Oleh: DR A Irmanputra Sidin , Ahli Hukum Tata Negara.
Kementerian Agama merilis sekitar 200 orang nama mubaligh yang dijadikan rujukan. Adapun kriteria yang bisa masuk dalam daftar tersebut setidaknya mereka yang betul mumpuni dalam arti menguasai secara mendalam dan luas tentang substansi ajaran Islam; Memiliki pengalaman yang cukup besar sebagai penceramah dan memiliki komitemen yang tinggi terhadap kebangsaan (kemenag.go.id).
Dari kriteria-kriteria ini memang wajar ketika beberapa mubaligh akhirnya merasa tidak pantas, Mereka ada yang malah meminta mundur disebut namanya yang implikasinya memang tidak bisa dibilang tidak rumit bagi kehidupan sosial keagamaan.
Bahwa negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan, negara membutuhkan agama begitu pula agama membutuhkan negara. Negara (baca: konstitusi) hidup dari basis –basis atau nilai agama, salah satu hal yang paling penting, bahwa anggaran pendidikan kita di-plot minimal 20% dari APBN, dan tujuan pendidikan nasional itu untuk membangun manusia Indonesia “beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31 ayat (3) dan (4) UUD 1945). Artinya, kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang diisi dengan keimanan , ketaqwaan dan berakhlak mulia (pasti tidak bisa lepas dari nilai agama) dan inilah yang dibiayai minimal 20% APBN setiap tahun.
Agama juga butuh negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh negara, begitu pula sebaliknya negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakannya dalam bentuk undang-undang yang salah satu sumbernya adalah nilai agama (pasal 28J ayat (2) UUD 1945).
Berkaitan dengan rujukan 200 mubaligh di atas, bahwa, alasan negara yang yang mungkin kita bisa baca bahwa ada kebutuhan agar ada nilai kebangsaan yang bisa diikutkan dalam setiap konten ceramah. Inilah yang mungkin dirasakan kebutuhan riil Negara terhadap seluruh mubalig. Namun cara menjadikan 200 nama mubaligh menjadi rujukan oleh Kemenag bukanlah cara yang tepat bagi Negara.
Salah satu dasarnya bahwa, tidak ada dasar bagi negara untuk mengatakan bahwa para mubaligh ini berilmu paling tinggi sehingga masuk dalam rujukan. Pemerintah tidak didesain untuk menilai ilmu warga negara siapa yang paling mumpuni dalam suatu bidang ilmu bahkan dalam ilmu ketatanegaraan sekalipun, pemerintah tidak lebih mumpuni dari yang lainnya, apalagi dalam ilmu agama.
Oleh karenanya, alasan yang paling bijaksana adalah negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah getar jiwa dari para mubalig kita. Mekanisme ketatanegaraan sebenarnya sudah ada. Namun, bukan rekomendasi 200 mubaligh, melainkan oemerintah berhubungan dengan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Itu karena memang MUI dihadirkan sebagai penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional, termasuk didalamnya nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah. Biarkanlah MUI yang mengkomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umaro, dan masyarakat dan bagaimana cara terbaik pelaksanaannya.