REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip
Dalam sebulan terakhir, mata uang dolar AS mengalami penguatan terhadap hampir seluruh mata uang utama dunia. Imbasnya, nilai tukar rupiah pun mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
Akhir pekan lalu, rupiah ditutup melemah menjadi Rp 13.804 per dolar. Pelemahan rupiah ini tentunya ironis, mengingat sebulan terakhir banyak sentimen positif yang berasal dari domestik, khususnya perkembangan makroekonomi kita.
Pertengahan April lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, neraca perdagangan Maret 2018 mengalami surplus 1,09 miliar dolar AS setelah pada Februari 2018 defisit 0,05 miliar dolar. Surplus ini terutama didorong oleh peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas yang melampaui peningkatan defisit neraca perdagangan migas. Kini, secara kumulatif Januari-Maret 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 0,28 miliar dolar.
Pada 13 April lalu kita juga memperoleh kabar baik dengan naiknya peringkat utang (sovereign credit rating atau SCR) Republik Indonesia (RI) dari Baa3 outlook positif menjadi Baa2 outlook stabil dari lembaga pemeringkat Moody’s. Kenaikan peringkat utang RI ini merupakan indikasi bahwa stabilitas makroekonomi Indonesia yang baik serta membaiknya ketahanan Indonesia yang kuat dalam menghadapi gejolak eksternal.
Peringkat tersebut adalah level tertinggi yang pernah dicapai Indonesia dari Moody’s, suatu prestasi besar di tengah masih berlanjutnya ketidakpastian ekonomi global yang memengaruhi perkembangan ekonomi di kawasan.
Sayangnya, berbagai sentimen positif ini tidak cukup kuat menahan imbas penguatan mata uang dolar AS terhadap rupiah. Kondisi ini membuktikan bahwa nilai tukar rupiah memang rentan terhadap pengaruh perubahan faktor eksternal. Kondisi ini tentunya perlu diwaspadai oleh otoritas kita (fiskal dan moneter). Sebab, saat ini dan setidaknya dua tahun ke depan terdapat cukup banyak dinamika eksternal yang berpotensi memengaruhi situasi ekonomi global, termasuk Indonesia.
Kalau kita cermati, di balik penguatan nilai tukar dolar AS belakangan ini, lebih banyak disebabkan oleh imbas kebijakan ekonomi dan geopolitik yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kenaikan nilai tukar dolar pekan lalu sebenarnya dipicu pernyataan Trump yang menyatakan bahwa OPEC telah membuat harga minyak berada di level yang tinggi walaupun semu.
Akibat pernyataan Trump itu, pelaku pasar uang kini dihadapkan pada ketakutan baru bahwa Trump dapat mengintervensi harga minyak dunia dan ini dikhawatirkan akan membuat hubungan AS dengan Timur Tengah memanas. Padahal, Trump sebelumnya telah membuat hubungan dagang dengan Cina merenggang akibat kebijakan tarif yang diterapkan Trump terhadap sejumlah produk dari Cina, seperti baja dan aluminium.
Ketidakpastian ini melengkapi ketakutan pelaku pasar uang yang sebelumnya telah muncul akibat kebijakan kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve, yang diperkirakan lebih agresif selama 2018. Sejumlah analis memperkirakan, suku bunga acuan the Fed Fund Rate (FFR) akan mengalami kenaikan setidaknya tiga kali selama 2018.
Kenaikan FFR ini sudah pasti akan mendorong penguatan nilai tukar dolar AS. Nah, bila ternyata Trump melakukan intervensi terhadap harga minyak OPEC, hal ini akan menjadi tambahan faktor bagi penguatan nilai tukar dolar AS. Biasanya, bila harga minyak mentah turun akan diikuti penguatan nilai tukar dolar AS. Ini mengingat penurunan harga minyak mentah biasanya akan diikuti pengalihan dari investasi komoditas ke investasi instrumen keuangan.
Pertanyaannya, apakah kita perlu risau dengan sepak terjang kebijakan Trump dan penguatan nilai tukar dolar AS ini? Saya berpendapat, kita memang perlu waspada terhadap imbas kebijakan Trump dan penguatan nilai tukar dolar AS ini. Namun, kita tidak harus khawatir bahwa situasi ini akan berdampak buruk bagi ekonomi kita.