REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihshan Gumilar, Neuropsikolog ,Direktur Riset, Asosiasi Sinergi Terapan Neurosains Indonesia (SINTESA)
Pagi itu matahari masih tetap melakukan rutinitasnya seperti biasa, memancarkan sinar ke berbagai belahan bumi Indonesia. Khususnya, jantung ibu kota provinsi paling timur di pulau jawa, Surabaya. Hangatnya mentari menjalar keseluruh tubuh masyarakat Surabaya dan membuat semuanya bergerak. Termasuk bergerak ke tempat ibadah untuk mendapatkan kehangatan spiritual.
Beberapa saat sebelum kesakralan spiritual dimulai di gereja, sebuah sepeda motor menerobos pintu masuk utama dan mengeluarkan bunyi menggelegar yang menewaskan para jemaat di pagi itu. Sontak orang-orang disekitar langsung berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri. Tragedi itu terjadi pada hari minggu, 13 mei 2018. Tiga buah gereja mengalami ledakan pada waktu yang berdekatan. Keesokan harinya, aksi bom bunuh diri kembali terjadi di depan pintu masuk mapolrestabes Surabaya. Hanya selang beberapa hari, mapolda riau mengalami penyerangan oleh orang-orang tak dikenal. Semuanya bersimbah darah.
Tragis !
Aksi bom bunuh diri kali ini sangatlah unik: dilakukan oleh dua keluarga (yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak). Banyak orang bertanya, “ Kok bisa satu keluarga bersama-sama melakukan bom bunuh diri ?”. Dan yang lebih menyesakan adalah mengapa anak-anak mereka juga harus dilibatkan dalam aksi bengis itu ?. Anak-anak itu hanya tahu indahnya dunia permainan bukan menjadi objek permainan pemikiran dan tindakan kekerasan.
Mengapa seorang istri (perempuan) bisa melakukan aksi brutal itu ? Pada dasarnya, apapun jenis kelaminnya, itu bukanlah masalah. Hanya saja, masyarakat memiliki stereotipe bahwa perempuan punya kemungkinan super kecil untuk melakukan aktivitas kriminal luar biasa ini. Secara statistik, memang jumlah pelaku kriminal masih tetap di dominasi pria. Akan tetapi, bukan berarti perempuan itu tidak ada, hanya saja jumlahnya relatif kecil dibandingkan pria.
Apapun jenis kelaminnya, warga negaranya, dan kepribadiannya, seseorang itu akan bisa berubah secara drastis jika cara berpikirnya (kognisi) disentuh. Kognisi ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai (values) yang diadopsi, termasuk interpretasi terhadap teks-teks agama.
Kognisi tersebut tentunya bisa dibentuk dan diarahkan. Jika ia diarahkan kepada suatu hal, ditambah lagi dengan beragam doktrin yang membakar semangat, maka jenis kelamin tak lagi menjadi hambatan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ketika orang menerima suatu keyakinan sebagai sebuah kebenaran (true belief) ataupun sebagai sebuah kesalahan (false belief), bagian otak yang “menyala” lebih aktif ada di bagian depan yang mengarah ke tengah (medial Pre-Frontal Cortex) (Rotmayr dkk, 2011). Lebih spesifik lagi, ada sebuah bagian otak yang disebut dengan insula (Harris dkk, 2008; Rotmayr dkk, 2011). Kehadiran insula juga ditemukan bertanggung jawab terhadap perasaan ingin menghukum orang lain ketika ia merasa benci dengan orang tersebut. Insula hanya dapat dilihat melalui alat pemindai otak dengan teknologi yang canggih, seperti functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI).
Seorang neuroscientist yang banyak meneliti tentang kesadaran dan pengambilan keputusan, Antonio Damasio, mempopulerkan sebuah ungkapan yang seolah-olah dikenal dengan istilah hipotesa somatik-marker (HSM). HSM ini bermaksud menyampaikan bahwa pemikiran logis tidak dapat dipisahkan dari yang namanya emosi dan perasaan. Dan insula mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pertemuan antara pemikiran logis dan emosi.
Orang yang mempunyai pemikiran sehat akan menganggap tindakan itu sangat tidak bisa diterima akal. Akan tetapi jika kita melihat dari kacamata para pelaku bom bunuh diri, mereka menilai bahwa aksinya tersebut adalah sesuatu hal yang logis. Memang bukan hal yang mudah memahami tindakan-tindakan brutal seperti ini. Akan tetapi HSM bisa menjelaskan sedikitnya bahwa sebuah keputusan pemikiran logis sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi si pelaku. Jika secara emosi para pelaku sudah dibentuk (seperti doktrin yang menancap secara kokoh), maka mengeksekusi hasil pemikiran (pelaku) bukanlah sesuatu hal yang sulit. Sekalipun mereka harus mengorbankan anak-anak dan istri mereka.
Insula merupakan area yang sangat kecil tapi ia mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Sensasi-sensasi yang hadir di dalam panca indera kita diatur oleh sang Insula. Sebagai contoh, ketika kita hendak pergi ke sebuah kafe untuk sekedar duduk dan minum kopi, sebelum kita berangkat, kita akan mulai merasakan sensasi bau kopi yang khas, harum ruangan yang berbeda, dan nikmatnya rasa kopi ketika diminum pertama kali. Sensasi itu belum terjadi, tapi kita sudah mampu merasakannya. Beragam bentuk sensasi mampu dihadirkan oleh otak, dan insula mempunyai andil yang sangat penting untuk menghadirkan beragam sensasi tersebut.
Sama seperti halnya mereka yang melakukan bom bunuh diri, mereka harus mampu menghadirkan sebuah sensasi “kematian syahid” di dalam otak dan tubuh mereka. Sensasi tersebut tentunya diatur oleh bagian otak yang sama tadi (insula). Hadirnya beragam sensasi tentang apa yang akan dilakukan akan membuat pelaku lebih yakin dan siap dengan segala konsekuensi dari tindakannya. Sekalipun harus meregang nyawa.
Memahami terorisme tidak hanya melihat dari aspek perilaku ataupun polanya saja. Akan tetapi harus melihat dari aspek neuropsikologi (gabungan neurosains dan psikologi). Perilaku (seperti bom bunuh diri, menikam, belajar merakit bom, dan latihan perang) hanyalah produk akhir atau eksternalisasi dari apa yang ada di dalam otak. Negara harus mulai melakukan investasi besar dalam bentuk penelitian terhadap otak para manusia yang mempunyai pemikiran radikal. Menyentuh langsung ke pusat pengolahan informasi (otak) dapat memberikan gambaran seperti apa pola otak atau cara otak manusia bekerja. Karena organ tubuh manusia yang masih menjadi misteri sampai saat ini adalah otak.
Terlepas dari opini yang santer beredar di masyarakat bahwa aksi brutal ini di design oleh para “sutradara” canggih. Secara fakta memang harus diakui bahwa Indonesia juga dihuni oleh beberapa kelompok orang yang mempunyai pemahaman kekerasan dan radikal. Dan mereka tidak segan-segan untuk menumpahkan darah orang lain sekalipun korban mempunyai agama yang sama.
Penelitian tentang otak para pelaku terorisme atau orang yang mempunyai pemikiran radikal masih belum ada di Indonesia. Neuroforensik belum dikenal di negara ini. Perpaduan antara neurosains dan hukum harus segera dimulai di Indonesia, jika kita tidak mau kehilangan lebih banyak lagi ketenangan dan keamanan yang mahal harganya.
Memahami bagaimana otak bekerja tentunya memahami bagaimana perilaku itu dihasilkan. Dalam memahami aksi terorisme perlu dilihat ke hulunya, memahami bagaimana otak para pelaku bekerja. Tidak hanya sekedar memecahkan masalah di hilir. Karena semua perilaku, yang normal ataupun tidak, dan semua bentuk emosi yang berkecamuk (seperti rasa kecewa terhadap pemerintah), diproses hanya dalam sebongkah protein yang beratnya tak lebih dari 1.5 kg (otak).
Di awal Ramadhan ini, sebagai umat muslim yang berpuasa, mari belajar untuk menahan beragam jenis nafsu dengan sekuat tenaga. Termasuk nafsu untuk melakukan kekerasan dan bermacam-macam jenis godaan lainnya yang bisa menimbulkan kecemasan di dalam diri orang lain. Memang bukan hal yang mudah, tapi ia sangat mungkin untuk dilakukan. Jika dilaksanakan dengan sabar dan berkelanjutan, kita akan mampu merubah kebiasaan kognisi dan perilaku kita.
Secara psikologis, untuk membuat perubahan kognisi, emosi, dan perilaku, akan jauh lebih mudah dilakukan ketika berada dalam kondisi lingkungan yang mendukung. Bulan Ramadhan diwarnai oleh orang-orang yang menebar kebaikan yang secara otomatis membentuk lingkungan yang baik pula. Inilah momen terbaik yang mendukung untuk melakukan segala macam jenis perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk pemahaman yang baik dan benar terhadap Alquran, Islam secara umumnya.
Jangan warnai awal ramadhan ini dengan bau mesiu dan bau amis darah, tapi warnailah ia dengan beragam perilaku yang bisa mendekatkan kita kepada Sang Maha Pemurah.
***
Daftar Pustaka
Harris, S., Sheth, S. A., & Cohen, M. S. (2008). Functional neuroimaging of belief, disbelief, and uncertainty. Annals of neurology, 63(2), 141-147.
Rothmayr, C., Sodian, B., Hajak, G., Döhnel, K., Meinhardt, J., & Sommer, M. (2011). Common and distinct neural networks for false-belief reasoning and inhibitory control. Neuroimage, 56(3), 1705-1713.