REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurizal Ismail, Direktur Pusat Srudi Kitab Klasik Islam STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID
19 Juni 2018, Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti ditunjuk oleh Presiden Jokowi Widodo untuk hadir dan mewakilinya sebagai panelis dalam pertemuan dunia yaitu Sherpa Meeting of the High Level Panel on Building Sustainable Ocean Economy di Oslo, Norwegia. Kenapa pertemuan ini menjadi penting karena laut memiliki potensi besar selain pertanian dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tujuan dari pertemuan untuk berkontribusi terhadap pencapaian agenda Sustainable Development Goals 2013.
Dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, arah, tahapan, dan prioritas pembangunan bangsa Indonesia kedepan adalah terwujudnya Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Potensi pembangunan ekonomi kelautan dapat dilihat dari 3 kelompok sumber dayanya, yaitu sumber daya yang dapat pulih (renewbal resources) seperti hutan mangrove dan terumbu karang; sumber daya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak, gas, dan timah; dan jasa lingkungan (enviromental services) seperti kawasan pesisir yang dijadikan destinasi wisata.
Sektor kelautan mempunyai hubungan erat dengan sektor ekonomi dalam pembangunan nasional, yaitu dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan pekerjaan. Tetapi ironisnya, hanya sebagian pengusaha yang memperhatikan hal tersebut dan lebih banyak nelayan yang banyak masuk kategori masyakat kecil dan menengah yang memjadi sasaran para tengkulak. Belum lagi kalau kita melihat Indonesia dari indeks konektivitas atau Liner Shipping Connectivity Index (LSCI) yang hanya 40.9 dibandingkan dengan Malaysia mencapai 98.1 dan Singapura yaitu 115.1. Tingginya LSCI menggambarkan posisi sebuah negara dalam perdagangan internasional dan Indonesia jauh tertinggal dari 2 negara tetangganya.
Indonesia sebagai Negara maritim memiliki pengelolaan potensi sumber daya kelautan yang melimpah karena itu perlu menjadi perhatian bagi sistem ekonomi yang berbasis Syari’ah. Dalam Qur’an Allah berfirman QS. An-Nahl, 14: “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
Hadist yang diriwayatkan oleh Dari Abu Haurairah tentang pentingnya air laut, dia berkata: Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, kami naik kapal dan hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan kehausan, apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ia (laut) adalah suci airnya dan halal bangkainya.”
Beberapa ulama yang pemikirannya terkait dengan kelautan misalnya Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi (342 H/953 M), seorang nakhoda, musafir, kartografer, dan geografer Muslim. Ia diperkirakan lahir di Khuzistan, Persia. Karyanya yang terkenal yaitu Aja'ib Al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jaza'irihi (Hal-hal menakjubkan mengenai daratan, lautan, dan kepulauan Al-Hind). Kitabnya berkenaan dengan koleksi hikayat pelaut Muslim yang melakukan perjalanan di samudera india dari Afrika Timur sampai ke Cina, teluk Persia dan Arab dan laut merah.
Adapun yang menarik dari kisah ini adalah yang diceritakan oleh Ismail bin Ibrahim atau lebih dikenal dengan Ismailawah bahwa dia melakukan perlajalanan pulau emas (bilad al-dhahab) yang menurut Suhanna Shafiq (2011) dalam tesisnya di Universitas Exester, UK adalah pulau Sumatera dan Jawa, dan termasuk pulau lamiri (Sumatera Utara). Ini terbukti saat ini kalau Sumatera dan Jawa merupakan daerah penghasil emas.
Ulama yang lainnya adalah Ahmad bin Majid (906 H/1500 M) dengan kitabnya fawāid fi usūl al-bahr wal qawāid (kitab tentang manfaat dalam konsep dasar dan prinsip-prinsip laut). Lainnya adalah Sulayman al-Mahri (917 H/1511 M) dengan kitabnya al-'Umda al-Mahriyyah fi Ḍabt al-'Ulūm al-Baḥriyyah (Pijakan al-Mahri dalam Meletakkan Ilmu Kelautan) dan Tahfatul Fuhul fi Tamhidil Ushul (Pengantar Dasar-dasar Ilmu Pelayaran).
Beberapa universitas di Indonesia dan dunia telah menawarkan program studi ekonomi kelautan, tetapi yang menawarkan ekonomi kelautan syariah. Kenapa harus ada program studi ekonomi kelautan syariah karena secara worldview (cara pandang) dan epistemologi pengembangan keilmuwannya mempunyai perbedaan. Sudah banyak juga tulisan-tulisan dalam jurnal baik nasionald dan internasional tentang ekonomi kelautan syariah, tetapi belum ada yang menangkap peluang tersebut menjadi suatu program studi.
Jika di dunia belum menawarkannya, sepatutnya Indonesia sebagai negara maritim yang memulainya. Artikel yang dimuat Republika (22/7/2018) menyatakan bahwa kampus Tazkia sedang mengembangkan konsentrasi baru yang kelak akan berdiri sendiri menjadi program studi diantaranya adalah konsentrasi ekonomi kelautan syariah. Semoga dengan adanya konsentrasi tersebut bisa menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat dalam sektor ekonomi kelautan saat ini. Wallahu’alam bil sawab!