Oleh: Dunih*
Tepat 27 April 2018, Kota Depok merayakan hari jadinya yang ke-19 tahun. Sebagai Kawasan Strategis Nasional, kota berpenduduk 2,1 juta jiwa itu kini dilanda persoalan kemacetan. Setiap hari Kota Depok didera kemacetan, terutama di jam sibuk pagi dan sore hari hingga menjelang malam. Bahkan, pemandangan ini juga terjadi di hari libur.
Kemajuan Depok yang cukup pesat, membuatnya bukan lagi sebagai tempat kos kaum urban (dormitory town). Tanah di Depok yang dulunya "tidak ada harganya", kini makin melejit melebihi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Jika dulu orang Jakarta yang tidak kuat membeli tanah di Ibu Kota lantas membeli tanah di Depok, kini orang mulai beralih melirik tanah di Bogor yang lebih murah. Depok bukan lagi kampung. Orang-orang dengan strata sosial tinggi mulai dari menteri, anggota DPR, jenderal polisi, penyanyi, hingga sutradara film, memiliki rumah di Depok.
Tak heran rencana penanganan dua titik kemacetan di simpang Jalan Kemakmuran dan Simpang Jalan Raden Saleh yang menjadi fokus Pemkot Depok pada 2014, akhirnya tidak bisa direalisasikan karena harga tanah yang selalu naik tak logis.
Berdasarkan kajian Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tahun 2013, sebagaimana yang dimuat dalam Perda No 7 Tahun 2016 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok Tahun 2016-2021, disebutkan dari 200,29 km2 luas wilayah Depok, sebanyak 8.008,83 hektare atau 39,99 persen didominasi pemukiman perkampungan tidak teratur yang dibangun perorangan. Itu artinya, selain penambahan infrastruktur jalan, penataan ruang juga jadi prioritas yang diperlukan Pemkot Depok.
Penataan ini penting, karena sesuai Permendagri Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pedoman Standar Pelayanan Perkotaan (SPP), yang merupakan kota otonom kawasan perkotaan besar, Kota Depok mendapat tugas dari pemerintah pusat untuk menyediakan 4 fungsi pelayanan dasar meliputi, infrastruktur dasar seperti perumahan (rumah murah/rumah susun), prasarana jalan lingkungan, hingga Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas wilayah.
Untuk fungsi ekonomi, Kota Depok harus menyediakan pasar, pusat perdagangan, pergudangan, ruang usaha untuk sektor informal dan UKM, terminal, hingga penginapan. Sementara fungsi sosial Kota Depok harus menyediakan rumah sakit, sarana pendidikan, perpustakaan, museum dan pusat kebudayaan, tempat rekreasi, hingga stadion. Terakhir fungsi tata kelola pemerintahan yang baik, dengan menyediakan perkantoran pemerintah, pelayanan administrasi kependudukan, balai latihan kerja, laboratorium penelitian, hingga pos pemadam kebakaran.
Menjalankan fungsi tersebut, itu artinya Pemkot Depok harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan dari pemenuhan 4 fungsi tersebut. Lewat peraturan zonasi Pusat Pelayanan Kota (PPK), upaya Pemkot Depok mengendalikan stagnasi lalu lintas di Jalan Margonda patut diapresiasi. Dalam ketentuan ini, pemanfaatan ruang untuk kegiatan perkantoran pemerintahan, pelayanan umum (pendidikan tinggi), perdagangan dan jasa skala regional maupun kegiatan yang menunjang kawasan sebagai pusat pelayanan kota, selain untuk kegiatan tersebut tidak dibolehkan berada di Jalan Margonda.
Pengaturan zonasi ini harus dijaga Pemkot Depok, karena sebaran kawasan perkantoran di Depok hanya boleh mencapai 10,89 hektare (0,05 persen) dari luas kota. Itu artinya jika di Margonda sudah sesak dengan perkantoran, Pemkot Depok masih bisa menempatkannya di zonasi Subpusat Pelayanan Kota (SPK).
Sedangkan untuk kegiatan di luar kriteria zonasi PPK, harus berada di zonasi SPK yang meliputi kawasan Cinere, Sawangan, Tapos, dan Cimanggis. Fungsi zonasi PPK ini tidak boleh bercampur dengan fungsi zonasi SPK agar kendaraan bertonase berat dari tempat industri di zonasi SPK, tidak melintas ke zonasi PPK. Sebab, jika dibiarkan tidak hanya membuat jalan bertambah macet, tapi juga berpotensi merusak jalan yang sudah mulus. Terlebih, sebaran kawasan industri cukup luas kuotanya hingga mencapai 327,70 hektare (1,64 persen) dari luas kota.
