Oleh: Maiyasyak Johan*
Apa yang menghambat kebangkitan kaum pribumi Indonesia? Ini adalah pertanyaan yang lahir sepanjang 'Tour D’ Sumatera - Aceh.
Faktor yang mendorong lahirnya pertanyaan di atas adalah saya menemukan dua kelompok anak muda yang berjuang - tanpa ada bantuan apapun dari financial institution tanpa ada dukungan dari pemerintah. Bahkan, potensial rawan keamanan, karena belum sanggup membayar biaya pengamanan, apalagi mengerahkan aparat keamanan.
Mereka adalah anak-anak muda pribumi, Islam , terdidik, cerdas, berani, energik dan memiliki optimisme yang kuat untuk menjawab tantangan kehidupannya - mengelola tanah miliknya dan kebun yg mereka sewa/bagi hasil milik orang lain - sembari mengelola sawah, ladang/kebun dan peternakan kecil milik sendiri. Tak ada yang mengeluh, semua optimis menjalani dan menyahuti tantangan kehidupannya. Itulah wajah putra-putra aceh, kaum pribumi Indonesia yg tak/belum tersentuh dukungan pemerintah yang bertemu dengan saya.
Yang satu kelompok, adalah alumni universitas Malikul Saleh dan alumni sebuah SMA serta dayah (pesantren). Mereka bersaudara, dan bersama-sama dengan saudara-saudara sepupu lainnya dengan modal dan teknologie terbatas mengelola tambak seluas 18 ha.
Sebuah tambak warisan yang telah ditinggal lebih dari 12 tahun karena orang tua mereka meninggal, dan mereka kelola kembali ketika mereka telah selesai menjalani pendidikan minimum.
Sedang yang satu lagi alumni UIN Jakarta, yang juga dengan keterbatasan modal dan teknologi, mengelola kebun sawit sewaan seluas 130-an ha. Selain sawah milik sendiri lahan juga diakai untuk berladang dengan bermacam tumbuhan. Mereka juga membuka ladang baru di wilayah kaki gunung Di Aceh Besar.
Sungguh kagum saya melihat mereka, karena tak ada mereka yg mengeluh, semua optimis.
***
Namun seorang sahabat yang berprofesi sebagai dokter gigi sekaligus mantan aktivis di Langsa yang mengunjungiku di desa itu bertanya: di mana peran pemerintah Kakanda? Mengapa KUR dan PNPM serta berbagai program pemerintah tidak menyapa mereka? Jika saja pemerintah memiliki keberpihakan kepada mereka kaum pribumi asli, anak-anak muda (aceh/Islam ini), maka mungkin saja 5 atau 10 tahun lagi kita akan memiliki petani sekaligus pengusaha tangguh yg menjemput kamajuan dengan konkrit dan membebaskan indonesia dari ketergantungan.
“Lihatlah bagaimana “tolol”nya cara pemerintah menjawab kekurangan beras dan menghadapi lonjakan harga kebutuhan pangan lainnya, seperti daging, gula, garam dan lain-lainnya. Mereka cuma tahu “import, import, import dan import”. Bukankah kebijakan ini jelas membunuh petani indonesia selain menutup pintu harapan dan kemajuan pertanian indonesia? Dan yg lebih aneh adalah kebijakan membuka sawah. Bukankah ini juga sia-sia? Apalagi sawah-sawah itu dibuka di wilayah yang masyarakatnya adalah melaut ((Nelayan),’’ katanya.
Dia kemudian menggerutu dan merasa sangat kesal. “Bukankah itu sia-sia dan menghambur-hamburkan uang saja? Selain kemungkinan korupsi? Sebab siapa yg akan mengerjakan sawah yang dibangun pemerintah itu? Selain harus membangun sistem irigasinya yang lagi-lagi memerlukan biaya. Mengapa tidak melakukan pencarian pemida berbakat, potensial seperti dua kelompok anak muda di atas - dan memberikan dukungan modal, teknologi, manejemen, dan irigasi pertanian mereka dan lainnya terutama membebaskan mereka dari para mafia pedagang perantara Cina yg tak pernah berhenti mempermainkan harga,’’ keluhnya lagi.
Tak hanya itu dia ‘setengah memprotes’ saya. “Sementara Kakanda juga pernah memberitahu kita-kita jika berbicara tentang Indonesia kita harus bicara Asia Tenggara dan kartel Cina perantau yang menguasai asia Tenggara. Untuk itu, saya harap kakanda bersedia turun untik ikut mendukung dan menjadikan anak-anak muda ini sebagai pemilik sah negeri ini bisa terbebas dari eksploitadi multi aspek yang terstruktur dan didukung tumbuhnya.”
Saya tersentak mendengar itu. Saya paham sekali, merekalah sebenarnya pemuda harapan kita, sebab mereka tidak mau melayani konglomerasi dan investasi dengan cara bekerja pada mereka. Sebab, kita sangat paham bila investasi itu cuma melahirkan suatu struktur masyarakat baru di Indonesia, yaitu kelompok masyarakat upah minimum.
*****
Sungguh kita tidak paham, bagaimana pemerintah dan para ekonom kita merasa berhasil dengan semua investasi yang ada. Padahal nyata investasi itu telah mengeruk kekayaan alam, meninggalkan kerusakan lingkungan hidup, dan melahirkan struktur masyarakat tertindas yang sangat luas.
Selagi memandangi para anak muda, dokter gigi muda dari langsa itu melanjutkan perkataannya, “Kami undang kakanda untuk mendukung kami, Mari kita dukung anak-anak muda pilihan kita ini melakukan perjuangan menjemput cita-cita kemerdekaan membebaskan Indonesia dari perbudakan modern,” katanya menutup pembicaraan.
Sekali lagi saya pandangi mereka satu-persatu, lalu saya jawab: “Baiklah, mari kita bangkit bersama-sama. Ini masa kalian, jemput dan bangkitlah. Kalian mengagumkan saya, karena telah melakukan yang terbaik, sebelum berbicara. Dan kini kalian bangkit untuk menjemput spirit kemerdekaan.
Maka, kembalikan Indonesia padaku. Kembalikan kejayaan Aceh seperti sediakala. Katakan tidak pada semua eksploitasi asing, baik terhadap manusia maupun kekayaan alamnya!
Langsa, Aceh Timur
*Maiyasyak Johan, mantan ketua komisi hukum DPR.