REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
Manusia itu adalah “spiritual being in a physical body”.
Kalau seandainya saya ditanya tentang defenisi manusia maka jawaban saya kira-kira seperti di atas. Bahwa manusia itu adalah wujud spiritualitas dalam sebuah bentuk fisikal.
Intinya adalah bahwa manusia itu menjadi mulia, terhormat, punya nilai, dihargai karena memilki dimensi hidup yang luar biasa. Itulah dimensi spiritualitasnya.
Kalau sekiranya manusia bangga karena fisiknya maka sudah pasti gajah, kerbau atau sapi pantas lebih bangga karena lebih besar. Kalau kekuatan fisiknya boleh jadi seekor harimau akan lebih berbangga karena memang lebih kuat.
Oleh karenanya nilai kemanusiaan (human value) kita ada pada aspek ruhiyah kehidupannya. Jika penciptaan jasad manusia terbuat dari tanah liat (thiin). Maka eksistensi “ruh” manusia langsung dari tiupan ruh Ilahi (nafakha fii min ruhina).
Oleh karena ruh adalah tiupan ruh Ilahi maka ruh inilah yang nanti pada akhirhya kembali ke asalnya, kembali menghadap Allah SWT. Sementara fisiknya akan kembali pula bersatu dengan asalnya di tanah.
Jika fisik berakhir dengan kebusukan dan kehancuran, maka ruh yang yang terjaga akan mulia selamanya.
Hakekat ruh sebagai pemberian Allah yang khusus kepada manusia, menjadikannya rahasia yang tiada tahu kecuali Allah SWT sendiri. “Dan katakan sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah” (Alquran).
Sedemikian mulianya ruh manusia maka Islam dalam setiap elemennya mengandung unsur ruhiyah. Dari ibadah-ibadah ritual hingga ke aspek-aspek muamalatnya, semuanya mengandung unsur ruhiyah.
Ketika akan makan atau tidur misalnya, doa yang dipanjatkan semuanya bermuara langit (Allah). Makan meminta “barokah”. Dan barokah itu ada di tangan Allah yang “Tabaaraka”. Tidur juga atas namaNya Allah (bismika). Keduanya bukan sekedar aktifitas duniawi yang hampa ruhiyah. Tapi terikat dengan nilai-nilai samawi yang sarat dengan ruhiyah.
Jangankan makan dan tidur, hubungan suami isteri pun tidak lepas dari nilai-nilai ruhiyah itu. Sehinggga disebutkan bahwa hubungan yang tidak dimulai dengan doa permohonan perlindungan dari syetan, dan jika dengan hubungan itu dikaruniai anak, maka anak itu akan terpengaruh oleh syetan.
Bahkan keluar masuk WC sekalipun semuanya memiliki nilai-nilai ruhiyah karena bersentuhan langsung dengan nilai-nilai samawi. Meminta perlindungan dari syetan itu memiliki makna ruhiyah yang dalam.
Apalagi aspek ritual agama ini. Dari sholat, puasa, haji dan ragam bentuk ibadah ritual, semuanya secara mendasar dimaksudkan untuk menumbuh suburkan nilai-nilai ruhiyah manusia. Karena pada semua amalan itu dzikir menjadi substansi dasarnay.
Pada semua amalan ibadah ritual “dzikirlah” yang menjadi substansi dasar dari amalan itu. Sholat misalnya identik dengan “dzikir”. Bahkan sholat yang tiada dzikir dianggap shalat kemunafikan. Bahkan terancam dengan neraka “wael”.
Puasa secara khusus penuh dengan nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah) ini. Makan sahur itu bukan sekedar makan ibarat makan pagi. Tapi sebuah amalan ibadah yang padanya dijanjikan “barakah”.
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu ada barokah” (hadits). Barokah itu adalah nilai yang bersentuhan langsung dengan Allah (Tabaraka). Sehingga dengan sendirinya merupakan “penguatan ruh” yang memang langsung dari Allah (ruhina).
Singkatnya semua amalan yang terjadi di Bulan Ramadan, sholat-sholat sunnah, baca Alquran, Tarawih dan qiyaam, hingga kepada sadaqah dan bahkan tidur sekalipun bernilai tambah. Tidur siang misalnya kelelehan ibadah di malam hari akan bernilai ibadah.
Puasa diakhiri dengan berbuka puasa (Iftar). Berbuka bukan sekedar makan malam atau makan karena lapar di siang hari. Tapi semua amalan yang menjadi ritual sekaligus (disunnahkan). Dan karenanya dikaitkan langsung dengan puasa: “untuk Engkau Aku berpuasa, kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu juga aku berbuka puasa. Maka terimalah dariku. Sunnguh Engkau Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Oleh karenanya kita semua harusnya tersadarkan untuk memaksimalkan bulan Ramadan dalam membangun modal hidup yang utama dan mendasar ini. Kerapuhan nilai-nilai spiritualitas menjadikan manusia terombang-ambing dalam pergarakan gelombang dunia yang tiada akhir.
Kehidupan materialistis, konsumeris dan hedonistis menjadikan manusia semakin rakus dan kehilangan nuraninya. Akibatnya dalam dunia yang kerap kali diakui sebagai dunia modern yang lebih beradab (civilized) manusia justeru berkarakter hewani. Bahkan lebih buruk dari hewan.
“Mereka bagaikan hewan. Bahkan lebih sesaat dari hewan” (Alquran).
Semoga puasa kita menumbuh suburkan hati dan ruh kita sehingga dorongan dunia yang dahsyat ini mampu terimbangi. Keseimbangan dalam hidup materi (jasad) dan spiritualitas (ruh) inilah yang menjadikan Islam sebagia agama yang unik.
Agama yang membangun kebaikan pada dua aspek kehidupan. Hasanah fid-dunya wa hasanah fil-akhirah. Amin.
Jamaica Hills, 3 Juni 2018