Senin 07 May 2018 16:26 WIB

Nasib Yang Pro dan Kontra Jokowi?

Sebagian besar pemilih Jokowi akan menjatuhkan pilihannya kepada PDIP.

Petugas Satpol PP wanita mensosialisasikan Pergub tentang larangan melakukan kegiatan politik diacara dan tempat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) di Jakarta, Ahad (6/5).
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Petugas Satpol PP wanita mensosialisasikan Pergub tentang larangan melakukan kegiatan politik diacara dan tempat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) di Jakarta, Ahad (6/5).

Oleh: Hersubeno Arief*

Publikasi hasil jajak pendapat terbaru lembaga survei Indikator menimbulkan perdebatan dan pro-kontra diantara partai-partai pendukung Presiden Jokowi. Apakah dukungan tersebut berbuah berkah, atau malah mendatangkan musibah?

Pertanyaan tersebut wajar mengemuka. Dari semua partai, hanya PDIP yang elektabilitasnya terus menanjak. Sebaliknya partai-partai lain, termasuk Golkar yang paling awal menyatakan mencalonkan Jokowi, elektabilitasnya malah menurun.

Golkar dalam beberapa pemilu selalu menjadi partai papan atas, kini terancam melorot posisinya menjadi partai papan tengah (medioker). Perolehan suaranya di bawah dua digit. Temuan Indikator di lapangan menunjukkan, tingkat keterpilihan Golkar tinggal 8%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan elektabilitas pada enam bulan lalu 12%. Sementara pada survei Agustus 2016, angka keterpilihan Golkar masih 14,1%.

Lebih gawat lagi nasib yang dialami oleh Nasdem. Sebagai partai kedua yang menyatakan akan kembali mencalonkan Jokowi, elektabilitas Nasdem hanya 2,7%. Jargon yang mereka usung “Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku” tak memberi efek positif. Partai besutan pengusaha media Surya Paloh itu terancam tidak lolos parliamentary threshold.

Partai-partai lain yang mendukung Jokowi nasibnya juga sama, bahkan lebih buruk. PPP elektabilitasnya hanya 3,5%. Sementara Hanura tidak sampai 1%. PKB yang paling terakhir mendukung Jokowi, elektabilitasnya rada lumayan sebesar 5,8%.

Elektabilitas suara mereka tidak sebanding dengan tingkat keterpilihan PDIP yang masuk kloter terakhir sebagai pendukung Jokowi. Dalam jajak pendapat yang dilakuan 25-31 Maret 2018 itu, PDIP menempati posisi teratas dengan perolehan 27, 7%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan survei pada bulan September 2017. Saat itu PDIP tingkat keterpilihannya sebesar 24,2%.

Coat-tail effect tak berlaku

Mengapa partai-partai lain di luar PDIP tidak mendapat berkah limpahan suara dari dukungannya kepada Jokowi? Dari jajak pendapat tersebut dapat disimpulkan, Jokowi identik dengan PDIP. Partai moncong putih itu juga dinilai paling konsisten mendukung program kerja Jokowi. Otomatis sebagian besar pemilih Jokowi akan menjatuhkan pilihannya kepada PDIP.

Partai-partai lain, kendati telah mati-matian mencoba menunjukkan dukungan dan kedekatan dengan Jokowi, ternyata tidak memperoleh manfaat elektabilitas. Golkar misalnya membuat jargon Go-Jo, alias Golkar Jokowi. Dalam baliho besar yang terpasang di seluruh Indonesia, dipasang wajah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dengan Jokowi. Sementara PKB mengusung tagline Join (Jokowi-Cak Imin).

Dalam teori perilaku pemilih (voting behavior) berkah yang diharapkan dari seorang tokoh tersebut disebut sebagai coat-tail effect. Ekor jas. Hanya dengan melihat kibasan “ekor jas” seorang figur populer, seorang pemilih akan memutuskan memilih partai yang mendukung atau dekat dengan sang tokoh.

