Senin 21 May 2018 07:17 WIB

Takdir Kejayaan

Catatan sejarah kerupuk dan sambal di Indonesia muncul berbarengan sekitar abad ke-10

Pakar marketing Kafi Kurnia menjadi salah seorang panelis Rembuk Republik bertema
Foto: Prayogi/Republika
Pakar marketing Kafi Kurnia menjadi salah seorang panelis Rembuk Republik bertema

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Kafi Kurnia, Motivator dan Pakar Marketing

Setiap kali kita ingin makan di restoran Indonesia, bayangan kita pasti sangat beragam. Ekspektasi kita juga sangat banyak. Seorang ahli kuliner mengatakan, keragaman kuliner Indonesia memang sangat kaya dan luar biasa.

Begitu kayanya, sehingga orang mudah bingung dan keblinger, sehingga keragaman ini sering kali menjadi pisau bermata dua. Berbeda dengan sajian kuliner negara tetangga kita yang cenderung lebih homogen dan sederhana.

Restoran di Indonesia sering kali berawal dari etnik kedaerahan seperti restoran Peranakan, Padang, Sunda, Jawa, Aceh, dan seterusnya. Sisanya, menampilkan hidangan khas, seperti satai, soto, atau sea food dan gabungan beberapa masakan khas.

Uniknya, walaupun di tengah keragaman, dalam sepuluh tahun terakhir, restoran Indonesia makin naik daun. Aneka restoran Indonesia yang modern dan kontemporer lahir di berbagai kota besar dengan kemewahan baru dan menjadi trend setter.

Sebagai pelancong dan penikmat kuliner, kita semua percaya kuliner Indonesia memiliki takdir kejayaan yang akan segera terwujud ke dunia internasional. Istilah “nasi goreng” menjadi istilah generik di menu restoran dan kafe seluruh dunia.

Dari segi cita rasa, Indonesia memiliki warisan budaya rempah-rempah dan teknik memasak yang mampu menghadirkan hidangan eksotik yang mendunia. Tak heran, dahulu nusantara terkenal dengan jalur rempah-rempah.

Seorang teman dari Singapura bercerita, ia diam-diam sering ke Jakarta hanya untuk “makan enak”. Dalam petualangannya bertahun-tahun, ia mengatakan, kuliner favoritnya adalah mi yang bertebaran di seluruh Jakarta dengan aneka cita rasa.

Tiap daerah punya signature khas, dari mi aceh hingga mi pontianak. Ia menyebut Jakarta sebagai republik mi. Hampir tiap bulan muncul kreasi baru dan sering ada festival mi yang bisa saja menjadi kalender wisata dan menarik turis mancanegara.

Kuliner kedua yang memiliki potensi mendunia adalah martabak. Sajian ini memiliki dua cita rasa baik asin maupun manis. Di luar mi dan martabak, Indonesia punya banyak warisan kuliner yang perlu sedikit sentilan agar mendunia.

Indonesia memiliki “jejak kejayaan” dalam tradisi makan, sehingga seorang antropolog mengatakan, kalau di luar negeri makan itu memiliki jenjang antara makan kecil hingga makan besar. Makan kecil artinya jamuan makan sederhana.

Sedangkan makan besar artinya jamuan makan lengkap. Budaya makan besar inilah yang dalam zaman kolonial Belanda menjadi tradisi makan besar yang disebut rijsttafel (makan dengan lauk pauk lebih dari 40 macam hidangan).

Konon, jejak kejayaan ini bukan saja dalam tradisi makan besar, tetapi juga dalam ungkapan khas, yaitu “makan enak”. Sang antropolog mengklaim, makan enak sukar diterjemahkan dalam ungkapan bahasa dan budaya lain.

Jejak kejayaan seni kuliner Indonesia beragam. Contohnya, tempe, yang termuat dalam buku Serat Centhini abad ke-16 dan 17 sebagai produk asli Indonesia dan sedang diperjuangkan menjadi warisan budaya dunia UNESCO tahun 2021.

Seni kuliner Indonesia yang memiliki jejak kejayaan sangat panjang. Tidak hanya legendaris dalam menciptakan kuliner spektakuler, tetapi juga menjadi kawah candradimuka yang melahirkan sejumlah fusi inovasi dari negara-negara lain.

Misalnya saja, Cina mungkin pencipta kecap sejak abad kedua Masehi, tapi Indonesialah yang berinovasi hingga muncul kecap manis yang sangat unik dan diperkaya rempah-rempah Indonesia.

Kecap manis menjadi sangat dominan dalam seni kuliner Indonesia dan mungkin perannya sebagai saus universal akan sangat sulit digantikan bumbu lain. Sehingga ada ungkapan “apalah artinya hidup ini tanpa kerupuk dan kecap manis!”

Catatan sejarah kerupuk dan sambal di Indonesia muncul berbarengan sekitar abad ke-10 dalam berbagai literatur dan prasasti. Sejak itu, hampir setiap hidangan memiliki sambal dan kerupuk berbeda, tak dijumpai dalam seni kuliner lain.

Hampir 30 tahun lalu, saya diberi oleh-oleh sebungkus ikan asin oleh seorang teman. Konon, ikan asin itu oleh-oleh khas Kota Tegal. Karena tidak tahu nilainya, ikan asin itu saya berikan kepada pembantu saya.

Pembantu saya berbinar-binar ketika melihat ikan asin itu, seperti layaknya melihat sebuah harta karun yang sangat langka. Malam harinya ketika makan malam saya disuguhi pembantu saya pepes ikan asin tersebut.

Kelezatannya sangat "maut". Barangkali itulah makanan paling lezat yang pernah saya santap seumur hidup saya. Pembantu saya kemudian bercerita, itulah ikan asin kuro yang legendaris dan masyhur.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement