Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Mudik itu kosa kata Betawi yang artinya menuju ke selatan atau menuju hulu (udik). Lawan kata mudik adalah milir, yakni menuju utara atau menuju hilir (muara). Kosa kata mudik dan milir terekam jejaknya dalam lagu 'Selamat Lebaran' karya legendaris anak Betawi Kwitang, yakni Bang Maing atau Ismail Marzuki. Katanya dalam syair lagu itu, kalau lebaran di Jakarta pada tahun 1950-an, naik trem sehari bisa milir mudik karena 'prey' (gratis).
Orang Betawi dahulu menyebut mudik layaknya orang pergi kondangan saja. Seperti kata merantau, Bagi orang Betawi jaraknya pun dekat saja, misalnya pindah rumah dari Rawa Belong ke Pasar Minggu. Bahkan ada yang cerita orang Betawi dahulu mudiknya paling jauh ke Tangerang atau Bekasi.
Contohnya ketika ada pertanyaan begini: "Mau ke mane Mpok Mumun? Jawabnya: "Mau mudik dulu Cing, ke Pasar Minggu."
Kata ini sudah mulai lenyap seiring minggirnya etnis betawi ke daerah pinggiran (udik/betawi ora). Padahal antara Betawi tenge (kota) cara bicara beda banget dengan 'Betawi Ora'.Betawi tenge selain pakai ‘e’ juga kosa kata percakapannya campur-baur kata Arab, Portugis, Cina. Betawi pinggir (Betawi Ora) kosa katanya tercampur dialek Sunda, misalnya kata 'bagen' untuk menyebut biarin, 'ngapah' utuk apa yang di Betawi tenge menjadi 'ape'.
Contoh yang lucu ya ada di keluarga Si Doel Anak Sekolahan. Satu rumah dan satu keluarga 'ngomong'-nya campur-campur. Mak Nyak dan Benyamin ngomong gaya Betawi Tenge, Mandra dan Pak Tile ngomong cara Betawi Ora. Anak-anak Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kala sinetron tayang menyebutnya sinetron gaya lenong. Mendiang budayawan Betawi SM Ardan sempat menyebut cara dialog atau ngomong keluarga Si Doel ‘kayak gado-gado' alias campur baur serta lucu bin unik. Dia 'kesel' karena melihat omong Mandra yang suka teriak-teriak. Katanya, kesannya orang Betawi jadi sosok yang judes. Budayawan Betawi Ridwan Saidi juga menyatakan cara wicara orang Betawi itu sebenarnya santun layaknya orang berpantun.
“Sayangnya masyarakat tak sadar akan gaya omongan mereka. Seolah omongan orang Betawi itu sejenis dan nyablak,’’ kata SM Ardan yang juga penulis novel dan lakon Lenong kondang, Nyai Dasima itu.
Beda dengan etnis yang lain yang kadang ‘jeri’ melihat kedatangan orang lain, masyarakat Betawi bersikap terbuka dan biasa saja bila tinggal bersama orang asing. Meski mereka sempat dalam waktu yang lama hanya bisa mengelus dada karena identitas budaya Betawi seolah tak berbekas pada sosok Jakarta yang kini berubah menjadi kota Megapolitan, atau bukan lagi ‘kampung besar’.
Benyamin S pada peringatan hari ulang Tahun RI ke-50, dahulu sempat mengatakan kala itu dirinya memang merasa puas. Dan ini berkat boming berbagai serial film dan rekaman gambar kromongnya. Dia makin puas karena lewat sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' membuktikan bahwa percakapan atau cara omong gaya Betawi menjadi bicara sehari-hari orang Indonesia. Paling tidak menjadi bahasa Indonesia dalam tayangan sinetron televisi dan gaya bicara para penyair radio swasta di seluruh pelosok Indonesia. Kesannya kalau kagak pake omongan gaya Jakarta, radio mereka terasa 'jadul'. Jadi tak usah heran bila dengar siaran radio di Papua atau Medan, langgam bahasanya ala omongan yang lagi populer di Jakarta sebagai kampungnya orang Betawi.
‘’Gue sekarang puas. Berhasil makein para pejabat pakai baju Betawi. Gue sekarang bisa mati merem karena budaya Betawi diakui sebagai identitas Jakarta. Bayangin itu,’’ kata Benyamin Sueb dengan gaya yang khas slengekannya. Waktu itu dia ikut karnaval 50 tahun Indonesia Merdeka. Benyamin ‘nongol’ naik diatas kendaraan terbuka keliling pusat kota Jakarta. Masyarakat berjejalan menyambutnya dan mengeluk-elukannya. Dahysat!
Wilayah tinggal orang Betawi, pasca tahun 1970-an memang menjadi magnet yang sangat kuat bagi para orang ‘udik’ atau luar Jakarta untuk mengadu nasib. Guruh Soekarnoputra dalam lagu ciptaannya yang dinyanyikan Andi Mariam Matalatta, yakni lagu ‘Lengang Jakarta’ menyebut kota ini begitu istimewa: jangankan surga dunia, neraka dunia pun ada.
Dan memang, pada awal masa Orde Baru inilah Jakarta mulai bersolek sangat cepat. Bila Taufik Ismail menyebut pada pertengahan tahun 1965 kota ini gedungnya terlihat kusam karena banyak tembok yang tidak lagi dicat karena beban inflasi dan krisis ekonomi, kini kota ini setelah berganti rezim dan berkat boming harga minyak, berdandan megah. Ali Sadikin pelopornya. Bila pada zaman Obama tinggal di Menteng Dalam, gedung yang tinggi hanya ada di Sarinah dan Hotel Indonesia, kini bangunan pencakar langitnya bejibun. Bahkan di banyak spot, pemandangan Jakarta sudah layaknya Hongkong.
Magnet itulah yang memicu orang udik melakukan urbanisasi ke Jakarta. Alasan pertamanya adalah mencari uang sekaligus pekerjaan. Alasan lainnya, karena hidup di udik sudah tak layak lagi karena menjadi petani sudah pasti miskin karena terbatasnya lahan dan ketiadaan subsidi. Zaman Suharto di mana menjadi petani masih menjadi idola kini sudah ditinggalkan. Bahkan saking ekstrimnya, anak-anak muda dari udik pada masa kini sudah pilih kerja tidak lagi ke Jakarta, tapi ke luar negeri misalnya negara di Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Yang tersisa di kampung kebanyakan tinggal anak-anak orang tua.
Bagi orang Betawi bulan puasa dan Idul Fitri adalah istimewa. Mereka menyesaki masjid dan mushola di kampung-kampung. Berbeda dengan di Jawa, guru spritual mereka adalah kebanyakan para habaib atau bukan para kyai (yai). Dahulu mendiang Buya Hamka memuji sikap istiqamah dalam beragama Islam orang Betawi.’’Meski banyak yang hidup susah dan hidup ratusan tahun dalam penindasan kolonial, orang Betawi tetap mampu menjaga iman Islamnya,’’ kata Hamka pada tahun 1960-an.
Selain itu hari lebaran bagi orang Betawi sudah menjadi ritual khusus. Pada malam hari sebelum takbiran, menjelang buka puasa, para tetangga saling mengantar makanan atau ngejot. Para kaum ibu memasak makanan khusus. Pada hari lebaran aneka makanan khas Betawi dihidangkan kepada para ‘tetamu’ yang datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Aneka dodol, kue putu mayang, akar kelapa, kembang goyang kerap disajikan. Anak-anak bersuka ria mendapat uang jajan tambahan.
Jadi jangan tanya mudik atau ‘kagak’ sama orang Betawi, Mereka pasti akan di bingung soalnya kampung tempat tinggalnya kebanyakan sudah di ‘udik’ dan hilang karena tergusur. Apalagi, kalau memakai istilah mudik untuk memaknai pulang kampung, malah dia sebenarnya ‘milir’ karena pergi ke arah utara. Ini karena rumah mereka sebagaian besar sekarang di arah selatan, misalya di depok, Parung, Bintaro, Bekasi, Tangerang. Sedangkan rumah aslinya di Tenabang, Kuningan, kawasan kota, kawasan Senayan sekarang sudah berubah menjadi area perkantoran atau perumahan yang amat mahal dan ditinggali kaum pendatang.
Atau malah jangan-jangan kini sudah ada perkembangan terbaru orang Betawi ikut mudik karena isteri atau suaminya seorang pendatang dari luar Jakarta. Uniknya lagi kini sebagian orang Betawi memaknai pulang dengan (pergi) 'ke Jawa' karena seolah Betawi tidak berada di pulau Jawa.
Memang unik merenungkan istilah mudik masa kini bagi orang Betawi. Kampunga sudah banyak yang hilang. Namanya pun banyak berubah tak lagi pakai nama toponomi buah, pohon, atau tempat.Kalaipun ada namanya nama kampungnya ditambahi sebutan ke iIngris-Ingrisan biar terkesan internasional seperti Kebayoran Heritage hingga menyebut Central Bisnis Districk (CBD) untuk kawasam bekas tempat yang dulu bagian dari kampung Karet Kuningan.
Hal itu sesuai dengan apa yang dipotret dalam lirik lagu sinetron Pepen Kosong yang disutradarai Ali Shahab. Lagu bergenre gambang kromong dan bernada riang ini dinyanyikan maestro lenong, Nirin Kumpul.
Paling kesian anak Betawi
Negerinya ilang diambil orang,
Senayan digusur, Kebayoran digusur,
Tebet digusur, Kuningan digusur,
engkong digusur, encang digusur, buyut digusur, encing digusur.