Oleh: Selamat Ginting*
Kami dulu, jika jenuh kuliah jurusan ilmu politik di FISIP UNAS (Universitas Nasional) Jakarta, salah satu yang dilakukan adalah menuju untuk berdiskusi ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Belajar dari para doktor ilmu politik, seperti Alfian dan Lie Tek Tjeng pada 1986-1991. Di situ kami puas 'digoblok-goblokonin' doktor-doktor tersebut.
Selain ke LIPI, kami juga berguru ke Sekolah Ilmu Sosial (SIS) di kawasan Cikini. Tempat berkumpulnya orang-orang sosialis di Indonesia. UNAS pun kala itu cenderung ke kiri-kirian. Saat itu kepala SIS, Rocky Gerung. Ideologinya Rocky cenderung 'jalan kiri'. Dia tahu kami konsentrasi pada ilmu politik. Ilmu politik juga yang digeluti Rocky di FIS UI. Ia juga kuliah ilmu filsafat di kampus yang sama. Entah bagaimana dia bisa menyiasatinya.
Baginya, ilmu politik harus ditambah dengan minimal satu ilmu tambahan lainnya. Saya pilih ilmu komunikasi, karena ingin jadi jurnalis. Beberapa kali diskusi buku di kampus, kami pun mengundang Rocky dan Ridwan Saidi. Berbeda dengan Rocky, Ridwan cenderung 'jalan kanan', kuat dalam ilmu budaya politik. Mereka 'orang-orang' aneh yang selalu sinis terhadap 'kekuasaan'.
Dalam beberapa diskusi, Rocky yang 7-8 tahun lebih senior dari saya, memang menunjukkan keangkuhan keilmuannya. Pilihan-pilihan diksinya membuat kami tercengang. Tercengang, karena kami tak paham tentang ilmu filsafat yang 'digilai'-nya.
Suatu ketika, kami berdiskusi tentang korupsi yang menggerogoti pemerintah Korea Selatan. Ia jauh berpikir ke depan bahwa suatu ketika Presiden Chun Doo Hwan wajib ditangkap. Ternyata kini, hampir semua presiden Korea Selatan dijebloskan ke penjara, karena korupsi.
Cerita silat karya Kho Ping Hoo
Selesai diskusi di SIS, saya pernah diberikan hadiah sebuah disertasi S3 tentang korupsi di Korea Selatan dalam bahasa Inggris akademis yang tak mampu saya terjemahkan. Saat itu skripsi S1 saja belum, eh diberikan hadiah disertasi S3. Ya, klenger! Pesan Rocky satu kalimat: "Kita mesti sinis terhadap kekuasaan! Mungkin cuma itu yang bisa kita berikan untuk negeri ini, walau kita miskin harta. Ilmu kita gunakan untuk mengingatkan pemerintah agar tidak dungu."
Kini, soal pernyataannya, "kitab suci adakah fiksi". Terus terang, saya tak mampu mendebatnya. Sebab, ia pun tak menyebutkan kita suci apa. Ah, itu mungkin kitab suci perguruan silat 'tapak tengkorak naga hitam'. Jadi semuanya akan terungkap jika orang-orang itu sudah jadi tengkorak. Walahualam.
*Selamat Ginting, Jurnalis Republika.