REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
Kita masih berbicara di seputar Alquran. Kekuatan ruhiyah Alquran itu sedemikian dahsyatnya sehingga sekiranya diturunkan di atas sebuah gunung niscaya gunung itu akan goncang. Goncang karena rasa takut terhadap Allah SWT, Pencipta langit dan bumi.
“Kalau seandainya Kami turunkan Alquran ini di atas sebuah gunung, niscaya engkau akan melihatnya goncang karena takut kepada Allah. Demikian permisalan itu Kami berikan kepada manusia agar mereka berpikir” (Alquran).
Sepanjang sejarahnya Alquran membuktikan dari masa ke masa kemukjizatan itu. Tentu secara global kemukjizatan terbesar adalah merubah dunia dari alam kegelapannya ke alam yang terang dan beradab.
Jazirah Arabia dalam masa yang relatif singkat tertransformasi dari alam jahiliyah ke alam yang tidak saja berperadaban. Tapi telah menjadi pijakan awal terbangunnya peradaban dunia modern ketika itu.
Hal itu memungkinkan karena kekuatan cahaya kebenaran (Alquran). Dengan ajarannya yang kuat (mu’jiz) kegelapan Eropa tergantikan oleh peradaban Islam. Karena Islamlah Eropa yang ketika itu stagnan dengan keadaannya kembali bangkit.
Di Jazirah Arabia bahkan di seluruh alam dengan ajaran Alquran-lah terbangun pandangan yang berperadaban tentang keragaman yang ada dalam masyarakat. Perbedaan apapun, termasuk ras, etnik dan warns kulit, juga perbedaan gender tidak lagi sesuatu yang negatif.
Sebaliknya dengan ajaran Alquran yang luar biasa itu terbangun penerimaan (acceptance), bahkan penghargaan (appreciation) terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Dari cara pandang rasiame menjadi sikap dan prilaku adil dalam melihat keragaman.
Secara khusus wanita pra Ialam di semenanjung Arabia, bahkan di seantero dunia, adalah makhluk yang diragukan kesempurnaannya. Wajar jika di masyarakat pra Islam anak-anak wanita tidak jarang dikubur hidup-hidup.
Mu’jizah dalam perubahan juga terlihat dalam hal perdamaian. Dengan Alquran, bangsa Arab yang telah beratus-ratus tahun berperang sauadara, dendam di atas dendam, kembali bersatu dan bersaudara bahkan melebihi saudara sekandung.
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali agama Allah dan janganlah bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah ketika kamu saling bermusuhan lalu Allah jinakkan hati-hati kamu. Maka kamupun menjadi saudara karena nikmatNya” (Alquran).
Kemukjizatan Alquran terbukti sepanjang masa. Di mana ada sesuatu yang dianggap kehebatan bahkan menjadi jalan keangkuhan manusia, Alquran hadir untuk menaklukkannya (yu’jizahu).
Di zaman keangkuhan manusia di bidang sains dan teknologi Alquran hadir untuk menyadarkan manusia bahwa “Di atas semua yang berilmu ada yang Maha Tahu” (wa fauqa kulli dzi ilmin Amin).
Saya tentunya tidak perlu menyebutkan lagi satu persatu penemuan ilmiah para ahli tentang informasi keilmuan yang justeru Alquran telah sampaikan di saat para ahli masih bermimpi.
“Tidakkah kamu tahu bahwa dan bumi pernah menyatu lalu Kami pisahkan” (Alquran). Belakangan ditemukan teori Big Bang.
“Dan Kami jadikan dari air semua yang hidup” (Alquran). Kemudian disimpulkan belakangan oleh ahli bahwa memang dasar kehidupan itu adalah air.
“Dan Kami jadikan gunung-gunung itu sebagai pasak” (Alquran). Yang kemudian ditemukan bahwa jika saja bukan karena gunung-gunung niscaya bumi ini akan goncang terus menerus karena gerakan ombak.
Barangkali mukjizat Alquran yang paling menonjol juga adalah kehebatan bahasanya. Dari awal turunnya hingga detik ini bahasa Alquran itu merupakan bahasa yang tiada duanya, baik dari segi kekayaan maupun keindahannya.
