Rabu 30 May 2018 05:06 WIB

Menyoal Gaji 'Tidak Logis' BPIP

Ada inefisiensi yang sedang berlangsung dengan bungkus aturan dalam hal gaji BPIP.

Gaji pejabat (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Gaji pejabat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Nurul Ghufron, Dekan Fakultas Hukum UNEJ

Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (Perpres Keuangan BPIP). Perpres yang diteken Jokowi pada 23 Mei lalu ini, telah menimbulkan kegundahan publik berkaitan struktur dan besaran gaji pimpinan, pejabat, dan pegawai BPIP yang dirasakan tidak logis.

Gaji pejabat negara adalah bagian dari kepentingan publik yang wajar bahkan dalam masyarakat demokratis, adalah kepentingan yang harus direspons oleh publik. Mengapa? Karena gaji pejabat tersebut dibayarkan dari dana yang dikumpulkan dari uang publik dan publik perlu menilai kepantasan atas dasar struktur dan kinerjanya. Karena itu, patut diapresiasi secara dewasa bahwa kegundahan publik atas gaji struktural BPIP adalah indikator sehatnya demokrasi kita.

Gaji itu mencerminkan dua hal, pertama struktur dan kinerja. Logika umum dalam suatu struktur apa pun semakin tinggi struktur, semakin tinggi tanggung jawab dan karenanya gajinya semakin tinggi. Tidak masuk di akal jika ada pembantu lebih tinggi dari juragannya.

Kinerja merupakan hasil atas dedikasi dan kerja yang diberikan, karenanya untuk memotivasi kerja adalah logis setiap prestasi diapresiasi dengan gaji yang lebih dari yang tidak berkinerja baik. Karena itu, tidak logis lembaga baru --tentu belum berkinerja-- diapresiasi berlebih hal tersebut merupakan pemborosan bahkan akan menimbulkan kecemburuan struktural ketatanegaraan.

Melanggar struktur ketatanegaraan

Secara struktur kelembagaan BPIP adalah badan yang setara dengan 12 badan lainnya, seperti BIN, BNPT, BKN, dan lainnya. Dalam struktur ketetanegaraan Indonesia, badan merupakan lembaga pemerintah nonkementerian, kepala badan tingkatannya disejajarkan dengan menteri.

Disejajarkan sesungguhnya bukan berarti sejajar, ia hanya dianggap sejajar karenanya hak administrasi dan keuangannya badan paling tinggi sejajar dengan menteri. Dengan demikian, logikanya kepala badan seharusnya bergaji paling tinggi setingkat menteri, atau boleh di bawahnya.

Dalam Perpres Keuangan BPIP diatur bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp 112.548.000 per bulan. Sementara itu, jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan. Sementara Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif lebih kecil, yaitu Rp 76.500.000. Wakil Kepala Rp 63.750.000, Deputi Rp 51.000.000, dan Staf Khusus Rp 36.500.000.

Secara struktur internal BPIP, tidak mungkin dalam struktur organisasi ada struktur yang lebih tinggi dari ketua/kepala dari lembaga tersebut. Karena itu, tidak masuk di akal jika kepala BPIP sebagai puncak struktur BPIP gajinya lebih rendah dari dewan pengarahnya.

Walaupun orang akan melihat sosok “tokoh besar” siapa-siapa orangnya dalam dewan pengarah tersebut, tapi ia harus taat struktur. Gaji dewan pengarah yang melebihi kepala badannya akan merusak struktural dan berakibat mengganggu fungsional BPIP sendiri.

Secara struktur ketatanegaraan lebih luas, Presiden Joko Widodo sejak menjabat pada 2014, gajinya hanya Rp 62.740.030, yang berasal dari gaji pokok dan tunjangan jabatan. Sementara Lembaga Tinggi Negara lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, disebutkan gaji pokok tertinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, sebesar Rp 5.040.000 per bulan.

Dari paparan di atas, kepala BPIP saja telah melebihi gaji Presiden, apalagi ketua dan anggota dewan pengarahnya. Ketua lembaga tinggi negara apalagi sangat jauh di bawahnya. Struktur gaji yang demikian sangat merusak struktur ketatanegaraan. Bagaimanapun besaran gaji pokok semestinya menjadi cerminan strata jabatan seseorang dalam struktur ketatanegaraan.

Tidak boleh ada alibi pejabat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya masih ditunjang dengan anggaran operasional. Dana operasional harus dipandang sebagai pembiayaan atas operasional pejabat dimaksud, tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari biaya operasional.

Asumsi tingginya biaya operasional bagi pejabat walau gajinya kecil, ini merupakan pembenar atas seloroh publik bahwa pejabat Indonesia gajinya kecil, tapi pendapatannya besar.

Itu tamparan bahwa ada inefisiensi yang sedang berlangsung dengan bungkus aturan. Gambaran hak keuangan yang menjadi hak pejabat negara untuk dibawa pulang itu hanya dari gaji. Jika pemerintah memperhitungkan dana-dana operasional sebagai bagian dari hak keuangan pejabat secara tak langsung telah melegalkan mengambil untung dari dana penyelenggaraan pemerintahan (korupsi).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement