REPUBLIKA.CO.ID Oleh: KH Didin Hafidhuddin MS
Para pemimpin yang diberi amanah kekuasaan di negara kita sejak dahulu menegaskan peran agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat penrting dan sentral. Bahkan dinyatakan bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai keempat sila lain dalam dasar negara Pancasila. Pernyataan yang diucapkan secara formal tentu bukan sekadar basa-basi politik, melainkan diharapkan memiliki substansi dan menjiwai seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Pada masa lampau sering kali terjadi antara pernyataan dan kenyataan tidak sinkron hingga bangsa dan negara yang kita cintai ini kerap kali mengalami ujian sejarah yang pahit, seperti krisis politik, jatuhnya pemerintahan akibat kekeliruan yang dilakukan, serta krisis ekonomi yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat seperti yang terjadi pada Mei 1998.
Persoalan utang negara penting dikaji dari sudut ajaran agama yang diakui memiliki peran sentral di negara kita. Sejumlah kalangan mengingatkan bahaya utang negara yang terus bertambah meski pemerintah mengatakan bahwa hal itu tidak perlu dikhawatirkan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan, utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan cukup signifikan. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 7.000 triliun yang merupakan total utang pemerintah dan swasta. Sedangkan, utang pemerintah sesuai data yang dirilis Kementerian Keuangan Rp 3.866 triliun.
Utang pemerintah yang mendekati Rp 4.000 triliun bukan angka yang kecil. Ada kekhawatiran kalau pembayaran utang dibebankan kepada rakyat dalam bentuk pajak yang memberatkan, menjual aset negara, menjual BUMN, dan cara lainnya yang akan merugikan kepentingan jangka panjang dan generasi yang akan datang.
Mengenai perlunya kita mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri pernah disampaikan oleh Mr Sjafruddin Prawiranegara sejak akhir tahun 1960-an, yaitu ketika Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan program pembangunan nasional dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Sjafruddin mengingatkan pemerintah agar jangan terlalu terpukau oleh peranan dan kontribusi modal asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya.
Mengutamakan modal dan tenaga asing (mengabaikan kemampuan dalam negeri dan mengabaikan tenaga kerja bangsa sendiri) sudah terang berlawanan dengan Pancasila, tandas pejuang dan tokoh Islam itu. Kritik dan masukan yang ikhlas untuk kebaikan banga dan negara dianggap angin lalu dan bahkan ditanggapi negatif oleh penguasa di masa itu.
Jeratan utang luar negeri yang begitu besar kepada satu negara tertentu yang berambisi menguasai ekonomi dunia berpotensi menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan bangsa dan Tanah Air. Dalam dunia yang dikuasai ekonomi kapitalis, suatu negara yang memberikan utang kepada negara lain dipastikan tidak sekadar menolong, tetapi sekaligus dalam rangka kepentingan negara bersangkutan, misalnya kepentingan perluasan pasar ekonomi hingga pengiriman tenaga kerja asing, seperti kita rasakan saat ini yang diunggah oleh berbagai berita di media sosial.
Ditinjau dari perspektif agama, khususnya Islam, salah satu masalah muamalah yang tak boleh dipandang enteng adalah masalah pinjam-meminjam (utang), baik berupa uang atau barang. Ayat terpanjang dalam Alquran (QS al-Baqarah [2]: 282) adalah berkaitan dengan utang-piutang. Mengingat pentingnya persoalan utang-piutang, sehingga dalam Alquran surah at-Taubah ayat 60 disebutkan salah satu asnaf penerima zakat ialah gharimin, artinya orang yang terjerat utang.
Karena itu, salah satu doa yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya adalah doa terhindar dari jeratan atau lilitan utang, “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan sifat kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan utang-utang dan dikendalikan (dikuasai) oleh orang lain.” (HR Abu Umamah).