REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Danang Aziz Akbarona *)
Dalam ilmu psikologi (kriminal) dikenal istilah blaming the victim yang artinya kurang lebih satu sikap dan tindakan (baik disadari maupun tidak) menyalahkan pihak yang sejatinya menjadi korban. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pola pikir (mindset) masyarakat dalam melihat satu peristiwa atau fenomena. Istilah ini sendiri dipopulerkan oleh psikolog William Ryan pada 1971.
Dalam kasus terorisme yang mengoyak kedamaian bangsa kita hari-hari ini, Islam dan umatnya—setelah, tentunya, korban langsung yang disasar para teroris—menjadi pihak yang paling menderita akibat "blaming the victim" sebagai dampak ikutan dari kebiadaban aksi teroris.
Blamming the victim pada (umat) Islam dalam kasus aktual ini memang tak terhindarkan. Pertama, para teroris faktanya beragama Islam (paling tidak dibuktikan dengan identitas administratif/KTP), secara penampilan berciri dan beratribut Islam (berjenggot, bercelana ngatung, berjilbab atau bercadar), dan dalam keseharian terlihat taat menjalankan syariat Islam (bisa ditelusuri dari pengakuan keluarga/tetangga). Pun, para teroris ini juga tergabung dalam kelompok dengan idiom-idiom Islam seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS)—setidaknya demikian berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan polisi.
Personel penjinak bom mengenakan pakaian khusus saat akan melakukan penyisiran pascapenyerangan teroris di Polda Riau. Pekanbaru, Riau, Rabu (16/5).
Kedua, dengan seluruh ciri dan identitas itu, aparat keamanan dan masyarakat umumnya tentu menjadi ekstra hati-hati dan waspada terhadap orang Islam dengan ciri-ciri identik. Dalam tingkat tertentu kehati-hatian dan kewaspadaan itu bisa (dan sangat mungkin) keluar dalam bentuk sikap dan tindakan stigmatisasi, stereotype, bahkan diskriminasi baik secara sadar maupun tidak: "yang namanya teroris itu orang Islam, berjenggot, bercelana ngatung, berjilbab atau bercadar."
Sejumlah video viral di sosial media mengarah ke sana: ada video seorang wanita bercadar ditolak naik bus dan dipaksa turun atau ada video santri bersarung diminta membongkar kardus dan isi tas di pinggir jalan disaksikan pengguna jalan dengan pengawasan ketat polisi bersenjata laras panjang. Si santri terlihat emosi, entah mungkin karena prosedur yang tidak tepat atau apa yang menyinggung dirinya (?).
Hati-hati boleh, waspada harus, tapi jangan sampai melahirkan sikap berlebihan, fobia, apalagi diskriminatif. Umat Islam yang berciri identik tersebut untuk sebagian besar sama sekali tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan perilaku teroris yang justru bertentangan dengan nilai ajaran Islam itu sendiri. Sebut saja saudara-saudara kita dari Salafi, Jamaah Tabligh, Jamaah Alawiyyin/Habaib, Majelis-Mejelis Dzikir hingga yang berafiliasi dengan ormas dari yang dipersepsi keras seperi FPI, FUI, hingga ormas moderat seperti Persis, Perti, Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah, Al Wasliyah, Nahdatul Wathon, Mathlaul Anwar, PUI, termasuk ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyah, mereka semua sepanjang sejarah dan kiprahnya di Indonesia tidak pernah terlibat dan bersentuhan dengan aksi-aksi terorisme. Meraka bukan organisasi tertutup (bawah tanah). Mereka berinteraksi aktif dalam lapangan masyarakat dan dikenal luas, bahkan dalam sejumlah aktivitas punya peran sosial keummatan yang positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, sejumlah kalangan masyarakat—terutama mereka yang berpaham keagamaan liberal—secara gegabah ikut mendeskriditkan dan momojokkan kelompok Islam tertentu (yang sebagiannya penulis sebutkan di atas) dengan tuduhan sepihak (stigma) radikal, fundamentalis, literalis dan lain sebagainya, lalu mengaitkan dengan ciri teroris (geneologi lahirnya teroris). Sebagian yang lain mendeskriditkan aktivitas Kerohanian Islam (Rohis) di sekolah-sekolah dan kampus dan didukung pula dengan hasil-hasil riset (yang memiliki kemungkinan bias besar).
Sikap mendeskreditkan tersebut, menurut hemat penulis sama sekali tidak menyelesaikan masalah, karena bukannya melokalisir dan fokus pada kelompok/jaringan teroris—yang sejatinya sudah diidentifikasi secara akurat oleh polisi berdasarkan pernyataan Kapolri dan pejabat kepolisian dalam sejumlah kesempatan—tapi justru meluaskan area permasalahan yang dapat menimbulkan ketegangan, polemik, perpecahan, pembelahan, kebencian antar kelompok, hingga konflik yang mengarah pada disharmoni sosial.
Inilah dampak paling biadab dari aksi terorisme. Ia bukan saja menimbulkan korban jiwa dan korbannya bisa siapa saja termasuk orang Islam sendiri—ambil contoh aksi biadab teroris di Mapolda Riau, korbannya Ipda Auzar adalah seorang polisi Muslim yang dikenal shalih, ahli ibadah, guru ngaji dan mengelola yayasan yatim piatu—lebih dari itu dampak dari aksi teror ini adalah "teror" kepada orang-orang Islam terutama yang punya ciri penampilan yang identik dengan para pelaku teror.
Tanpa sadar kita masuk dalam skenario teroris karena kondisi itulah yang mereka kehendaki: ketakutan, saling curiga, dan retaknya persatuan. Akibatnya, bangsa ini tidak fokus pada penyelesaian masalah dan akhirnya negara kalah (pemerintah tidak efektif dan gagal mengendalikan situasi).
Tentu kita semua tidak ingin teroris biadab itu merasa menang dan mencapai tujuannya. Untuk itu, semua pihak, khususnya aparat kepolisian, diharapkan fokus pada penyelesaian masalah dengan melokalisir kasus pada jaringan, aktor, dan sebaran teroris yang sudah dikantongi informasinya itu. Mereka adalah jaringan dan sel tertutup yang tak terpisah dari jaringan teroris internasional Al-Qoida yang kemudian bermertamorforsis menjadi ISIS. Kelompok inilah yang harus ditumpas hingga ke akar-akarnya. Dan, merujuk pada pendapat tegas jumhur ulama Islam dunia termasuk ulama dalam negeri: ISIS bukan Islam! Jadi, stop blaming the victim! Terorisme musuh kita bersama.
*) Pemerhati Kebangsaan Institute for Social Law and Humanities Studies (ISLAH)