanya untuk membayar saksi. Padahal, penggunaan saksi hanya diperlukan untuk memastikan pemungutan dan penghitungan suara di setiap TPS berjalan adil.
Ada calon kepala daerah yang ngotot menyiapkan puluhan, bahkan ratusan ribu saksi, karena takut dicurangi. Ada pula calon kepala daerah yang bersikeras menyogok pemegang hak suara karena takut pesaingnya melakukan hal serupa.
Sementara untuk memperoleh dananya mereka harus putar otak. Tak sedikit yang akhirnya mengambil jalan pintas melawan hukum, dengan korupsi.
Zulkifli mengusulkan supaya diatur ketentuan yang membolehkan para kandidat atau partai politik mencari uang secara sah guna membiayai ongkos pilkada, yang katanya sangat mahal itu. Namun, sejatinya fenomena politik uang, mahalnya biaya politik, bagi orang awam, bagi kalangan millenial, sungguh memuakkan. Karena dijejali berita-berita politik uang, kalangan muda boleh jadi memandang dunia politik, pemilu, lebih tampak layaknya dunia para mafia.
Mereka yang ingin menang harus punya uang, tak peduli dari mana uang itu, apakah dengan uang pribadi, merampok rakyat, atau tipu sana-sini. Tidak berlebihan tampaknya, jika disimpulkan bahwa politik biaya tinggi sesungguhnya hanya untuk para calon kepala daerah "kelas teri".
Istilah "kelas teri" adalah ungkapan untuk golongan rendah. Dalam konteks calon kepala daerah, 'kelas teri" dapat diartikan mereka yang tidak dikenal rakyat, mereka yang harus memenangi hati rakyat dengan uang banyak, mereka calon pemimpin "kacangan".
Menjadi pemimpin adalah hak semua warga negara. Tapi, seharusnya mereka yang ingin menjadi pemimpin harus tahu diri.
Merangkak lah dari bawah, dari tataran akar rumput, memperkenalkan diri kepada rakyat. Mereka calon pemimpin tidak etis jika ujug-ujug tampil di baliho besar mendeklarasikan diri sebagai calon kepala daerah, sementara rakyat dibuat "melongo" atas sosoknya.
Dari mana logikanya rakyat menyerahkan nasib kepada orang "asing" yang kiprahnya tidak dikenal. Ada pemikiran, seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang lahir dari "rahim" rakyat. Lahir dari "rahim" rakyat adalah mereka yang tumbuh dan besar bersama rakyat, merasakan setiap tetesan keringat rakyat.
Mereka tahu betul problematika rakyat karena sehari-harinya berkecimpung bersama rakyat. Pemimpin seperti ini tentu saja dikenal baik oleh rakyat.
Jika sudah dikenal rakyat, politik biaya mahal hanya omong kosong belaka. Sebab, rakyat pasti memilihnya tanpa perlu dianggap murahan karena hanya dibayar Rp 100 ribu - Rp 200 ribu. Rakyat akan beramai-ramai sukarela menjadi saksi bagi mereka di setiap TPS, tanpa perlu diongkosi uang makan atau nasi bungkus.
Pemimpin seperti ini adalah yang menjadi kerinduan kita semua dan akan menjawab betapa mahalnya biaya politik hanya lah omong kosong belaka.
Proses hukum
Belum lama ini, KPK menyatakan akan mengumumkan calon-calon kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Tidak ada yang begitu istimewa dengan pernyataan KPK ini, sebab penangkapan, penetapan seseorang sebagai tersangka korupsi memang menjadi tugas lembaga antirasuah.
Yang jadi masalah adalah banyaknya calon kepala daerah yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Sampai saat ini sedikitnya sudah enam kandidat yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Lima di antaranya dicokok dalam operasi tangkap tangan, yakni Bupati Jombang (petahana) sekaligus calon Bupati Jombang 2018-2023 Nyono Suharli Wihandoko pada 3 Februari 2018; Bupati Ngada Marianus Sae yang menjadi Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 11 Februari 2018; Bupati Subang petahana dan calon Bupati Subang 2018-2023 Imas Aryumningsih pada 13 Februari 2018.
