Rabu 25 Apr 2018 05:03 WIB

Islamofobia, Antipolitisasi Masjid: Islam Politik dan Ritual

Agama tumbuh dengan tidak dengan logika kekuasaan, tapi dengan logika kepercayaan.

 Warga menuruni anak tangga usai mengikuti shalat Jumat di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jumat (3/10).(Republika/ Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Warga menuruni anak tangga usai mengikuti shalat Jumat di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Jumat (3/10).(Republika/ Tahta Aidilla)

Oleh: Muhammad Subarkah*

Apakah agama dan idelogi bisa dipisah dari politik? Kalau dengar jawaban jujur jelas tidak. Tapi kalau mau jawaban versi politik harus dipisah atau tergantung kepada siapa yang menjawabnya. Jawaban versi politik ini jelas sarat kepentingan. Sebab, politik sejatinya memperjuangkan kepentngan.

Pada era 1980-an beredar buku  yang menuliskan ramalan akan berakhirnya zaman ideologi: The End of Ideology. Yang menarik dipetik dari buku itu adaah pandangannya soal apa itu agama dan apa itu politik. Buku itu dengan sengaja menyamakan agama dengan politik. Politik menurut buku itu adalah idelogi yang profan atau hanya menawarkan kehidupan di dunia sedangkan agama adaah ideologi yang menawarkan sebaliknya untuk akhirat (surga dan neraka). Buku ini jelas ‘khas’ bergaya pemikiran sekuler di mana dunia dan akhirat tak ada kaitan atau di mana agama dan soal hiruk pikuk urusan dunia terpisah. Gaya pikiran ini gaya khas pemikiran Eropa hasil Reinasance di mana antara gereja dan agama harus dipisah. Di situ terlacak jejak orang barat yang trauma kepada agama, mereka yakni agama Kristen.

Berbagai kelompok Islam telah berusaha membantahnya. Mereka tidak mau dipersamakan dengan revolusi anti agama ala Eropa di zaman abad pertengahan itu. Dan pada kenyataannya berhasil di mana kini gairah Islam justru bangkit di negara-negara bekas komunis di mana Islam ditekan hampir seabad oleh rezim yang mengatas namakan idelogi (komunis) itu. Agama sebagai candu ternyata dalam dunia Islam tak terbukti hasilnya. Mereka gagal menyingkirkan agama dari kepala orang-orang Muslim. Di Soviet misalnya Presiden Putin kini malah meresmikan masjid terbesar di Rusia. Dan di negeri beruang merah malah sempat ada calon presiden pesaing Putin yang berasal dari wilayah Dagestan dan dari kelompok Muslim peremuan.

Jadi sudah lama agama Islam dan masjid dicurigai sebagai pusat perlawanan. Khusus untuk Indonesia dari zaman kolonial ada gaya dikotomi ala Snuck Hurgrronje: Islam ritual dan Islam Politik. Saking takutnya dibuat Hurgronje -- dan kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dilaksanakan--  dikotomi itu kemudian diimplementasikan dalam wujud kebijakan bahwa Islam kalau hanya sekedar ibadah dibiarkan tapi kalau menjadi gerakan politik maka harus ditumpas. Percobaan pertama adalah dilakukan ketika mengatasi perang Aceh. Dan makin diwujudukan dalam kebijakan Gubernur Jendral Hindia Belanda di awal 1900-an atau di masa pemerintahan Idenburg. Tujuan akhirnya adalah membentuk impian negara 'Uni Belanda' di atas tanah koloni bernama Hindia Belanda.

Pikiran dikotomi semacam ini oleh tokoh sosialis semacam Tan Malaka pun pada tahun 1920-an sudah ditentang. Pada pidatonya di depan Konggres Partai Komunis sedunia di Rusia, Tan Malaka kala itu malah menganjurkan bila Islam adalah kekuatan perlawanan kolonial sehingga harus diajak kerja sama. Tapi imbauan ini tidak dihiraukan oleh para pemikir dan tokoh komunis, mereka tetap percaya pada Karl Marx bahwa agama itu candu. Dan ini dipraktikan sekarang oleh negara Komunis yang kapitalis, misalnya Cina, dengan menekan penduduk di wilayah Cina bagian barat yang berbasis Muslim. Agama Kristen dan Katolik juga ikut terkena imbasnya di sana.

Phobia terhadap Islam pun terjadi di mana-mana. Tak ada di belahan Eropa, imbasnya pun masuk ke Indonesia. Di sini, garis pemikiran ala Snouck Hurgronje diteruskan oleh tokoh seperti Dr Cipto Mangungkusumo dan dilestarikan oleh orang yang setuju dengannya yang bisa dikategorikan ala Clifford Geertz sebagai Islam abangan.

Mereka itulah yang  dulu di zaman kolonial menjadi 'priyayi baru' karena menjadi pegawai pemerintah  dan setelah itu tetap menjadi bagian utama dari anggota birokrasi pascakemerdekaan. Karena lebih terdidik ala barat, keturunnya pun banyak yang meneruskan posisi itu hingga sekarang. Corak pemikiran ini berbeda  jalan secara tegas dengan HOS Tjokroaminoto dan juga muridnya yang kemudian menjadi presiden pertama, Sukarno. Keduanya tidak mengikuti alur berpikir ala Hurgronje, tapi berusaha memadukannya. Ini bisa dilihat misalnya sikap Sukarno baik pada masa perjuangan kemerdekaan atau hingga pada masa pasca kemerdekaan.

photo
Haji Oemar Said (HOS) Tjokro Aminoto. (gahetna.nl).

“Khusus mengenai kebijakan dan pandangan dikotomi ala Snouck Hurgronje juga terbukti telah berpengaruh juga pada kaum 'priyayi abangan' di Indonesia. Pemikiran ini merasuk ke dalam pemikiran tokoh seperti Cipto Mangunkusumo. Dan pemikiran dikotomi ala Snouck itu berlawanan dengan pemikiran HOS Cokroaminoto, guru Bung Karno,’’  kata Filsuf sekaligus Guru besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM.

Menurut, Abdul Hadi, pemikiran Snouck Hurgronje setelah kemerdekaan sempat ditinggalkan. Pada tahun 1960-an misalnya, ketika Presiden Sukarno memerlukan dukungan umat Islam dalam konfrontasi melawan Malaysia, dia menghilangkan dikotomi itu. Oleh Bung Karno dinyatakan ulama (dan juga Umat Islam dengan dilambangkan masjid) didorong mengeluarkan fatwa "wajib" berkonfrontasi dengan Malaysia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement