Senin 16 Apr 2018 00:30 WIB
Amerika Ingin Mengakhiri Rezim Assad

Akankah Suriah Sama Seperti Nasib Irak?

AS selalu menggunakan alasan yang sama untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.

Putra Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman bertemu Presiden AS, Donald Trump di gedung putih, Selasa (20/3).
Foto: AP Photo/Evan Vucci
Putra Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman bertemu Presiden AS, Donald Trump di gedung putih, Selasa (20/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tia Mariatul Kibtiah *)

Amerika Serikat merealisasikan ancamannya menyerang Suriah. Serangan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit mencapai Rp 3,08 triliun. Alasannya adalah karena Pemerintah Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam penyerangan Goutha beberapa waktu lalu. Sekitar 70 warga sipil Goutha terbunuh. Ini kebijakan “langka” Amerika Serikat; menyerang sebuah negara yang menewaskan penduduk sipil 70 orang.

Bandingkan dengan kebijakan Amerika Serikat pada negara lain di Timur Tengah. Misalnya, pada konflik Palestina-Israel yang menewaskan 1.900 warga sipil Gaza pada tahun 2008. Amerika Serikat hanya diam bahkan melakukan protespun tidak terhadap Israel.

Atau serangan yang dilakukan Saudi Arabia terhadap Yaman, Amerika Serikatpun diam. Jet tempur buatan Amerika Serikat yang dibeli Saudi menghancurkan Provinsi Hodeida dan Taez,Yaman. Serangan tersebut menelan korban jiwa hingga 68 warga sipil. Dalam seminggu bisa berkali-kali serangan yang dilakukan Saudi.

Diamnya Amerika juga berlaku untuk Mesir. Al-Sisi juga dalam membungkam para demonstran, yakni kelompok yang pro Mohamed Morsi di Rabaa Square dan tempat lainnya, melakukan tindakan kejam dan membunuh mereka.  

Amerika Serikat selalu menggunakan alasan yang sama untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Kita masih ingat dengan yang terjadi pada Saddam Hussein. Amerika Serikat menuduh tokoh berpengaruh di Timur Tengah ini menggunakan senjata pemusnah massal pada warganya sendiri untuk melanggengkan kekuasaannya. Hingga berakhir di tiang gantungan, tuduhan tersebut tidak terbukti.

photo
Dalam gambar yang diambil oleh Angkatan Laut AS, kapal penjelajah kendali-rudal USS Monterey (CG 61) menembakkan rudal Tomahawk ke Suriah, Sabtu, (14/4). Donald Trump mengumumkan serangan udara ke Suriah sebagai tanggapan atas dugaan serangan senjata kimia.

Sampai sekarang, kondisi Irak jauh dari kata damai dan sejahtera pasca tumbangnya Saddam Hussein. Bertahun-tahun pasukan Amerika Serikat tinggal di Irak yang memperparah konflik disana. Hingga muncul kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau yang lebih dikenal ISIS akibat dari kelompok Sunni yang tertindas di Irak setelah Saddam tiada.

Hal sama dialami Libya. Atas dasar alasan Muammar Gaddafi otoriter, Amerika juga melakukan intervensi dan menyelesaikan rezim ini dengan sangat singkat. Gaddafi ditembak di tempat ia bersembunyi oleh rakyatnya sendiri dengan peran Amerika yang sangat besar. Tentu rangkaian kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dengan Amerika Serikat yang mengajak sekutunya untuk menyerang Suriah dengan menghabiskan budget yang tidak sedikit? 

Deal Amerika, Saudi, dan Israel

Pertama, deal dengan Saudi Arabia. Saudi membeli senjata dari Amerika Serikat senilai Rp 13 triliun pada 20 Maret 2018. Hal ini diakukan Saudi untuk menyelesaikan konflik Suriah agar tidak dipimpin lagi oleh Bashar al-Assad yang diduga akan mempersulit power Saudi di Timur Tengah. Assad beraliansi kuat dengan Iran yang selama ini menjadi “duri” bagi Saudi dalam memertahankan kekuasaannya. 

Sejak jatuhnya Reza Pahlevi pada tahun 1979 dan diganti dengan Republik Islam Iran di bawah Ayatollah Khomaini, Iran-Saudi tidak pernah menemukan lagi titik temu untuk bekerja sama. Iran-Saudi selalu berhadapan di sejumlah konflik di Timur Tengah. Posisi Iran semakin dirasakan membahayakan ketika Qatar mulai berpaling dari Saudi dan memilih berkoalisi dengan Iran yang berakhir dengan diputusnya hubungan diplomatik Qatar-Saudi pada Juni 2017.

