Selasa 22 May 2018 04:00 WIB

Puasa Ramadhan-4

Puasa adalah kunci utama untuk hadirnya Allah dalam dada manusia.

Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ustadz Imam Shamsi Ali memberikan paparannya saat kunjungan di Kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Jumat (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali,  Presiden Nusantara Foundation

 

Secara khusus Allah SWT memanggil orang-orang beriman untuk berpuasa: “wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bwrpuasa” (Al-Baqarah: 183). 

Dalam sebuah Hadist juga disebutkan: “puasa adalah untukKu, dan saya yang akan membalas puasa orang yang berpuasa”. 

Panggilan iman dan pengakuan puasa sebagai milik Allah mengindikasika secara kuat bahwa puasa adalah amalan ibadah yang bersifat personal atau private dengan Allah SWT. Dalam melakukannya tidak ada sama sekali orang ketiga yang terlibat. 

Ketika anda shalat, gerakan-gerakan itu nampak kepada orang lain. Ketika Anda berzakat, minimal yang memberi dan menerima ikut terlibat. Ketika haji bahkan jutaan yang menyaksikan. Tapi puasa benar-benar hanya antara pelaku dan Tuhannya yang menjadi saksi.

Di sinilah kemudian puasa menjadi pintu lebar untuk hadirnya Allah dalam hidup pelakunya. Seorang yang berpuasa akan melatih diri untuk bersama dengan Dia, yang melihat apa yang tidak nampak maupun yang memang nampak. Dan karenanya lambat laun, tapi pasti, “mahabatullah” (kebesaran) Allah akan bersemayam dalam dadanya.

Ketika Allah telah hadir bersamanya di setiap saat, masa dan keadaan, maka saat itu dalam dirinya terjadi kekuatan yang belum pernah bahkan tidak pernah dibayangkan. 

Akan terbangun kekuatan dahsyat yang boleh jadi berada di luar dugaan. Kita misalnya mengenal bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, banyak kemenangan-kemenangan umat ini justeru terjadi di bulan Ramadan.

Kemenangan di perang Badar misalnya adalah kemenangan yang terjadi di luar dugaan dan kalkulasi manusia. Dengan jumlah prajurit dan persenjataan yang jauh lebih kecil, Rasulullah SAW mengalahkan musuh yang berkekuatan tiga kali lipat itu.

Hal itu dikarenanakan kekuatan umat ini tidak selalu bersandar kepada keluatan materi dan fisik. Tapi lebih penting, kekuatan umat itu terbangun di atas soliditas ruhiyahnya. Dan disinilah peranan puasa dalam membangun kekuatan itu.

Kehadiran atau kebersamaan dengan Allah (ma’iyatullah) juga akan membangun ketenangan hidup. Percayalah, hidup ini penuh dengan hiruk pikuk, goncangan dan tantangan. Seseorang yang lemah dan kurang siap menghadapi perubahan dan goncangan itu pasti akan terombang-ombang di tengah samudra pergerakannya.

Ketika situasi berpihak kepadanya maka dia akan  lupa diri, bahkan membusungkan dada, angkuh dan merasa dunia telah menjadi miliknya. Sebaliknya, ketika keadaan tidak berpihak kepadanya, dia lemah, merasa hina, bahkan prustrasi dan marah.

Dan karenanya hanya ada satu jalan dalam mengantisipasi goncangan hidup itu. Hadirkan Dia yang memiliki langit dan bumi dan segala isinya. Hadirkan Dia dalam setiap detakan jantung dan aliran darah kehidupan. 

Ketegaran Rasulullah SAW menghadapi tantangan dakwah, bahkan ancaman hidup ketika itu karena hadirnya Allah dalam dadanya. Itulah yang beliau buktikan di saat berada dalam gua Hira itu. 

