Ahad 08 Apr 2018 05:03 WIB

Redenominasi Rupiah: USD1 = Rp14,-

Redominasi rupiah sebenanrya bukanlah urusan yang ruwet.

Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (14/3).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (14/3).

Oleh: DR Fuad Bawazier*

Perry Warjiyo Gubernur BI terpilih nampaknya tertarik untuk melanjutkan rencana redenominasi rupiah tergantung persetujuan Pemerintah. Kita mengerti karena pembuatan Undang undang adalah kewenangan pemerintah dengan DPR, bukan Bank Indonesia (BI) yang hanya sebagai pelaksana.

Ide redenominasi rupiah memang sudah lama di luncurkan tapi nampaknya Kementerian Keuangan masih ragu ragu.

Dilain pihak masyarakat justru semakin terbiasa mempraktikkan redenominasi rupiah dalam kehidupan sehari hari. Bahkan sebelum ide redenominasi diluncurkan pemerintah dan BI. Lihatlah di restaurant, cafe, toko bahkan di pasar pasar tradisional di mana harga harga dicantumkan atau ditawarkan dengan menghilangkan angka ribuannya.

Penghilangan tiga angka nol itu ternyata tidak membingungkan atau menyesatkan customersnya. Harga harga yang tercantum jadi kelihatan rapi dan  tidak mengejutkan pembelinya. Barang atau service seharga Rp 100.000,- akan dicantumkan tag Rp100K atau cukup disebutkan 100 dan tentu saja pembeli akan membayarnya dengan uang senilai Rp100.000,-

Dalam berbagai macam publikasi atau laporan yang menyantumkan angka rupiah, hampir dapat dipastikan akan di sederhanakan dalam ribuan, jutaan, atau miliaran. Lihatlah laporan keuangan perusahaan yang diiklankan di surat kabar, tentu ada pengecilan penulisan angka rupiahnya. Apalagi Laporan APBN yang disampaikan pemerintah, biasanya dalam jutaan dan miliaran rupiah.

Dalam pembicaraan sehari hari baik dikalangan elit maupun rakyat bawah, di pasar modern maupun tradisional, di kota maupun di desa, hampir dapat di pastikan budaya atau kebiasaan mengecilkan rupiah itu berlaku. Bahkan di pasar tradisional dalam wawancara dengan Menteri Perdagangan, pedagang kecil akan menyebutkan 20 untuk harga Rp 20.000,- atau 150 untuk Rp 150.000,- dan lawan bicara atau pendengarnya mengerti apa atau berapa yang sebenarnya di maksudkan. Tidak ada kesalahan atau misunderstanding.

Tetapi ketika bilangan yang sama di sebutkan oleh pedagang sepeda motor misalnya, 20 itu langsung dipahami sebagai Rp 20 juta. Dan bila di sebutkan 150 oleh pedagang mobil, tentu maksudnya Rp 150 juta. Praktik yang sudah lazim dan sehari hari berlaku ini hanya digunakan bila berkaitan dengan penyebutan atau penulisan rupiah.

Penyederhanaan ini tidak berlaku diluar harga atau bilangan rupiah.  Seseorang tidak akan menyebutkan 10 untuk nomor rumah atau nomor surat 10,000. Atau nomor penerbangan 2000 tidak akan disebutkan atau ditulis 2 misalnya.

Nilai mata uang suatu negara yang terlalu rendah sehingga sangat berbeda jauh dengan nilai mata uang negara lain sering mengesankan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan ekonomi di negara tersebut. Nilai mata uang yang rendah selintas juga mengesankan harga barang dan jasa di negara itu mahal, atau menimbulkan kesan amburadulnya ekonomi. Rasanya sulit membangun ke percayaan terhadap mata uang yang rendah nilainya atau sering terpuruk, khususnya sebagai simpanan.

Rupiah yang berlaku sekarang ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 1966 ketika pemerintah melakukan pemotongan uang Rp1000,- menjadi Rp1,- yang sempat membuat masyarakat sedikit panik dan harus menukarkan uang yang beredar dengan uang baru. Antrian penukaran uang terjadi di mana mana dan mereka yang panik membelanjakan uang lamanya sementara pedagang yang cerdas menjual barangnya dengan keuntungan extra karena yakin bisa menukarkannya dengan uang baru.

Kini inflasi yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun ini tentu telah menggerogoti nilai rupiah sehingga semua bilangan harga minimal dalam ribuan. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah dan BI menyederhanakan nilai rupiah mengikuti pola atau budaya yang sudah berlangsung mulus di masyarakat selama ini.

Dalam penerbitan atau pengedaran uang baru sebagai pengganti uang yang telah lama beredar (biasanya 5 tahun), BI menerbitkannya dalam bilangan baru yakin Rp100,- untuk Rp 100.000,- atau Rp 50,- untuk Rp 50.000,-.  Uang baru ini akan beredar bersama sama dengan uang lama, jadi tidak ada kejutan atau kepanikan, apalagi bila sudah di sosialisasikan seperlunya. Tidak usah berlebihan.

Jadi ini bukanlah urusan yang complicated. Dalam jangka waktu paling lama 5 tahun uang lama akan tersedot masuk kembali ke BI dan yang beredar tinggal uang baru. Saya perkirakan masyarakat segera paham dan terbiasa dan dalam waktu satu tahun saja, bila BI sanggup menyediakan uang baru, uang lama akan menghilang. Kurs rupiah terhadap dolarpun akan menjadi USD 1 = Rp 14 dan rupiahpun nampak lebih berwibawa atau bergengsi. Jadi kenapa bingung dan ragu kalau sudah melontarkan gagasan redenominasi?

 

Kata orang Jawa: Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani,  yang artinya kalau berani ( redenominasi) jangan takut takut, kalau takut jangan sok berani.

Jakarta, 8 April 2018

*Dr Fuad Bawazier MA, Mantan Dirjen Pajak dan Mantan Menteri Ekonomi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement