Oleh: Didin Sirojuddin AR*
Syair atau lebih akrab di Indonesia juga disebut puisi adalah puncak cipta kebudayaan bangsa Arab. Maka, penyair bisa dikatakan sebagai gambaran dan mewakili komunitas seniman Arab. Jadi, seniman favorit waktu itu, ya penyair. Suq (pasar) Ukkaz jadi sentra ekspresi pembacaan sajak yang ramai.
Puisi-puisi terbagus hasil audisi terakhir kala itu diberi award dengan digantungkan (mu'allaqun) di dinding Ka'bah, yang kemudian dikenal dengan sebutan mu'allaqat. Maka dikenallah penyair-penyair hebat zaman Jahiliyah seperti Imru'ul Qais, Zuheir bin Abi Sulma, Nabighah Al-Dzibyani, Al-A'sya, Antarah bin Syidad, dan lain-lain.
Sastra benar-benar pun benar-benar menjadi simbol kehebatan bangsa Arab. Jadilah puisi sebagai diperlakukan layaknya"berhala" sebagaimana 365 berhala betulan di teras Ka'bah yang disembah-sembah masyarakat Arab sebelum Islam.
Suasaa kegiatan di Lemka. Didin Siradjudin AR (Kanan).
*****
Yang menaklukkan "mukjizat" penyair ini hanyalah Alquran yang memiliki mukjizat bahasa yang lebih Indah daripada bahasa tempatan di kawasan.
dan bila masih penasaran seperti apa nasib para seniman puisi atau alias tukang bikin syair itu? Ternyata Alquran menggambarkan umumnya penyair Arab itu "senewen", seperti disebutkan pada ayat-ayat akhir (224-226) Surat Asy-Syu'ara (para penyair) :
"Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat." (224)
"Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah?" (225).
Maksud ayat itu jelas bahwa penyair itu suka mempermainkan kata-kata, tidak mempunyai tujuan yang baik, dan tidak mempunyai pendirian)."Dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?" (226).
Dengan demikian lengkaplah "sifat-sifat dasar" seniman yang juga disebut menurut Alquran sebagai yaitu munafik, omdo (omong doang), plin-plan, somse (sombong sekali), dan berkoalisi dengan orang-orang sableng tidak karuan.