Dengan begitu, tidak ada penumpukan orang dan kendaraan besar di satu zonasi yang sama, karena telah diatur sedemikian rupa.
Pengaturan zonasi ini sudah tepat, hanya tinggal realisasi dan komitmen di lapangan. Pemilihan SPK Sawangan misalnya, jika mengacu kepada sebaran penduduk, Kecamatan Sawangan memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu sebesar 5.780 jiwa per kilometer persegi. Dengan begitu, masih terbuka peluang untuk dikembangkan sehingga mengurangi beban Jalan Margonda.
Sejak berstatus menjadi kota pada 1999, setelah pada 1982 menjadi kota administratif, Depok telah berkembang secara signifikan. Kemacetan yang kerap mendera Jalan Margonda dan Jalan Raya Bogor perlu bantuan pemerintah pusat, agar beban jalan jalan nasional itu bisa berkurang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok mencatat panjang jalan di Kota Depok pada 2014 mencapai 530,15 kilometer dengan rincian jalan negara (nasional) 36,25 kilometer, jalan provinsi 17,75 kilometer dan jalan kota 476,15 kilometer. Sementara kendaraan yang menyesaki Kota Depok jumlahnya mencapai 979.868 kendaraan.
Campur tangan pemerintah pusat sangat diperlukan, mengingat sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, ditetapkan daerah-daerah tersebut sebagai Kawasan Strategis Nasional.
Sebagai daerah penyangga Jakarta kendaraan yang lalu lalang di Depok, bukan hanya milik orang Depok saja. Tapi, juga milik orang Bogor yang bekerja di Jakarta. Hampir separuh wilayah Depok memang berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Bahkan, sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999, beberapa wilayah Kabupaten Bogor yaitu Limo, Cimanggis, Sawangan, dan sebagian wilayah Kecamatan Bojonggede mulai dari Desa Pondok Terong, Desa Ratujaya, Desa Pondokjaya, Desa Cipayung, dan Desa Cipayungjaya menjadi tanggung jawab Pemkot Depok.
Aktivitas orang dari Bogor ke Jakarta dan sebaliknya bukan hanya terjadi sejak Jakarta menjadi Ibu Kota. Sejak zaman kolonial pun sudah terjadi. Saat tokoh perintis pers nasional Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) dibuang Belanda ke Teluk Betung, Lampung, Tirto berangkat dari Bogor menuju Batavia. (Pramoedya Ananta Toer, 2003:80).
Bahkan, dalam jangkauan yang lebih luas, orang dari Tangerang ke Bogor juga pasti melewati Depok, dan itu telah terjadi sejak lama. Tahun 1924, ketika Asisten Residen Batavia Van Helsdingen ingin menangkap Kaiin Bapa Kajah lantaran dianggap melakukan gerakan perlawanan tradisional, Kaiin Bapa Kajah mengaku akan pergi dari Tangerang ke Bogor dengan kereta api, karena ayahnya Prabu Siliwangi mendatangi dalam mimpi dan memintanya untuk naik "takhta". (Marieke Bloembergen, 2011: 289).
Saat PT Kereta Commuter Indonesia masih bernama PT KAI Commuter Jabodetabek mencatat, per 1 April 2017 terdapat 898 perjalanan KRL yang dioperasikan setiap harinya. Dari jumlah tersebut, separuhnya atau sebanyak 409 perjalanan kereta melayani rute di lintas Bogor/Depok-Jakarta Kota PP dan Bogor/Nambo/Depok-Jatinegara PP (krl.co.id). Dengan makin banyaknya jumlah perjalanan kereta dari Bogor, berakibat makin seringnya pintu perlintasan kereta yang ditutup sehingga kendaraan tertahan untuk beberapa saat.
Untuk Kota Depok, dari lima stasiun yang ada meliputi Citayam, Depok, Depok Baru, Pondok Cina, dan Universitas Indonesia (UI) terdapat perlintasan resmi yang selalu dilintasi kendaraan roda dua dan roda empat yaitu di Jalan Citayam Raya dan Jalan Dewi Sartika. Akibatnya, kemacetan tidak terelakkan lagi terutama saat jam pergi dan pulang kerja.
