Ahad 22 Apr 2018 01:00 WIB

Mengurai Nilai Kebaikan

Berpikir fiksional itu perlu dan bisa menjadi semangat berbuat kebaikan...

Ady Amar
Foto: dok. Pribadi
Ady Amar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)

 

Baik atau kebaikan itu seharusnya berlaku secara umum atau universal, begitu pula dengan buruk atau keburukan. Namun, baik dan buruk akhir-akhir ini, menjadi sulit dilihat dan dimaknai.

 

Kebaikan itu tidak sekadar tampak pada perilaku, tapi juga diawali dengan niat berbuat baik. Tidak sedikit yang tampak berbuat baik, namun diniatkan untuk maksud-maksud tertentu. Pameo “tidak ada makan siang yang gratis”, menandakan bahwa bantuan yang diberikan itu penuh pretensi yang mendominasi perilaku keseharian manusia di sekitar kita.

 

Karenanya, menjadi sulit melihat mana yang benar-benar ikhlas dan mana yang punya maksud-maksud tertentu dalam membantu. Namun, akhir dari interaksi itu, akan menampakkan mana bantuan ikhlas yang sebenarnya, dan mana yang sebaliknya yang penuh pretensi.

 

Hidup ini berkelindan dengan persoalan-persoalan, baik individual maupun komunal. Namun, hidup di wilayah mana pun mestinya ada pranata yang mengatur semuanya, baik berupa peraturan yang berlaku maupun yang bersifat konvensi yang wajib dijaga bersama-sama.

 

Hidup pun mesti digagas dengan pemikiran-pemikiran ke depan yang lebih baik. Pemikiran-pemikiran mencerahkan dan memberi makna akan kehadirannya pada komunal di sekitarnya.

 

Berpikir kritis melihat ketidakseimbangan yang ditemuinya, itu pun bagian dari sikap mencerahkan, di tengah komunitas yang ada. Suara kritis itu ditujukan semata untuk kebaikan, meski dia selalu terjebak pada kemelut ketidakpastian yang diciptakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

 

Perlawanannya atas hegemoni kemandekan berpikir dan bersikap lewat sikap kekritisannya. Dia menjadi musuh kelompok tertentu yang lebih memilih jalan stagnan, tapi dia juga menjadi sumber inspirasi dari kelompok yang merasa termarjinalkan.

 

Sikap kritis itu bagian dari memformulakan gagasan dan pemikiran panjang, dan itu bukanlah pekerjaan mudah, bahkan itu terbilang sulit. Tidak banyak yang mampu memilih jalan kritis ini.

 

Memformulakan itu ibarat mengambil “saripati” dari gagasan dan pemikiran yang panjang, dan itu memang sulit. Maka, kita acap mendengar kata atau kalimat yang bak mutiara dari para cerdik pandai, filsuf dan budayawan, dan itu bisa dikatakan hasil dari gagasan dan pemikiran dari perenungan panjang mereka.

 

Lihatlah—Richard Jefferies, penulis Inggris—yang “menyaripatikan” gagasan panjangnya dalam uraian... “Jangan pernah sekalipun berpuas diri dengan lingkaran gagasan tertentu, namun usahakan agar lingkaran yang lebih besar selalu tersedia.”

 

Lingkaran lebih besar itulah hakikat pribadi yang selalu hadir dengan gagasan cerdas dan terukur, dan yang terus menerus hadir pada kondisi dan situasi apa pun.

 

Lihatlah pula—Lao Tse, filsuf Cina—yang seolah bersenandung, namun jika diurai mengandung makna pemikiran yang panjang dan dalam... “Apakah aku manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau kupu-kupu yang bermimpi menjadi manusia?”

 

Lao Tse tidak sedang berfantasi, tapi dia sedang mengembangkan pemikirannya untuk kita semua, bahwa berpikir fiksional itu perlu dan bisa menjadi semangat berbuat kebaikan. Manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau sebaliknya, kupu-kupu yang bermimpi menjadi manusia.

 

Maka, kita pun dituntut untuk mampu mengurai “saripati” dari kejadian-kejadian di sekitar kita, agar menemukan hakikat kebaikan, dan bahkan keburukan, yang terkandung di dalamnya...

 

Setelah itu, kita bisa mengambil pelajaran berarti daripadanya: Menjadi pribadi aktif dalam mengurai nilai-nilai kebaikan...

 

*Pemerhati Masalah Sosial

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement