Oleh: Lukman Hakiem*
Tujuh Mei 69 tahun yang lalu, di Jakarta ditandatangani Roem-Roijen Statement (Perjanjian Roem-Roijen) sebagai "Persetujuan Permulaan mengenai Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta". Statement bersama antara delegasi Belanda dan Indonesia yang ditandatangani oleh masing-masing Ketua Delegasi Dr J H Van Roijen, dan Mr Mohamad Roem itu merupakan pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa pada 28 Januari 1949.
Masalah Indonesia kembali menjadi perhatian dunia setelah pada 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer dengan menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta sejumlah menteri. Belanda berharap dengan tindakannya itu riwayat negara RI akan tamat. Harapan Belanda itu ternyata hampa belaka.
Segera sesudah mendengar ibukota diduduki Belanda, sejumlah patriot di Sumatera seperti Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera (Kompempus, kini Gubernur) Mr. Teuku Mohammad Hasan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Prakarsa kedua tokoh itu dilandasi kekuatiran terjadinya kevakuman kekuasaan yang bakal berdampak negatif terhadap eksistensi Republik. Keberadaan PDRI diterima luas oleh para pejuang kemerdekaan, termasuk oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman yang segera dikukuhkan menjadi Panglima Besar Angkatan Perang PDRI.
Melalui siaran radio, PDRI bukan saja menegaskan masih eksisnya Republik sekaligus menjelaskan kepada dunia aksi brutal Belanda terhadap Indonesia. Siaran radio PDRI telah berhasil mengubah opini dunia terhadap Indonesia.
Siaran radio PDRI yang ditangkap di New Delhi, mengilhami pemimpin India Jawaharlal Nehru untuk menyelanggarakan Konferensi Inter-Asia. Konferensi diselenggarakan pada pada 20-23 Januari 1949, dihadiri oleh 13 negara sebagai peserta, dan 4 negara sebagai peninjau; mendesak PBB untuk bertindak memulihkan kedudukan Indonesia. Antara lain karena desakan Konferensi New Delhi itu lahirlah Resolusi DK-PBB, 28 Januari 1949 yang pada pokoknya mendesak Belanda memulihkan pemerintahan RI, dan kembali ke meja perundingan.
Belanda yang terpojok oleh desakan dunia internasional, masih berusaha berkelit. Belanda segera memindahkan Bung Karno dan Menteri Luar Negeri H Agus Salim dari tempat pembuangannya di Prapat, ke Bangka, dikumpulkan dengan Bung Hatta dan kawan-kawan. Sesudah itu, Wakil Tertinggi Ratu Belanda di Indonesia, Dr Beel, membujuk agar Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemimpin Republik bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan berangkat langsung dari Bangka.
Para pemimpin Republik kompak menolak bujukan Beel. Mereka berpendapat, KMB hanya dapat dilakukan setelah lebih dulu kedudukan Republik Indonesia dipulihkan. Sikap para pemimpin Republik di Bangka itu, didukung oleh para pejuang yang tidak ditahan oleh Belanda seperti Dr. Darmasetiawan, Dr Halim, dan Mohammad Natsir. Ketiga tokoh itu mengingatkan para pemimpin di Bangka agar tidak meninggalkan PDRI, dan agar menjadikan pulihnya pemerintahan RI di Yogyakarta sebagai kartu penting dalam perundingan dengan Belanda.
Atas prakarsa Komisi Tiga Negara (KTN) bentukan PBB yang dipimpin Marle Cohran, pada 14 April 1949 perundingan Belanda dengan Indonesia dimulai di Jakarta. Bung Karno dan Bung Hatta sepakat menunjuk Roem memimpin delegasi Indonesia ke perundingan itu.
Berbeda dengan Ketua Delegasi Belanda, van Roijen, yang pada pidato pembukaan berbicara lemah lembut; Roem berbicara tegas dan keras. "Agresi militer Belanda yang kedua," kata Roem, "telah mengakibatkan hilangnya sama sekali sisa kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai. Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain bisa dibicarakan.
" Pukul 17.00, 7 Mei 1949, perundingan berakhir. Roem lebih dulu berpidato. Roem antara lain menyatakan bahwa dirinya selaku Ketua Delegasi RI diberi tugas oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi, sesuai dengan Resolusi DK-PBB tanggal 28 Januari 1949 dan Pedoman Pelaksanaan tanggal 23 Maret 1949. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.
Sesudah itu van Roijen berpidato menyampaikan persetujuan Pemerintah Belanda untuk memulihkan Pemerintah RI di Yogyakarta, menghentikan segala kegiatan militer, membebaskan semua tawanan politik, menghentikan pembentukan negara-negara bagian, dan akan mempersiapkan pelaksanaan KMB dengan sebaik-baiknya untuk penyerahan kedaulatan yang nyata dan sempurna kepada Negara Indonesia Serikat.
Maka di situlah, Perjanjuan Roem-Roijen telah membuka jalan bagi pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (Serikat) oleh Belanda dan dunia internasional secara utuh dan menyeluruh. Roem-Roijen bukan saja dokumen penting bagi tetap tegaknya negara RI, tetapi juga merupakan karya puncak Mohamad Roem (1908-1983) dalam diplomasi.
Roem-Roijen telah menempatkan tokoh kelahiran desa Klewogan, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah itu dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasil karya yang senafas dengan nama pribadinya.
Pembentukan PDRI, Persetujuan Roem-Roijen, dan kelak Mosi Integral M. Natsir yang mengembalikan RI Serikat ke Negara Kesatuan RI, bukan saja merupakan episode terakhir revolusi kemerdekaan, tetapi juga menyajikan fakta bahwa di saat-saat yang menentukan bagi eksistensi RI, para politisi Muslim dari Partai Masyumi telah memberikan peranan yang sangat signifikan. Mereka adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Mohamad Roem, dan Mohammad Natsir.
Masih adakah yang mengingat Roem-Roijen dengan Mohamad Roem sebagai aktor utamanya?
*Lukman Hakiem, mantan anggota DPR RI dan mantan staf M Natsir.