Kondisi perekonomian Saudi yang sedang melemah, tidak menyurutkan negara monarki absolut ini untuk terus menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Konflik Yaman, Suriah, Bahrain merupakan konsentrasi Saudi agar negara-negara tersebut lepas dari pengaruh Iran.

Bahkan deal Saudi tidak hanya dilakukan dengan Amerika Serikat. Belum lama Pangeran Mohammed bin Salman bertemu dengan AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). Organisasi ini secara jelas mendukung keberadaan negara Israel. Ini tentu sangat mengejutkan karena Saudi diketahui merupakan salah satu negara yang menentang keras okupasi Israel atas Palestina. Untuk menghentikan kekuatan Iran di Timur Tengah, Saudi memiliki banyak jalan hingga kemungkinan melakukan deal politik dengan Israel sekalipun akan dilakukan.

Kedua, popularitas Trump yang terus menurun di Amerika Serikat. Sejak terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, Donald Trump sering mengalami kritik baik dari dalam dan luar negeri terkait kebijakannya yang dinilai merugikan rakyat Amerika Serikat. Bahkan sekitar 40 persen responden Amerika Serikat setuju dilakukan pemakjulan oleh Kongres atas Trump. Maka untuk kembali menaikkan popularitasnya, Trump mengambil kebijakan menyerang Suriah.

Ketiga, persoalan pengungsi dari Timur Tengah yang terus berdatangan ke Kawasan Eropa. Negara-negara Eropa melihat kondisi ini tidak baik jika dibiarkan. Sejumlah konflik internal pasca kedatangan pengungsi Timur Tengah mulai dirasakan negara-negara Eropa yang berakhir pada gejolak politik. Mulai dari tindak kriminal pemerkosaan hingga terorisme. Maka, tak heran jika Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung penuh apa yang dilakukan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris terhadap Suriah. Meski berbeda dengan yang dialami Perdana Menteri Inggris Theresa May yang dikritik pihak oposisi karena tidak mendiskusikan rencana penyerangan ke Suriah dengan pihak parlemen Inggris sebelumnya.   

Senjata pemusnah massal justru berasal dari oposisi

Atas beberapa kepentingan tersebut, maka Amerika, dan aliansinya sepakat untuk menyerang Suriah dengan alasan penggunaan senjata kimia (chemical weapons) di Goutha.  Di luar prediksi, Asad ternyata sosok yang sulit dijatuhkan lebih sulit dari Saddam Husain dan Gaddafi sekalipun. Hal ini karena dukungan Iran, Rusia dan Cina yang sangat kuat. Bahkan semakin hari, posisi Assad makin kuat dan mendapat dukungan dari rakyat Suriah. Beberapa wilayah yang didalamnya ada Negara Islam (ISIS), juga berhasil dilumpuhkan koalisi Assad.

Kekuatan terakhir oposisi Assad yang berada di Goutha-pun berhasil dikalahkan. Maka, berakhirnya Goutha membuat Amerika Serikat segera menyerang Suriah sebelum semua oposisi yang mereka dukung musnah. Iran melalui media miliknya Pars Today menuduh bahwa senjata pemusnah massal justru berasal dari pihak oposisi Assad yakni Front al-Nushra. Front al-Nushra ini merupakan sayap al-Qaedah yang kini mengubah nama menjadi Jabhat Fath al-Sham.

Masih menurut informasi ParsToday, Sekjen Departemen Keamanan dan Informasi Eropa pada Mei 2016 menyatakan, bahwa senjata kimia yang diterima Jabat Nushra merupakan paket bulanan dari Saudi Arabia dari Bulgaria melalui perbatasan Yordania hingga sampai ke Suriah. Senjata pemusnah massal ini kerap digunakan para oposisi yang mengaku mendapat kiriman dari Saudi dan Amerika Serikat. Pihak Iran menilai, ini semacam membalikkan fakta dan menuduh pihak Assad menggunakan senjata kimia untuk melegalkan serangan Amerika Serikat dan koalisinya ke Suriah.

Dari keterangan media Iran, bisa dilihat bahwa motif yang digunakan Amerika Serikat mirip dengan yang dilakukan pada Saddam Hussein. Namun, ambisi Amerika dan aliansinya ini apakah berakhir sama dengan yang terjadi pada Saddam Hussein di Irak yaitu Assad di tiang gantungan dengan kondisi Suriah yang hancur lebur, kepemimpinan tidak jelas, dan konflik terus berlanjut tanpa solusi.

*) Dosen Kajian Afrika dan Timur Tengah Hubungan Internasional Binus University

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement