REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Bobby Eka Gunara, Guru Besar Fisika Matematik FMIPA ITB
Salah satu karya monumental mendiang Stephen William Hawking (Fisikawan Teoritik Inggris, 1942-2018) yang belum banyak diketahui khalayak adalah prediksinya bahwa alam semesta tempat kita tinggal memungkinkan berawal dari ketakberhinggaan (singularitas).
Ketakberhinggaan ini berarti bahwa besaran-besaran geometri yang menggambarkan ruang waktu kita, yaitu faktor kelengkungan Riemann, meledak atau tidak dapat diukur ketika awal alam semesta terjadi.
SW Hawking memublikasikan prediksi singularitas tersebut sekitar tahun 1966 dan melengkapinya bersama koleganya matematikawan Inggris, Roger Penrose, tahun 1970. Prediksi Hawking tentang adanya singularitas melengkapi khazanah pengetahuan tentang sifat-sifat geometri alam semesta yang digambarkan oleh teori gravitasi Einstein (teori relativitas umum). Adapun dalam proses memprediksi ketakberhinggaan di awal alam semesta, Hawking mengambil beberapa asumsi.
Pertama, geometri alam semesta berdimensi empat (disebut ruang waktu) memenuhi persamaan gravitasi Einstein. Ini berarti bahwa sifat-sifat geometri ruang waktu dipengaruhi oleh distribusi materi di dalam ruang waktu tersebut.
Distribusi materi ini memenuhi hukum kekekalan energi yang bersifat tensorial di mana di dalamnya terkandung persamaan kontinuitas. Sebagai contoh bila materi alam semesta hanya terdiri atas fluida ideal, hukum kekekalan ini dapat diwujudkan dalam bentuk persamaan Navier-Stokes.
Kemudian, bila sifat intrinsik, misalnya spin dari materi dilibatkan, syarat tanpa batas perlu ditambahkan pada geometri ruang waktu agar dinamika materi menjadi nihil di sekitar daerah yang sangat jauh.