Jumat 06 Apr 2018 08:05 WIB

Tax Holiday Bukan Faktor Penentu Investasi

Lebih baik pemerintah benahi kemudahan berbisnis dan penegakan hukum yang adil.

Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) di Help Desk, di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) di Help Desk, di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).

Oleh: DR Fuad Bawazier*

Dari berbagai macam studi yang saya ketahui menjelaskan bahwa Investor di negara manapun juga, jarang menggunakan pajak sebagai rujukan tunggal dalam membuat keputusan untuk berinvestasi. Ini berlaku di hampir seluruh tempat di seluruh dunia. Studi tentang tax holiday ini sudah saya ikuti dari tahun 70 an hingga saat ini. intinya sama saja, bahwa soal pajak itu tidak penting untuk menarik invetasi.

Bagi investor, pajak bukan menjadi faktor dominan dan penentu untuk dia mau berinvetasi. Bahkan menjadi faktor terakhir, bukan faktor pertama. Banyak faktor-faktor sebelum yang menjadi pertimbangan penting bagi investor untuk menaruh invetasinya. Pertama, memangkas high cost economy; kedua, biaya infrastruktur seperti transportasi dan telekomunikasi; ketiga, faktor tenaga kerja dan kebijakan ketenagakerjaan; keempat, kecepatan proses perizinan; kelima, kepastian hukum; dan keenam, baru pajak.

Pajak umumnya hanya dijadikan pertimbangan paling buncit (terakhir) dalam penciptaan iklim investasi yang ideal dan menarik investor untuk masuk. Jadi, meskipun sebuah kebijakan diubah-ubah dan direvisi, dan pajaknya dibebaskan, kalau faktor-faktor yang menentukan dalam membentuk iklim invetasi yang ideal dan menarik bagi dunia usaha tersebut tidak terpenuhi, orang tidak akan mau datang investasi.

Sebaliknya, jika faktor-faktor yang menentukan dalam membentuk iklim investasi yang ideal yang disebutkan tadi terpenuhi, meskipun ada pajaknya, orang akan tertarik untuk datang berinvestasi. Bagi dunia usaha, itu pajak dianggap bagian yang normal dalam kehidupan berusaha bagi mereka.

Jadi sebetulnya, kebijakan tax holiday dan tax allowance yang disusun dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang baru ini sama saja dengan yang kemarin-kemarin. Kebijakan yang tidak efektif.

Kan kemarin-kemarin sudah ada keputusan tentang kebijakan insentif pajak buat investor oleh pemerintah. Tetapi tidak berjalan efektif. Kenapa? Karena mereka yang membuat kebijakan tersebut tidak mengerti, bahwa pajak itu bukan menjadi pertimbangan utama dan dominan untuk orang mau berinvestasi.

Dalam menciptakan iklim investasi yang baik sehingga menarik orang datang untuk berinvestasi, utamanya adalah: kalau saya investasi di negeri itu, apakah nantinya akan memberikan return atau keuntungan yang memadai atau tidak. Walaupun itu ada pajak, kalau untung ya tidak masalah. Sebaliknya dibebasin pajak kalau rugi kan ya buat apa.

Nah, yang menentukan itu return tersebut bisa terwujud adalah: bagaimana perizinan di negeri itu, gampang apa tidak? Ada pungli atau tidak? Cost-nya bagaimana? Ketersediaan raw material ada apa tidak? Tentang tenaga kerja, bagaimana marketingnya, dan segala macam pertimbangan. Jadi pajak itu sudah melekat didalamnya.

Pemerintah ini keliru jika berfikiran bahwa dengan dibebaskan pajaknya (tax holiday), dengan jangka waktu yang panjang, orang akan datang berbondong-bondong untuk berinvetasi, ya enggak juga.  Kalau dia mau investasi sebagai jawaban terhadap kriteria-kritetia yang sudah ditentukan, kalau jawabannya positif, ya pasti dia datang.

Kalau jawabannya negatif, walau pajaknya dibebaskan, ya pasti tidak akan datang. Jadi, dengan mengeluarkan kebijakan ini berharap investasi akan segera datang, saya menyebutnya seperti seperti orang kalap.

Menambah rentang waktu tax holiday hingga 20 tahun, tapi kalau tidak ada return buat investor, ya tetap tidak menarik. Malah orang-orang di negeri lain atau pemerintah-pemerintah di negeri lain akan curiga, ada apa ya di negeri Anda? Perpanjangan waktu tersebut  akan menjadi tanda tanya besar, karena hal tersebut tidak lazim. Ini ikut-ikutan itu karena mereka latah. Dulu Malaysia ngasih ini, ngasih itu, dan lain sebagainya. Terus kita ikut-ikutan.

Sementara, bagi perusahaan/investor asing seperti Amerika Serikat misalnya, meskipun di Indonesia di bebaskan pajaknya, mereka tetap akan dikenakan pajak di negeri asalnya sana (AS). Jadi yang menikmati pembebasan pajak di Indonesia justru pemerintah AS, alias subsidi dari Pemerintah Indonesia kepada pemerintah Amerika.

Makanya, soal tax holiday itu sering kurang penting bagi investor. Lebih baik pemerintah benahi faktor-faktor lain termasuk kemudahan berbisnis di Indonesia dan penegakan hukum yang adil dan efisien.

Yang lebih mengagetkan lagi kini baru saja terbit aturan atau SK Menteri Keuangan yang akan memberikan Tax Amnesty  bagi peruhaan yang bermodal minimal sebanyak Rp 30 triliun selama 20 tahun itu. Saya bisa paham aturan ini. Namun, alih-alih malah bisa menciptakan kekhawatiran baru bagi investor karena menganggap tengah ada masalah dalam perekonomian Indonesia. Situasi ekonomi Indonesia bisa dianggap kalap sehingga melakukan segala macam cara.

 

*Fuad Bawazier, mantan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement