Oleh: Abdullah Sammy*
Pekan ini salah satu topik hangat yang tersaji di ruang publik adalah soal pernyataan salah satu Dosen Filsafat UI, Rocky Gerung di sebuah acara diskusi yang disiarkan televisi. Pernyataan Rocky membuat publik tersentak ketika menyebut kitab suci itu fiksi.
Konteks dari ucapan Rocky adalah terkait pembelaannya pada istilah fiksi yang mulai diperspsikan negatif. Padahal, menurut dia, fiksi mengandung muatan yang positif dan punya unsur kebenaran.
Pada akhirnya ucapan Rocky menimbulkan polemik. Pada sisi ini, saya menilai ucapan Rocky yang mengaitkan kitab suci dengan fiksi adalah gegabah dan jauh dari kata akurat. Sekalipun, didasari dalil-dalilnya soal fiksi yang punya konotasi positif, tapi dasar dari ucapan kitab suci adalah fiksi sangat lemah. Apalagi forum perdebatannya bukan di ranah akademis.
Jika konteks perdebatannya terjadi dalam debat antara pemuka agama verus atheis ucapan Rocky masih bisa dipahami. Sayangnya konteks perdebatan ini berada di ruang publik. Sehingga tidak tepat dengan dalil apapun mengaitkan kitab suci dengan fiksi. Terlebih pernyataan ini diucapkan terbuka di sebuah negara yang menjunjung ketuhanan yang maha esa.
Saya ingin mengaitkan ucapan Rocky ini dengan kitab suci yang saya ketahui dan imani, Quran. Bagi umat Islam, Quran adalah kitab yang suci dan sempurna. Quran tak bisa disetarakan atau disandingkan dengan produk manusia, sekalipun itu konotasinya positif .
Saya ingin mengutip Quran Surat Yunus ayat 37, "Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam."
Jadi kata mengaitkan ayat ini dengan ucapan Rocky, maka sebuah kata tanya bisa jadi bahan diskusi, "Apakah Allah menciptakan sebuah kitab fiksi?" Jawabannya tentu tidak!
Quran bukan kitab fiksi tapi Kitab illahi. Ada bidang ilmu tersendiri untuk menginterpertasikan maksud dari Quran yang disebut tafsir. Dan ahli tafsir tentu bukanlah ahli soal fiksi.
Walhasil, terlalu ceroboh jika mengaitkan kitab suci Quran dengan produk manusia yang positif sekalipun. Sebab fiksi, sama halnya karya sastra atau sejarah, sekalipun punya muatan positif tapi keliru jika didudukkan setara apalagi dibandingkan dengan Quran. Kekeliruan kaitan antara kitab suci dan fiksi juga bisa terlihat dari sifat keduanya.
Kitab suci seperti Quran bersifat mutlak. Kebenarannya diyakini. Dan kitab suci, layaknya yang termuat dalam Surat Yunus ayat 37, memuat hukum-hukum pasti dan mengikat.
Dalam konteks Indonesia, kitab suci juga jadi bagian dari hukum tertinggi yang dilibatkan dalam kegiatan berbangsa dan bernegara. Dalam Pancasila, sila pertama yang menyatakan ketuhanan yang maha esa juga menandakan bahwa bangsa ini berpegang teguh pada kitab suci.
Simbolisasi yang mengaitkan hukum negara dan kitab suci juga terlihat di setiap pelantikan pejabat yang mana kitab suci dijadikan media untuk melantik pejabat level tertinggi hingga terendah. Pejabat disumpah dengan kitab suci untuk setia pada aturan dan rambu-rambu negara. Pun halnya saat kita bersaksi di pengadilan. Kitab suci pun dipakai untuk mengikat kesaksian di bawah payung hukum.
Karena sifatnya yang mutlak berumber pada illahi, maka Indonesia sebagai negara berketuhanan hukumnya pun berlandaskan kepercayaan pada kitab suci.
Segala sifat kitab suci yang mutlak ini berbanding terbalik dengan fiksi yang spekulatif. Meski dalam kitab suci juga memuat tentang kisah yang belum terjadi, tapi ayat 'masa depan' yang kisahnya belum terjadi itu sifatnya pasti yang dilandasi kepercayaan yang mutlak dan mengikat.
Sebaliknya, spekulasi dalam fiksi sifat kebenarannya lemah. Sehingga spekulasi dalam fiksi tak bisa dianggap sebagai kebenaran mutlak. Hingga akhirnya, fiksi tak bisa jadi landasan hukum.
Walhasil, kitab suci tak bisa dikaitkan begitu saja dengan sifat-sifat lain di luar keillahian. Sekalipun kaitannya dengan hal yang positif. Mengaitkan dengan hal positif saja tidak boleh, apalagi mengaitkan kitab suci dengan hal yang negatif. Seperti mengaitkan ayat dalam kitab suci dengan alat yang bisa dipakai untuk berbohong.