Para algojo itu telah berdiri di depan pintu gua dengan pedang terhunus. Abu Bakar R.A yang melihat itu menangis, bukan karena takut akan kematinnya sendiri. Tapi khawatir akan keselamatan Rasulnya. Dia khawatir juga para algojo itu menengok ke dalam gua itu dan pasti akan membunuh Rasulullah SAW.

Tapi sang Rasul sendiri tenang menghadapi itu. Beliau kemudian membisikkan ke telingah sabahatnya itu: “Jangan takut, jangan khawatir, karena Allah bersama kita”. 

Ternyata kehadiran Allah dengan sungguh-sungguh dalam hati menjadi “pengusir” ancaman itu. Para algojo pulang dan meninggalkan tempat itu tanpa menyadari bahwa orang yang mereka cari itu telah ada di hadapannya.

Ketenangan jiwa di saat bersama Allah ini juga terjadi kepada seorang muallaf Amerika. Jalan hidupnya yang keras, tidak mudah, bahkan penuh dengan duri yang beracun.

Panggillah dia Maria. Maria adalah seorang wanita Hispanic keturunan Colombia. Ketika masih berumur sekitar 24 tahun dia kenalan dengan seorang Muslim keturunan Mesir di kota New York. Mereka kemudian saling suka dan menikah, bahkan Maria menerima Islam dengan sungguh-sungguh sebagai jalan hidupnya.

Tapi hanya dalam tempo yang singkat sang suami berubah kasar dan sering memukulinya. Hingga pernikahan mereka melewati masa dua tahun, dan dikaruniai anak dua orang, suaminya menceraikan dia. Maria dan kedua anaknya ditinggalkan tanpa apapun, bahkan Maria harus keluar dari rumahnya tanpa bekal dan tanpa pekerjaan.

Pada hari-hari pertama Maria ditolong oleh sebuah gereja. Tinggal di sebuah penampungan (shelter) milik gereja itu sambil mencari pekerjaan. Hingga suatu hari Maria berhasil diterima bekerja di sebuah pertokoan.

Di toko inilah dia berkenanalan dengan teman barunya, seorang perempuan, juga keturunan Hispanic asal Puerto Rica. Teman Maria ini rupanya memperhatikan Maria setiap hari. Diam-diam dia kagum karena Maria selalu datang ke pekerjaannya dengan pakaian rapih, lengkap dengan kerudung. Tapi yang terpenting, Maria selalu ceria setiap saat.

Suatu hari teman Maria ini memberanikan diri bertanya kepadanya: “don’t you have any problem in your life?”. 

Mendengar itu Maria sambil tersenyum bertanya: “why?”

Temannya melanjutkan: “I have seen you happy and smile all the time. Seemingly you’re so happy”. 

Maria kemudian memegang pundak temannya itu dan mencertakan semua permasalahan hidupnya. Dari kenalan dengan orang Mesir itu hingga nikah, sampai dipukuli dan diceraikan. 

Betapa terkejutnya teman Maria itu. Tapi diapun semakin tidak paham, kenapa Maria tetap ceria dan tersenyum? 

So what makes you happy all the time?”, tanyanya. 

Maria memandang temannya itu dengan serius, lalu menjawab dengan singkat: “karena Allah bersama saya”.

Rupanya jawaban ini tanpa disangka menggetarkan jiwa teman Maria. Tanpa dia sadari, dia menangis, tersentuh dengan cerita Maria. Tapi yang paling menggetarkan jiwanya adalah jawaban Maria: Karena Allah bersamaku”. 

photo
Muslimah mualaf (ilustrasi).

Singkat cerita teman Maria itu menyatakan ingin mengikuti Maria. Diapun datang ke masjid diantar Maria dan menerima Islam sebagai jalan hidupnya yang baru.

Itulah kebesaran Allah ketika hadir dalam dada manusia, dia menjadi kuat dan tenang menghadapi gelombang pergerakan hidup yang hanya akan berakhir dengan berakhirnya hidup dunia itu sendiri. 

Dan puasa adalah kunci utama untuk hadirnya Allah dalam dada manusia. Semoga! 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement