REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dedy Agung Prasetyo*
Baru-baru ini Publik dihebohkan dengan luasnya informasi yang beredar tentang besarnya gaji dan hak-hak keuangan bagi orang-orang yang menduduki jabatan di BPIP. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan Perpress Nomor 42 tahun 2018 tentang hak Keuangan Pejabat BPIP, para pejabat itu menerima gaji sekitar Rp Rp. 112.548.000 untuk posisi Ketua Dewan Pengarah BPIP, Rp 100.811.00 untuk anggota Dewan Pengarah BPIP, dan Rp 76.800.000 untuk jabatan Ketua BPIP. Angka tersebut terbilang fantastis jika dibandingkan dengan gaji Presiden maupun Menteri kabinet yang berada di kisaran Rp 30 Juta hingga Rp 60-an juta. Sebenarnya lembaga apa sih BPIP itu?
BPIP adalah kepanjangan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang dibentuk berdasarkan Peratuan presiden (Perpres nomor 7 tahun 2018). lembaga ini adalah reinkarnasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP4, yang dibentuk melalui Perpres nomor 54 tahun 2017) yang diketuai oleh Yudi Latif. Apabila diamati secara redaksional dalam regulasi yang mengaturnya, BPIP dibentuk dengan maksud untuk menegakkan dan mengimplementasikan nilai-nilai pancasila bagi seluruh penyelenggara negara, komponen bangsa, dan warna negara Indonesia.
Dari sini tentu banyak yang bertanya sesungguhnya seperti apa model kerja nyata dari tim BPIP ini dalam mewujudkan tujuan luhur lembaganya. Bagi saya secara kelembagaan tidak ada yang salah dengan tujuan luhur BPIP, apalagi di tengah momentum pemerintah dalam memerangi gerakan radikalisme dan terorisme yang disinyalir bersumber dari ideologi radikal.
Akan tetapi yang menjadi persoalan terbesarnya adalah bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan dari lembaga ini. Atau jangan-jangan ini adalah ajang bagi-bagi kekuasaan dan jabatan dengan memanfaatkan momentum redikalisme dan terorisme.
Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu digarisbawahi dalam menyoroti keberadaan lembaga BPIP ini. Pertama, masalah anggaran (hak keuangan) yang sedemikian besar yang secara kalkualasi jelas terdapat ketimpangan cukup jauh dibandingkan dengan gaji pejabat-pejabat lembaga negara lain, termasuk menteri, atau bahkan hakim agung, hakim Mahkamah Kostitusi, dan Presiden sendiri.
Hak keuangan yang terlalu besar yang diberikan oleh Negara kepada para pejabat BPIP akan berpotensi memicu timbulnya kesenjangan antar lembaga negara mengingat BPIP adalah sebuah lembaga negara non struktural yang baru saja dilahirkan. Ibarat pegawai, BPIP baru memiliki masa kerja 0 tahun sementara lembaga Negara yang lain sudah lahir sejak lama dan mampu berdiri hingga saat ini dengan kompleksitas permasalahan yang semakin beragam misalnya Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, maupun Lembaga Negara lain.
Apabila mengacu pada peraturan pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000, gaji seorang menteri rata-rata besarannya hanya Rp 18.648.000 sedangkan pada PP No. 55 tahun 2014 seorang Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mendapatkan hak keuangan Rp 72.854.000. Lalu bagaimana dengan Gaji Presiden?. Menurut Keppres Nomor 68 tahun 2001 total Gaji dan tunjangan seorang Presiden RI adalah sebesar Rp. 62.740.000.
Terlepas dari kebijakan politik pemerintahan Presiden Jokowi yang menggunakan hak prerogatifnya, tentu saja publik akan menilai kebijakan ini tidak cukup fair dan jauh dari rasa pantas sebab besaran gaji dan hak Keuangan seorang Menteri, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Presiden ada di bawah anggota Dewan Pengarah BPIP. Apalagi mengingat tugas BPIP yang meskipun sudah berkiprah selama 1 (satu) tahun tetapi tampaknya masih belum terlihat signifikaansi peranannya.
Kedua, seberapa pentingkah keberadaan BPIP ini perlu dibentuk. Urgensi pembentukan BPIP ini pun masih perlu dipertanyakan. Jangan sampai lembaga negara yang dibentuk baik yang bersifat struktural maupun non-struktural di kemudian hari dibubarkan oleh pergantian rezim pada pemerintahan berikutnya karena dianggap tidak efisien.
Perlu diingat, dalam kurun waktu 2014 hingga tahun 2017 yang lalu Presiden Jokowi telah membubarkan tidak kurang dari 23 lembaga Negara yang dinilai tidak efektif dan efisien, justru tumpang tindih dengan lembaga/kementerian lainnya. Penguatan dan internalisasi nilai-nilai pancasila sesungguhnya sudah sejak lama ada dan hingga kini masih terlaksana dengan baik.
Secara simbolis hal ini terbukti dengan diadakannya kegiatan upacara bendera setiap hari senin di sekolah-sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolat tingat Menengah Atas. Bahkan pada hari-hari tertentu perguruan tinggi juga mengadakan upacara pengibaran bendera demikian halnya dengan para pegawai Negeri Sipil di instansinya masing-masing. Di dalam upacara tersebut selalu terdapat pembacaan Teks pancasila yang wajib dihayati oleh seluruh peserta upacara.
Implementasi nilai pancasila secara sosial kultural dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah tersistem dengan baik, hal ini terlihat dalam perumusan setiap norma regulasi baik Undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain yang selalu menjadikan Pancasila sebagai asas utama yang harus dicantumkan. Tentu sistem "pancasilaisasi" yang secara konseptual sudah terstruktur sedemikian rapi ini diperlukan langkah aktualisasi lebih riil dalam setiap kebijakan aparatur di seluruh sektor pemerintahan dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara luas.
Ketiga, efektifitas BPIP masih diragukan. Kenapa demikian? 23 lembaga negara yang pernah dibubarkan Presiden Jokowi adalah lembaga yang dinilai tidak efektif karena sebagian besar tumpang tindih dengan kementerian lain sehingga hanya berujung pada pemborosan keuangan negara. Tujuan lembaga BPIP ini dibentuk adalah dalam rangka menegakkan dan mengimplementasikan nilai-nilai pancasila bagi seluruh penyelenggara negara, komponen bangsa, dan warna negara Indonesia.
Menurut hemat saya upaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai pancasila sebetulnya akan jauh lebih efektif apabila diintegrasikan dalam program-program di kementerian sektor tertentu. Bahkan bila perlu tidak menutup kemungkinan diinegrasikan dengan seluruh Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian agar manfaat dan tuuan lembaga ini optimal. Alangkah sangat disayangkan apabila pada akhirnya nanti BPIP menjadi sebuah lembaga yang hanya berfokus pada aspek pengkajian dan wacana.
Ketiga hal tersebut di atas sepatutnya mendapatkan penjelasan secara gamblang oleh pemerintah sebab jika tidak maka keberadaan lembaga baru ini bisa menjadi polemik berkepanjangan sekaligus untuk menepis anggapan BPIP sebagai ajang bagi-bagi jabatan dan kekuasaan semata.
*Penulis adalah pemerhati isu politik dan hukum, saat ini bekerja Legal Councel di sebuah perusahaan multinasional Jepang