REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kuntoro Boga Andri *)
Skeptisisme adalah sifat tidak mau menerima dengan mudah dan selalu meragukan sesuatu, jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Karena itulah untuk para skeptik ini perlu diberi penjelasan dan informasi yang akurat untuk mengklarifikasi cara pandangnya.
Silang pendapat dan klaim kebenaran terkait perdebatan impor beras dan kebijakan pangan mewarnai media massa dan komunikasi publik dalam sebulan terakhir. Di balik hiruk pikuk ini, publik mengharapkan semua opini yang muncul bermuara pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok, golongan, konglomerasi, ataupun latar belakang politik tertentu. Pemerintah tentu memiliki keinginan membenahi sektor hulu (produksi) maupun hilir (distribusi dan pasar).
Pernyataan beberapa pakar di media nasional dalam minggu-minggu terakhir terkait subsidi benih, impor, inflasi dan yang meragukan program-program dan data-data resmi Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS), perlu kita pertanyakan karena terkesan selalu menyalahkan pemerintah.
Kebijakan untuk siapa
Kebijakan pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand adalah untuk memastikan keamanan pangan melaui pemenuhan stok cadangan beras pemerintah. Hal Ini tidak perlu memicu polemik lebih luas, meskipun terjadi penolakan oleh petani, pemerintah daerah, dan DPR.
Mereka menolak karena khawatir kejadian pahit 2017 terulang. Saat itu, harga gabah di seluruh sentra produksi padi nasional jatuh saat panen raya, berkisar antara Rp2.800 sampai Rp3.400 per kilogram gabah kering panen (GKP). Wajar bila kegundahan terhadap dampak impor tersebut diekspresikan melalui penolakan di berbagai daerah.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, panen di berbagai daerah awal Januari 2018 mempercepat penurunan harga beras di Februari 2018 (Tribunnews, 1 Februari 2018). Dilaporkan, harga gabah di berbagai daerah sudah turun antara Rp600-Rp1.000 dibanding Januari 2018. Berbagai media juga menyatakan, stok beras di berbagai pasar induk sangat aman karena terus menerima pasokan. Akibatnya, saat ini harga beras pun turun di kisaran Rp400-Rp1.000. Di Pasar Induk Cipinang, harga beras yang pertengahan Januari menyentuh angka Rp11.500, turun menjadi Rp10.500 (Okezone, 4 Februari 2018).
Pada Februari 2018, (BPS) mencatat, Indeks Harga Konsumen (IHK) meningkat 0,17 persen secara bulanan (month-to-month). Dengan kata lain, tingkat inflasi Februari berada di angka 0,17 persen. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, inflasi ini tercatat 3,18 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi Februari 2018 sebetulnya mampu ditekan dibanding Januari 2018. Inflasi ini juga masih rendah dibanding Februari 2017 yakni 0,23 persen. Bahkan, secara tahunan inflasi ini lebih baik dari tahun 2017 yang berada diangka 3,83 persen. Beras sendiri mampu menekan andil inflasi hingga 0,04 persen terhadap inflasi Februari, menurun jauh dibanding bulan sebelumnya yang memberikan andil inflasi 0,24 persen terhadap inflasi Januari.
Siapa yang kita bela
Masalah pertanian dan pangan di negara manapun dilematis, antara membela petani yang lemah atau konsumen yang rentan. Pemerintah wajib mencukupi pangan nasional dengan alasan stabilitas dan keutuhan bangsa. Kebijakan yang diambil tidak boleh memiskinkan yang memproduksi pangan (petani) dan tidak boleh pula mensubsidi konsumen yang tidak miskin. Di Indonesia, mekanisme ini diatur melalui Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
Stabilisasi harga dilakukan melalui penyerapan gabah di saat panen raya dan harga jatuh. Operasi pasar dilakukan untuk menstabilkan harga beras, ketika harga melonjak naik. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan manajemen yang baik dalam rangkaian penyerapan gabah, stok, dan distribusi dari petani kepada konsumen.
Kementan bersama LAPAN telah memanfaatkan satelit landsat-8 untuk memantau data luas tanam dan panen padi detail sebaran spasial dan data tabular. Data citra satelit beresolusi 1 pixel setara 30x30 meter dan resolusi temporal 16 hari sekali. Melalui metode pengecekan data satelit tingkat kesalahan (error) yang dihasilkan semakin tipis, kurang dari 10 persen dan dilanjutkan dengan pengecekan petugas langsung ke lapangan, sehingga data yang dihasilkan makin berkualitas.
Secara nasional, Kementan memprediksi luas panen Januari 2018 sekitar 900 ribu hektare, Februari 2018 seluas satu juta hektare, dan Maret 2018 seluas 1,3 juta hektare. Bila dikonversi dalam produksi GKG, akan menghasilkan produksi nasional Januari sekitar empat juta ton, Februari lima juta ton, dan Maret 6,5 juta ton. Di luar itu, ada stok pemerintah (Bulog) sebesar 854.947 ton ditambah stok beras masyarakat yang jumlahnya jauh lebih besar dari stok yang dikelola pemerintah.
Skeptisme dan kritikan dari beberapa pakar dan pengamat yang selalu mempermasalahkan stok dan kenaikan harga beras, tidaklah benar. Tidak ada indikasi kekurangan stok beras nasional dan inflasi masih dalam batas wajar, bahkan mampu terus ditekan. Fluktuasi harga sejak Desember sampai Maret setiap tahunnya adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Saat ini jutaan petani yang kita bela haknya sedang menikmati keuntungan hasil panen mereka.
* Peneliti Utama Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Gelar PhD dari Kagoshima University – Jepang, dalam bidang Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Banyak melakukan penelitian ekonomi dan kebijakan pertanian dengan topik manajemen rantai pasok, pengembangan agribisnis, strategi pemasaran dan pengembangan wilayah/pertanian. Berpengalaman sebagai collaborating scientist, technical consultant dan project coordinator untuk the Indonesian FAO project, Bioversity International Bioversity Internasional (CGIAR Consortium), ILRI (International Livestock Institute), ACIAR (Australia), dan AVRDC (Taiwan) Project Development. Pernah menjabat sebagai Kepala Balai Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Balitbangtan Kementerian Pertanian. Saat ini, menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian.