REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley, Founder Indosterling Capital
Dalam hitungan hari, bulan Ramadan yang suci akan segera berakhir. Masyarakat, terutama umat Islam, pun sudah bersiap menyongsong Idul Fitri 1439 Hijriyah yang jatuh pada 14 Juni 2018 Masehi. Indikatornya tidak sulit ditemui, salah satunya semakin ramainya pusat perbelanjaan.
Namun, di sela-sela keriuhan menyambut hari yang fitri, sebuah kabar positif berembus dari kawasan Pasar Baru, "markas" Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (04/06/2018). BPS mengumumkan tingkat inflasi Mei 2018 sebesar 0,21 persen. Dengan begitu, inflasi tahun kalender (Januari-Mei) 2018 mencapai 1,30 persen. Sedangkan inflasi tahunan alias year on year sebesar 3,23 persen.
BPS menggolongkan inflasi Mei 2018 sebagai inflasi Ramadan, sebagaimana inflasi Juni 2018 nanti. Semua karena bulan Ramadan tahun ini dimulai pada 17 Mei 2018 dan berakhir 13 Juni 2018. Bank Indonesia mencatat inflasi Mei 2018 lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata bulan Ramadan empat tahun terakhir sebesar 0,63 persen.
Semua fakta itu tidak diragukan lagi membuat pemerintah dan BI gembira. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menuturkan inflasi Mei 2018 sejalan dengan keinginan pemerintah. Realisasi inflasi akhir tahun nanti juga berpotensi lebih rendah dari target yang dituangkan dalam APBN 2018, yaitu 3,5 persen.
Pertanyaannya, mungkinkah hal tersebut terwujud?
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, inflasi memiliki definisi kemorosotan nilai uang (kertas) karena banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Apabila disederhanakan, inflasi berarti suatu periode ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan.
Inflasi memiliki dampak positif dan juga negatif. Dampak positif yang paling nyata adalah mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, konsumsi rumah tangga tak terganggu harga barang dan jasa yang meningkat. Sementara dampak negatif ialah membuat masyarakat kesulitan membeli barang dan jasa. Jika ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi terganggu. Muara dari itu semua adalah stabilitas politik dan keamanan terganggu. Maka jangan heran jika pemerintah dan BI mati-matian menjaga inflasi.
Apabila dicermati, tingkat inflasi Mei 2018 meneruskan tren inflasi rendah sepanjang tahun ini. Sebelumnya, inflasi Januari 2018 tercatat 0,62 persen, Februari 2018 0,17 persen, Maret 2018 0,20 persen, dan April 2018 0,10 persen. Apabila tren tersebut diteruskan, maka seperti penjelasan di awal, realisasi inflasi 2018 bisa lebih rendah dari target dalam APBN 2018.
Namun demikian, pemerintah maupun BI harus tetap waspada. Sebab, masih ada kenaikan harga pada komponen harga bergejolak alias volatile food. Menurut BPS, komponen itu mengalami inflasi 0,19 persen (month to month) pada Mei lalu setelah pada April membukukan deflasi 0,29 persen (mtm). Sementara inflasi volatile food secara tahunan 4,33 persen atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya 5,08 persen.
Sedangkan dari berbagai daerah, ada laporan kenaikan harga komoditas pangan strategis seperti daging ayam. Bahan pokok lain yang mengalami kenaikan harga adalah tepung terigu. Sementara komoditas lain seperti daging sapi tetap bertahan tinggi, yaitu di atas Rp 100 ribu per kg.
Koordinasi lintas sektor perlu terus diperkuat demi menjaga inflasi volatile food maksimal di kisaran 4-5 persen sebagaimana keinginan Tim Pengendalian Inflasi Pusat awal tahun ini. Pasokan pangan yang memadai harus terus dipastikan. Penguatan cadangan pangan pemerintah, termasuk melalui importasi sejumlah komoditas seperti beras, dapat dilakukan.
Di sisi lain, kerja Satgas Pangan menjamin distribusi sembilan bahan pokok sudah optimal. Jangan sampai kinerja positif itu hanya terjadi pada bulan Ramadhan saja, melainkan juga bulan-bulan ke depan. Dengan demikian, upaya pihak-pihak yang selama ini mengganggu distribusi hingga menyebabkan harga melonjak, dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Satu fakta lain yang patut diwaspadai dalam rilis BPS Mei lalu adalah inflasi inti. Menurut BPS, inflasi inti Mei 2018 sebesar 0,21 persen (mtm) dan 2,75 persen (yoy). Realisasi itu lebih rendah dibandingkan inflasi inti sebulan jelang Ramadhan tahun-tahun lalu. Berturut-turut sejak 2015, inflasi inti sebesar 5,04 persen, 3,12 persen, dan 3,2 persen.
Inflasi inti yang rendah tak pelak membuat sejumlah kalangan menilai daya beli masyarakat masih lemah. Penilaian itu memang telah ramai-ramai dibantah pemerintah dan BI. Namun demikian, nilai inflasi inti ke depan patut dicermati.
Sebab, daya beli berkorelasi positif dengan konsumsi rumah tangga. Dan seperti diketahui bersama, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2018 sebesar 5,06 persen juga diwarnai pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang rendah, yaitu 4,95 persen. Tren pertumbuhan di bawah lima persen seolah belum berhenti.
Untuk itu ke depan, pemerintah dan juga DPR, harus memastikan program-program yang bertujuan menjaga daya beli tetap berjalan optimal. Dimulai dari pemberian subsidi energi (listrik, solar, elpiji 3 kg, dan minyak tanah) hingga penguatan efektivitas program perlindungan sosial (mulai dari program keluarga harapan alias PKH sampai program jaminan kesehatan nasional alias JKN).
Belum lagi program padat karya tunai yang diluncurkan pemerintah tahun ini. Jangan sampai program-program yang begitu positif di atas kertas menjadi macan ompong saat diterapkan di kalangan masyarakat. Tentu kita semua tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Indikator makroekonomi yang positif tentu diharapkan semua pihak di tengah ketidakpastian ekonomi global seperti sekarang ini.