Oleh: MHR Shikka Songge *
Kotaku Larantuka, ibu kota kabupaten Flores Timur dahulu disebut orang Kota Sharani. Masyarakat Lamaholot menyebut kota itu bernama Sharani, secara konotatif artinya kota umat Nashrani. Di kota ini terdapat mayoritas umat Katolik. Oleh karena itu di sini berdiri Patung Bunda Maria, pelembagaan situs dan ritus umat Nashrani yang terawat dengan baik.
Institusi Pastoral, Keuskupan puluhan gereja pun ada di pusat kota Larantuka. Rumah jabatan Bupati Flores Timur dan Kantor DPRD berada di samping Kantor Keuskupan dan Gereja Besar. Pemandangan ini mengesankan bahwa Larantuka identik dengan kota Nashrani bagi umat Katholik.
Tetapi tentu anda tidak menduga kalau di Kota Larantuka terdapat komunitas umat Islam yang berkonsentrasi di sekitar Kampung Postoh, Kampung Baru dan Kampung Weri serta tiga masjid besar yang menjadi pusat aktivitas peradaban dan peribadatan umat Islam. Bahkan di malam hari dari laut kita dapat menyaksikan potret yang mengagumkan, pemandangan dari setiap menara gereja seperti bintang gemerlap mengelilingi Gunung Ile Mandiri.
Namun di setiap lima waktu gemuruh adzan berkumandang dari ufuk masjid Kota Larantuka yang terdengar nyaring seantero kota. Setiap pagi dan petang dentuman lonceng gereja berbunyi memecahkan riuh renda Kota Larantuka. Suara adzan dan gemuruh lonceng gereja saling bertautan seakan ingin menghidupkan Kota Larantuka dari keheningan menuju kota perjumpaan umat berperadaban agama.
Jadi bila puisi Sukmawati mengkomparasikan antara kidung atau bait bait lagu dan adzan di sini jadi lucu. Bagaimana mungkin bait lagu mau dibandingkan dengan teks adzan. Teks adzan itu berisi lafadz Allahu Akbar artinya Allah maha besar. Syahadat Tauhid dan Shahadat Rasul, yaitu Asyhadu an laailaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammad Rasulullah. Artinya aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah. Hayya alashsholaah, mari mendirikan shalat, hayya alal falaah, mari menuju kemenangan. Allah Akbar, Allah Maha Besar. Laailaaha illallaah, tiada Tuhan selain Allah.
Maka bisa dibayangkan isi teks atau lafadz azan itu berisi kalimat yang 'thoyyibah', syahadat persaksian seorang mukmin tentang Allah dan Rasul-Nya, mari menunaikan shalat untuk menuju kemenangan.Bacaan itu disebut azan karena digaungkan untuk mengundang orang-orang mukmin menemui Tuhannya pada waktu waktu yang ditentukan.
Azan, bukan seperti bait lagu, olehnya tidak pantas disandingkan dengan kidung. Kidung hanya didengarkan untuk sebuah hiburan. Sementara adzan adalah lafadz yang didengungkan untuk mengundang orang menemui Tuhan dan setiap pertemuan dengan Tuhannya akan sanggup mengangkat martabat manusia dari fahsya dan mungkar.
Dengan shalat manusia meraih keberuntungan atau kemenangan. Azan bisa melahirkan keberanian untuk menaklukan musuh, azan bisa menghancurkan kebatilan. Apakah bisa kidung menghancurkan kedzaliman musuh dan perilaku kebatilan? Bagaimana Sukmawati bisa meletakan “Adzan setara dengan Kidung?” Naudzubillaahi min dzaalik.
Hebatnya di Larantuka, gemuruh suara azan telah mensenyawakan relasi Muslim dan Nasrani menjadi persaudaraan antar iman yang tidak saling menggoyahkan. Warga Muslim dan Nasrani saling menjaga dan melindungi untuk keutuhan dan integritas Lamaholot dan Larantuka.