Efek itu misalnya juga terlihat pada Gerindra yang perolehan suaranya terus melejit. Partai besutan Prabowo Subianto itu bila melihat tingkat elektabilitasnya saat ini, diperkirakan akan menjadi partai kedua terbesar, dan tidak menutup kemungkinan bisa menyalip PDIP.

Hal itu menjelaskan mengapa internal Gerindra sangat ngotot mendorong Prabowo untuk maju dalam pilpres 2019. Tidak peduli apakah Prabowo akan kalah atau menang. Yang penting suara Gerindra naik, dan mereka bisa melenggang aman ke kursi parlemen.

Dalam rezim pemilu serentak —pileg dan pilpres dilakukan bersamaan—, siapa figur yang didukung menjadi capres-cawapres, akan sangat menentukan elektabilitas partai. Figur internal, atau figur yang afiliasi dan asosiasinya sangat kuat dengan partai dipastikan akan mendongkrak elektabilitas.

Alotnya tawar menawar koalisi PKS dengan Gerindra, atau PAN dengan Gerindra dilatar belakangi soal ini. Sangat wajar bila PKS menetapkan harga mati cawapres dari internal PKS sebagai syarat dukungan atas pencapresan Prabowo. Begitu pula dengan PAN.

Nasib PKS dan PAN bisa sama dengan partai-partai pendukung Jokowi, bila Prabowo menggandeng capres di luar kader mereka. Tanda-tanda Gerindra tengah mencoba mencari cawapil (calon wapres idaman lain) terlihat jelas dengan manuver Sandiaga Uno yang menjadi ketua tim pemenangan pencapresan Prabowo.

Manfaat di luar elektoral

Kembali ke pertanyaan semula, “Apakah dukungan kepada Jokowi merupakan berkah atau musibah?” Posisi akan menentukan jawaban.

Bagi elit partai jawabannya jelas merupakan berkah. Setidaknya ada tiga alasan.

Pertama, jika dewa keberuntungan sedang berpihak, mereka bisa saja dipilih menjadi cawapres Jokowi.

Kedua, mereka akan mendapat jatah pos di kementrian dan jabatan-jabatan penting lainnya, bila Jokowi memenangkan pilpres.

Ketiga, secara pendanaan mereka akan sangat terbantu. Sebagai incumbent Jokowi tentu sangat menguasai akses-akses pendanaan yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan mesin partai. Soal ini menjadi sangat penting, dan saat ini menjadi masalah hampir semua partai.

Sementara bagi pengurus level menengah ke bawah, atau calon anggota legislatif, tidak adanya korelasi antara dukungan kepada Jokowi dengan elektabilitas tentu sangat merugikan, bahkan musibah. Mereka terancam tidak bisa melenggang ke kursi parlemen, akibat pilihan elit politik yang berbeda dengan aspirasi akar rumput (grass root).

Wajar bila kemudian mulai banyak yang bertanya-tanya. Apa manfaatnya terus mendukung Jokowi? Bagaimana mungkin mereka akan mendapat efek kibasan “ekor jas,” sementara elektabilitas Jokowi sendiri belum aman. Coat-tail effect hanya akan terjadi bila figur yang didukung, benar-benar sangat populer dan kuat.

Capres model ini dipasangkan dengan siapapun —termasuk bila dipasangkan dengan sandal jepit— tetap menang, melawan siapapun. Sementara Jokowi, saat ini sedang kebingungan memilih cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitasnya. Dia benar-benar tidak boleh salah pilih. Meminjam istilah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, bila salah pilih cawapres, Jokowi akan kalah.

Jadi ngomong-ngomong, analogi efek kibasan “ekor jas” tampaknya memang tidak tepat bila disematkan kepada Jokowi. Sebab Jokowi sangat jarang, bahkan tidak pernah terlihat mengenakan jas berekor panjang (tuxedo). Belakangan ini Jokowi malah lebih sering mengenakan kaos, jaket, sepatu kets, dan naik sepeda motor bak anak muda milineal yang gaul.,

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement