Kamis 03 May 2018 15:26 WIB

Hari Pendidikan Nasional Bukan Sekadar Seremoni

Dunia pendidikan di Indonesia saat ini cenderung kehilangan arah.

Sejumlah pelajar berkebutuhan khusus menghadiri upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu (2/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pelajar berkebutuhan khusus menghadiri upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu (2/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Tatang Hidayat *)

 

Pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting untuk menunjang peradaban suatu bangsa. Pasalnya, dengan pendidikan yang baik, akan membuat bangsa tersebut memiliki peradaban yang gemilang. Namun, dalam realitanya, pendidikan yang ada di negeri ini sungguh sangat ironi. Permasalahan demi permasalahan terus kita alami. Salah satunya, bangsa ini mengalami krisis sosial, budaya, dan moral.

 

Tentunya, kita tidak bisa menutup mata akan problematika yang terjadi dalam pendidikan saat ini. Kolonialisasi pendidikan, liberalisasi pendidikan, desakan arus informasi dan komunikasi, rendahnya angka partisipasi pendidikan, pengangguran intelektual, rendahnya anggaran pendidikan, srta integritas kepribadian yang dialami para pejabat negeri ini merupakan salah satu bagian problematika yang ada dalam dunia pendidikan. 

 

Problematika tersebut berimbas terhadap output pendidikan yang dalam hal ini diwakili oleh kalangan pelajar dan mahasiswa dengan meningkatnya konsumsi minuman keras, narkoba, pornografi, pergaulan bebas, penyakit HIV-AIDS, aborsi, dan tawuran pelajar. Semua itu merupakan problematika generasi muda bangsa ini yang tidak bisa dinafikan.

 

Adanya problematika dalam dunia pendidikan, tentunya disebabkan beberapa hal. Di antaranya, menurut Syahidin, selaku guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, dalam karyanya menegaskan bahwa sistem pendidikan modern saat ini makin tampak arahnya menggiring masyarakat pada dehumanisasi. Misalnya, eksploitasi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, berpikir materialistis, individualistis, dan berperilaku mekanistik seolah-olah menjadi budak teknologi bahkan mempertuhan iptek. 

 

Bahkan, jika kita melihat pelaksanaan pendidikan di Indonesia ternyata sudah mengalami pergeseran paradigma dari yang seharusnya. Jika merujuk tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003, yakni tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

 

Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut, seharusnya setiap penyelenggaraan pendidikan tidak melupakan untuk menanamkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagai tujuan yang ingin diwujudkan. Di sisi lain, Toto Suryana selaku dosen senior Universitas Pendidikan Indonesia selama diskusi dengan penulis menegaskan, seharusnya penanaman nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia juga dilakukan oleh guru mata pelajaran yang lain, bukan hanya PAI. Sehingga, semua mata pelajaran seharusnya selaras dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan, yakni ikut menanamkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.  

 

Namun, dalam praktiknya, penanaman keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia di beberapa sekolah cenderung hanya dipahami kewajiban guru PAI. Padahal, seharusnya itu dipahami sebagai kewajiban semua guru untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Bagaimana mungkin mata pelajaran PAI mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara sendiri, sedangkan jam pelajarannya pun sangat terbatas. 

 

Hal yang sederhana saja dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan nasional. Mengapa mata pelajaran PAI tidak ada dalam ujian nasional (UN)? Lantas, mata pelajaran apa yang dijadikan instrumen untuk mengukur keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia? Dalam pandangan Abas Asyafah selaku guru besar Universitas Pendidikan Indonesia saat perkuliahan dengan penulis menyampaikan bahwa ini merupakan suatu masalah, ketika mata pelajaran PAI sebagai instrumen untuk mengukur keimanan, ketakwaan dan, akhlak mulia tidak ada dalam UN. 

 

Problematika yang ada dalam dunia pendidikan nyatanya hanya salah satu porblematika yang ada di negeri ini, dan itu tidak terlepas dari krisis multidimensional, baik di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun hukum. Sistem kehidupan sekuler yang diterapkan di negeri ini berimbas terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan dikotomi ilmu pengetahuan.

 

Pendidikan dalam sistem pendidikan materialisme yang sekuler tentunya berbanding terbalik dengan konsep pendidikan Islam. Islam memandang bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara dan negara wajib memfasilitasi pendidikan secara gratis untuk rakyatnya. Tujuan dari pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian Islam yang terwujud dari pola pikir dan pola sikap Islami yang ditanamkan sejak dari kecil.

 

Proses pembentukan karakter menjadi perhatian khusus dalam sistem pendidikan Islam. Hal itu berbanding terbalik dalam pendidikan sekuler saat ini yang lebih mengedepankan aspek intelektual, tetapi kurang memperhatikan proses pembentukan karakter sehingga banyak orang yang cerdas, tetapi tidak memiliki karakter yang mulia.

 

Maka, pentingnya bagi kita untuk merenungi kembali setiap tahun diperingatinya Hari Pendidikan Nasional (HPN), apakah pendidikan kita saat ini sudah maju atau bahkan masih tertinggal. Jangan sampai HPN hanya dijadikan sebagai acara seremoni setiap tahunnya. Oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk merembukkan dan memikirkan sebuah sistem pendidikan yang akan menyelamatkan dunia pendidikan di Indonesia yang saat ini yang cenderung kehilangan arah. 

 

Maka, di sinilah urgensi sistem pendidikan Islam yang akan mewujudkan manusia-manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berikut keahlian yang memadai. Dengan menggunakan sistem pendidikan Islam, tentunya akan menyelamatkan pendidikan di Indonesia yang sedang dilanda problematika.

 

Untuk mewujudkan pendidikan Islam tentunya bukanlah hal yang mudah karena banyak kendala yang akan dihadapi. Model pendidikan atau sekolah unggulan seperti itu jelas hanya dapat diterapkan oleh negara. Karena negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Termasuk, penyediaan dana yang mencukupi, sarana-prasarana yang memadai, dan sumber daya manusia yang bermutu. Dalam membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam saat ini, tentu saja akan menghadapi kendala utama, yakni belum diterapkannya Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

 

Oleh sebab itu, pentingnya bagi kita semua untuk terus mengedukasi masyarakat untuk segera menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan diatur dengan Islam. Hanya dengan cara itu pendidikan Islam dan generasi muda yang akan memimpin dunia akan terwujud. Wallahu A’alam bi ash-Shawab

 

*) Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement