Oleh: Maiyasyak Johan*
Hampir tak ada tempat atau tanah di muka bumi ini yang bukan menjadi milik suatu kaum (suku). Luas wilayah yang dimiliki dan dikuasai suatu kaum biasanya meliputi hutan, sungai dan juga laut yang berbatas atau bersempadan langsung dengan yang dikuasai oleh suku/kaum yang lain.
Demikian jugalah sebenarnya tanah-tanah yang ada di Indonesia ini, semua ada Pemiliknya, yakni kaum/suku yang ada di wilayah itu.Semua masyarakat yang mendiami tempat atau wilayah itu dalam perjalanannya kemudian berkembang menjadi satu kesatuan sosial dan politik (terdiri dari beberapa suku/kaum) lalu mendirikan negara dalam bentuk kerajaan, baik besar mau pun kecil.
Biasanya, kerajaan atau negara-negara itu mengidentifikasi dan di-identifikasi berdasarkan nama kaum yang menguasai wilayah itu. Sekalipun demikian, itu tidak berarti tanah dan hutan serta kekayaan alam milik kaum/suku lain yang ada dalam kerajaan ber-ubah menjadi milik kerajaan, melainkan tetap menjadi milik dari kaum/suku tersebut.
Jadi kerajaan atau negara itu hadir/berdiri untuk menjaga dan meneguhkan “kedaulatan suku-suku” yang ada, serta menjaga semua hak-hak sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kaum atau suku-suku yang ada di dalam kerajaan atau negara itu. termasuk tentunya kedaulatan wilayah kaumnya dijaga dan dilindungi dari kemungkinan dikuasai oleh para pendatang yang tidak dikehendaki.
Secara umum keadaan itu ditemukan dan berlaku di semua tempat di dunia ini tanpa terkecuali, termasuk di Indonesia.
Fakta sejarah membuktikan kebenaran itu. Untuk Indonesia misalnya, kita ketahui, bahwa setiap jengkal tanah, hutan dan laut yang ada adalah milik dari suku yang bernaung dalam berbagai kerajaan atau negara yang pernah ada, mulai dari Aceh, Sumatera Timur/Sumatera Utara, Jambi, Riau, Palembang, Bengkulu dan Lampung hingga Jawa, Betawi, Jawa Barat, Banten, Cirebon, Jawa Tengah, Jogyakarta, Jawa Timur, Madura, Bali dan seterusnya hingga ke Irian.
Itulah sebabnya semua negeri yang ada di dunia ini, tak terkecuali Indonesia, tanah dan wilayah yang ditempati oleh suatu kaum di identifikasi dengan nama suku atau kaum yang menempatinya.
Daerah Barat paling ujung Indonesia, yaitu Pulau Sumatera misalnya, di kenal sebagai tanah milik kaum/suku Aceh, di dalamnya ada suku Gayo dan Suku Melayu Tamiang serta perantau pribumi dari suku Melayu, Minangkabau, Mandailing, Karo dan Batak yang menegakan hukum: “DIMANA BUMI DIPIJAK DI SITU LANGIT DIJUNJUNG”.
Selain tegaknya Hukum “dimana Bumi berpijak di situ langit dijunjung” faktor agama Islam adalah perekat yang mengakibatkan tidak ada friksi yang terjadi atas kehadiran para perantau pribumi tersebut di atas, bahkan terjadi proses asimilasi dan akulturasi yang kuat baik melalui perkawinan maupun pertemuan adat serta kebiasaan, yang semuanya melahirkan hubungan yang harmonis dan persatuan. Dengan kata lain, itu semua terbangun karena Islam mempertemukan dan menaungi kehidupan bersama mereka.
Begitu juga hubungan antara sesama kerajaan atau negara (Islam) yang ada di Nusantara, semua berjalan dalam keadaan saling menjaga – tidak ada intervensi untuk menghegemoni atau mengeksploitasi serta menjajah negeri lainnya. Sehingga kita tidak mendengar ada catatan perang antara kerajaan islam yang satu dengan lainnya.
Kondisi yang harmonis di antara berbagai suku dan etnis yang hidup di nusantara di bawah naungan kerajaan Islam serta antara kerajaan dengan kerajaan lainnya itu mulai rusak sejak kedatangan para Penjajah dari eropah pada abad ke-15 ke atas.
Kerusakan itu terjadi karena orang eropah yang datang ke Nusantara ini ternyata bukan hanya untuk berdagang sebagaimana yang ditulis dalam berbagai buku sejarah yang disajikan kepada kita, melainkan mereka juga datang dengan semangat “Perang Salib”, yakni: “Gold, Glory and Gospel” yang dengan keserakahannya ingin mendominasi serta menguasai perdagangan dan wilayah kerajaan atau negara-negara di kepulauan nusantara.