Oleh: Dr Fuad Bawazier MA
Pertama, bahwa benar Indonesia telah masuk kedalam G-20 karena PDB (GDP) pada urutan ke 16 dengan nilai USD1Triliun (2017). Dengan jumlah penduduk pada urutan No. 4 setelah China, India, dan USA, idealnya Indonesia pada urutan No.4 PDB. Sedangkan GDP berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), Indonesia berada pada ranking 8. Berbagai forecast memperkirakan baru pada tahun 2050 PDB Indonesia bisa berada pada nomor urut 4, sesuai dengan jumlah penduduknya.
Meskipun GDP Indonesia pada urutan ke-16, tetapi GDP percapitanya masih pada urutan ke-116, sedangkan GDP – PPP per-capita ranking ke-100. Sementara nominal Gross National Income (GNI) Indonesia pada ranking 17 tetapi GNI/capita masih ranking 147 dan GNI/capita berdasarkan PPP pada ranking 122.
Dengan jumlah penduduk 260 Juta, maka nominal GDP per-capita USD 3850 sedangkan GNI/capita USD 3400, artinya terdapat sekitar 10% GDP yang dimiliki asing. GDP maupun GNI percapita ini akan lebih buruk lagi apabila dibuat kluster per kluster mengingat besarnya ketimpangan kekayaan yang terjadi di Indonesia, dimana 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45,5% kekayaan nasional, dan 10% terkaya menguasai 75% kekayaan nasional.
Lebih spesifik lagi adalah total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia meningkat tajam dari USD 22Miliar (2006) menjadi USD119 Miliar (2017) atau meningkat 5,5 kali dalam 10 tahun. Sementara itu pertumbuhan 40% orang terkaya dalam 10 tahun 317%, atau 4 kali pertumbuhan nasional. Ketimpangan ini adalah ketidakadilan yang merupakan tantangan nyata bagi Presiden Jokowi.
Sedangkan berdasarkan data BPS September 2017, penduduk Indonesia miskin adalah mereka yg pengeluarannya per orang per hari dibawah Rp 387,160. Artinya pengeluaran per hari hanya Rp12.905,- alias Kurang dari USD1 per hari. Angka yang tdk manusiawi.
Sedangkan kalau menggunakan angka kemiskinan yang dipakai Bank Dunia yaitu pengeluaran dibawah USD2/day (2014), penduduk Indonesia yang miskin tidak kurang dari 100juta jiwa. Inilah ketimpangan dan kemiskinan nyata yang dihadapi rakyat Indonesia yang harus diurus oleh pemerintah daripada menonjolkan kebanggaan semu sebagai anggota G20.
*****
Kedua, swasembada beras masih semu dan swasembada pangan masih jauh dari harapan. Dalam rentang waktu 2000-2015 Indonesia selalu import beras dengan total 15,4 juta ton atau rata-rata 1 Juta ton/tahun dengan nilai USD5,83Miliar atau Rp78,7Triliun (kurs Rp13.500). Tidak ada import beras dalam tahun 2016 dan 2017 tetapi kembali import 500.000 ton dalam tahun 2018.
Data tentang produksi dan stock beras serta konsumsi beras di Indonesia dari waktu ke waktu sering simpang siur antar instansi pemerintah. Kementerian Pertanian cenderung melaporkan adanya surplus beras sementara Kementerian Perdagangan cenderung sebaliknya (defisit) sehingga mendorong adanya import beras.
Dibalik import beras yang relatif kecil tadi sebenarnya Indonesia semakin bergantung pada pangan import yaitu biji gandum (wheat grain) yang sebagian besar dikonsumsi sebagai substitusi beras. Artinya bila tidak ada impor wheat grain, Indonesia masih harus import beras lebih besar lagi.