Selanjutnya ada Bupati Lampung Tengah Mustofa yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung 2018-2023 yang diamankan pada 15 Februari 2018; terakhir ada mantan Wali Kota Kendari sekaligus calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun pada 28 Februari 2018.
Satu lainnya Calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus ditetapkan sebagai tersangka 16 Maret 2018. Ahmad Hidayat disangkakan terlibat korupsi saat menjabat Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010.
Ukuran sedikit atau banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi tentu tidak bisa diukur dari perbandingan banyaknya jumlah provinsi, kabupaten/kota di Indonesia, tetapi diukur dari jutaan rakyat yang diwakilinya. Sehingga, sebetulnya satu saja calon kepala daerah tersangkut korupsi, sudah mewakili pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga."
Menteri Koordinator bidang Hukum, Politik dan Keamanan Wiranto mengimbau, KPK untuk menunda pengumuman calon kepala daerah itu sebagai tersangka. Alasan Wiranto, pengumuman seorang kandidat sebagai tersangka akan membuat situasi menjadi gaduh.
Dalam konteks asas praduga tak bersalah, penetapan kandidat kepala daerah sebagai tersangka akan merugikan elektabilitas kandidat bersangkutan. Padahal, yang bersangkutan belum terbukti bersalah.
Selain itu, KPK bisa dinilai politis atas penetapan itu. Sebab, kebetulan saja pengumuman status tersangka para calon kepala daerah itu dilakukan KPK saat mereka telah ditetapkan KPU sebagai calon kepala daerah Pilkada serentak 2018.
Imbauan Menkopolhukam agar KPK menunda pengumuman seseorang sebagai tersangka KPK, suka atau tidak, dapat dinilai publik sebagai bentuk intervensi, karena setidaknya berpotensi membuat KPK berpikir ulang atau menimbang imbauan itu. Meskipun pada akhirnya KPK tetap pada keputusannya mengumumkan para tersangka.
Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi menilai, jika status tersangka seseorang ditunda, mereka bisa memanfaatkan kevakuman hukum untuk menghilangkan barang bukti atau kabur ke luar negeri, atau yang lebih taktis bisa menggunakan kekuasaannya ketika terpilih sebagai kepala daerah untuk mengamankan diri.
Yusa menilai, keputusan KPK tetap mengumumkan calon kepala daerah tersangka sudah tepat. Terlebih, dalam peraturan KPU, kandidat yang berstatus tersangka tetap diberikan hak mencalonkan diri sebagai kepala daerah selama belum ada putusan tetap pengadilan.
Namun, calon itu harus mengumumkan bahwa dirinya adalah tersangka kasus hukum, dan soal keterpilihannya akan diserahkan kepada rakyat sebagai pemegang hak suara. Jika ditelisik, aturan KPU ini dikeluarkan sudah mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Sejatinya tidak ada yang salah dengan peraturan KPU membolehkan seorang tersangka mencalonkan diri sebagai kepala daerah, toh yang berangkutan diwajibkan mengumumkan kepada publik soal statusnya itu, dan keterpilihannya juga diserahkan kepada publik.
Pada bagian lain, sebetulnya tidak ada yang salah juga dengan rencana KPK mengumumkan calon kepala daerah sebagai tersangka. Sepanjang langkah KPK sesuai dengan tupoksi tugas dan wewenangnya, serta KPK dapat membuktikannya, maka penetapan tersangka sah-sah saja. Jika seseorang merasa dirinya tidak bersalah, dan atau menilai KPK politis, maka dapat ditempuh jalan praperadilan.
Atas penjabaran polemik itu, publik bisa menilai, mana yang lebih banyak mudaratnya, pengumuman atau penundaan pengumuman status tersangka. Berpolitik tentu harus taat hukum. Mahalnya biaya politik tidak bisa menjadi pembenaran praktik korupsi atau melanggar hukum.
Biaya politik tidak akan tinggi jika calonnya dekat di hati rakyat. Biaya politik tinggi hanya untuk calon pemimpin "kelas teri"
*) Pewarta Antara