Seorang ahli bahasa di salah satu Universitas Amerika baru-baru ini menuliskan kekagumannya kepada bahasa Alquran. Dan itu semua hanya dalam beberapa aspek.
Sebagai misal, pilihan kata dalam Alquran itu begitu teliti dan pas. Salah satunya kata jama’ kerap terpakai dua bentuk untuk satu kata yang sama.
Kata “ni’matun” (nikmat) memiliki dua bentuk kata jama’ atau pluralnya. Yaitu “ni’am” dan “an’um”. Keduanya berarti “nikmat-nikmat”. Tapi apa perbedaan keduanya?
Kata “ni’am” terpakai dalam ayatnya: wa asbagha alaikum ni’amahu zhoohiratan wa baathinah. Yang artinya: Dan Allah memberikan kepadamu nikmat-nikmatNya, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Sementara kata “an’um” terpakai di ayat yang menggambarkan karakter Ibrahim AS yang ahli syukur. “Syaakiran li an’umihi”.
Dari kedua ayat itu dipahami bahwa kata “ni’am” itu dihubungkan dengan kenikmatan dari sisi Allah. Sementara “an’um” adalah penyebutan nikmat dari sisi hambaNya. Lalu bedanya di mana?
“Ni’am” memaknai kenikmatan dari Allah yang tiada batas. Sementara “an’um” memaknai kenikmatan yang mampu disyukuri dengan segala keterbatasannya.
Tentu terlalu banyak yang bisa kita sebutkan dari segi kemukjizatan bahasa. Tapi saya ingin tutup bagaimana indahnya dan teraturnya pilihan dan penempatan kata, baik dari segi bentuk maupun makna. Lihat misalnya Ayatul Kursy yang mungkin saja banyak di antara kita yang menghafalnya.
Pada ayat itu ada 9 poin penting yang disampaikan: 1) Allahu Laa ilaaha illa Huwal Hayyul Qayuum. 2) laa ta’khufzuhu sinatun wa laa naum. 3) lahuu maa fis samawati wa maa fil-Ardhi. 4) man dzalladzi yasyfa’u indahu illa bi idznih. 5) ya’lamu maa baena aedihim wa maa khalfahum. 6) wa laa yuhiithuuna bisyaein min ilmihi illa bimas syaa. 7) wasi’a kursiyyuhu as-samawati wal-ardha. 8) wa laa ya’uuduhu higzhuhuma. 9) waHuwa al-Aliiyyul Adziim.
Apa kemukjizatan ayat ini dari segi bahasa? Perkatikan pasangan makna-makna dari 9 poin itu. Poin pertama semakna dengan poin terakhir. Poin kedua semakna dengan poin kedua terakhir. Poin ketiga semakna dengan poin ketiga terakhir. Poin keempat semakna dengan poin keempat terakhir. Dan poin kelima itu menggabung semua makna keempat poin sebelumnya dan keempat poin setelahnya.
Setelah bertahun-tahun kita baca, bahkan hafal ayat ini barulah tersadarkan betapa agungnya konsolidasi kata dan makna di ayat ini. Itu Baru dari segi penempatan kata-kata dari Sudir maknanya. Belum lagi pilihan kata, apalagi makna yang terpandung pada ayat itu.
Misalnya kenapa Allah memaknai kata “Kursy” dan bukan “Arasy”? Kenapa Allah memulai ayat ini Allahu, dan bukan “Huwa Allahu?”. Semua itu mengandung makna yang sangat dalam dan hanya dipahami sedikit saja oleh mereka yang ahli bahasa Al-Quran.
Kesimpulannya di bulan Ramadan ini sebagai bulan diturunkannya “Mu’jizatul mu’jizaat” (miracle of all miracles) mari kita tingkatkan kedekatan kita kepada Alquran. Jangan sampai kita termasuk mereka yang dianggap meninggalkan Alquran (mahjuura).
Jadikanlah Ramadan ini sebagai momentum untuk menjadikan Alquran petunjuk hidup, lahir batin, dunia akhirat. Bangun komitmen itu. Sehingga nantinya di akhirat kelak Alquran akan menjadi pembela (syaahidun lana) bukan lawan (alaina). Amin.
Jamaica Hills, 4 Juni 2018