Jalan Citayam merupakan jalan nasional yang sangat strategis, karena menjadi penghubung antara Kota Depok dengan Kabupaten Bogor. Untuk menyelesaikan permasalahan ini bukan hanya tugas Pemkot Depok saja, pemerintah pusat juga harus ikut membantu. Termasuk melakukan pembangunan jalan setingkat jalan arteri primer atau kolektor primer yang menghubungkan Jakarta dan Citayam sesuai Perpres No 54 Tahun 2008.
Kerja sama antara Depok dan Bogor juga sangat dimungkinkan, karena dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Depok disusun dengan memperhatikan dokumen RPJP daerah lain, termasuk juga daerah Kabupaten Bogor.
Sesuai perencanaan, Kabupaten Bogor juga harus merealisasikan pengelolaan sarana dan prasarana transportasi meliputi; Jalan Raya Bogor koridor Cibinong-Cilodong-Jalan Raya Pondok Rajek; Jalan Tol Bojonggede-Depok-Antasari; Jalan Tol Kemang-Parung-Depok-Pasar Jumat, serta merealisasikan terminal terpadu di Cibinong, Bojonggede yang berbatasan dengan Depok.
Beban Jalan Margonda juga harus dikurangi Pemkot Depok dengan merealisasikan Depok Outer Ring Road (DORR) sesuai Perda No 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Depok 2012-2032, meliputi; jalan tembus dari Terminal Jatijajar-Tapos Raya; jalan tembus dari Jalan Juanda-Jalan Limo; jalan tembus Jalan Raya Bogor-Jalan Raya Parung; jalan tembus Jalan Krukut Raya, Jalan Cinangka Raya, Jalan Pondok Petir Raya, Underpass Jalan Raya Citayam, Flyover Dewi Sartika menuju Sawangan.
Sebelum merealisasikan pembangunan infrastruktur tersebut, sebenarnya Pemkot
Depok juga sudah membuat kebijakan yang mendukung upaya tersebut. Penggunaan angkutan kota (angkot) dengan daya tampung sedikit, ke depan secara perlahan akan dikurangi. Pemkot Depok terus mendorong warganya untuk lebih banyak menggunakan moda angkutan massal. Upaya tidak menambah jumlah angkot ini cukup berhasil, rasio izin trayek angkot yang pada tahun 2012 mencapai 0,32 persen, pada 2015 jumlahnya makin menurun menjadi 0,28 persen.
Saat ini juga telah dibuat Sistem Satu Arah (SSA) dari Jalan Nusantara hingga Jalan Dewi Sartika, dan penerapan jalur cepat dan lambat di Jalan Margonda. Meski belum dirasakan 100 persen efektif, setidaknya kebijakan SSA bisa meminimalisir adanya penumpukan kendaraan di sekitar jalur kereta api yang berisiko terjadinya kecelakaan karena ketidakdisiplinan pengendara menerobos palang perlintasan kereta.
Namun begitu, Pemkot Depok juga tidak boleh berhenti sampai di situ, karena untuk mengatasi kemacetan ada 6 jalur transportasi massal yang harus diwujudkan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2012-2032 yaitu; angkutan umum massal rute Terminal Jatijajar-Jalan Raya Bogor-Kampung Rambutan; angkutan umum massal rute Bojongsari-Ciputat-Lebak Bulus; angkutan umum massal rute Terminal Jatijajar-Juanda-Cinere-Lebak Bulus; angkutan umum massal rute Depok 2-Margonda Raya-Lenteng Agung-Ragunan/Pasar Minggu; angkutan umum massal rute Terminal Depok-Margonda-Lenteng Agung/Ragunan/Pasar Minggu; angkutan umum massal rute Terminal Jatijajar-Juanda-Margonda-Ragunan.
Jika rencana besar itu bisa direalisasikan, kemacetan di Depok bukan mustahil bisa dilakukan. Berkurangnya kemacetan ini juga tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomi karena membuat nyaman investor, sebagaimana salah satu visi Kota Depok. Tapi, juga berpengaruh dengan tingkat kebahagiaan warga Depok yang berujung meningkatnya Angka Harapan Hidup (AHH) karena warga bahagia terlepas dari kemacetan.
*Dunih, Penulis dan warga Depok