Dalam tahun 2015 dan tahun 2016 Indonesia import biji gandum masing-masing sebesar 7,4 Juta ton dan 10,5 Juta ton atau naik 42% sedangkan dalam tahun 2017 impor biji gandum 11,5Juta ton (senilai USD 2,6Miliar) atau kenaikan sebesar 9% dari tahun 2016. Biji gandum ini diolah menjadi tepung terigu (wheat flour) di 25 pabrik pengolah (flour mills) yang 80% berlokasi di pulau Jawa, untuk berbagai produk seperti bakery, noodle, dan biscuit oleh penguasaha kecil dan menengh (small and medium enterprises) sebesar 66 %)dan oleh industri besar dan moderen (big and modern industry) sebesar 34%.
Pengertian atau slogan diversifikasi pangan juga sering ditafsirkan dan diarahkan kepada alternative lain dari beras, bahkan yang bersumber dari bahan pangan import. Pergeseran (shifting) ke pangan import khususnya gandum, dalam jangka panjang akan semakin melemahkan ketahanan pangan nasional sebab Indonesia belum siap untuk menanam gandum. Berbeda dengan ketergantungan pada import beras yang masih berpeluang diatasi dengan produksi sendiri.
Ketiga adalah soal utang pemerintah yang selama 3 tahun lebih pemerintahan Jokowi naik sekitar Rp 1200Triliun, jauh melebihi kenaikan pendapatan pajak yang stagnan sebagai ukuran kemampuan bayar utang. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara yang kini berjumlah Rp 4000triliun atau sekitar 29,5% dari PDB adalah masih jauh dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60% PDB, dan jauh pula dibawah ratio utang negara-negara lain. Utang Jepang yang sering dijadikan pembanding ratio utangnya terhadap PDB jauh diatas 200% tetapi Jepang mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu : 1. Utangnya kepada rakyatnya sendiri dan kepada Bank Sentral Jepang dengan ratio masing-masing sekitar 50% 2. Utangnya dalam mata uangnya sendiri yaitu Yen. 3. Bunganya sangat rendah hanya sedikit diatas 1%. Bandingkan dengan bunga utang Indonesia yang tertinggi di Asia dan bahkan sebagiannya masih 2 digit.
4. Kredit rating jepang A+ alias sangat secure sementara rating Indonesia BBB. 5. Meskipun utang Jepang tinggi tetapi dari kaca mata riil ekonomi Jepang mempunyai net international investment positions USD 2.8 Triliun yang berarti memiliki net external assets positif alias bangsa kreditor.
Kenyataan ini berbeda dengan Indonesia yang net international investmen positionnya negatif sekitar USD 400Miliar alias mempunyai net external liabilities atau benar-benar negara dengan neraca sebagai negara debitor.
Pemerintah tidak membandingkan tax ratio Jepang yang 31% PDB sementara tax ratio Indonesia kurang dari 11% atau praktis yang terendah di Dunia. Pemerintah juga tidak membandingkan dengan ratio APBN terhadap PDB di Indonesia yang amat rendah dibandingkan dengan ratio yang sama dari negara- negara lain yang sering dijadikan pembanding.
Begitu pula dengan debt service ratio di Indonesia yang 40% atau tertinggi di Asia Tenggara, sementara batas yang dianggap aman maksimal 25%. Sementara itu sekitar 41% utang negara dalam valuta asing. Dengan average time to maturity 9 (Sembilan) tahun dan yang bertenor (jatuh tempo) 5 (lima) tahun sebesar 40% nya, akan menjadi beban berat APBN dalam 5 (lima) tahun kedepan.
*****
Kekhawatiran lain adalah membengkaknya utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas. Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 (lima) hal, yakni;
1.Neraca perdagangan yang cenderung defisit. Dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini yaitu dari Desember sampai dengan Februari 2018 mengalami defisit total USD 1,1Miliar atau rata rata USD 364juta.
2.Kenaikan cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan hot
money yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri.
3. Tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan kedepan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
4. Sektor industri yang merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017).
5. Kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu 2019 .
Cepat atau lambat pasar akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
Jakarta, 16 Maret 2018.
*Fuad Bawazier MA, mantan dirjen pajak dan menteri keuangan.