REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan
Tidak sedikit di antara kita yang menjadi pengagum berat dari seorang tokoh, bahkan mengultuskannya. Kekaguman kita terhadapnya terkadang berlebih-lebihan, bahkan melampaui akal sehat.
Diagungkannya tokoh itu layaknya manusia setengah dewa, tanpa salah. Apa yang dikatakannya, meski hanya berdasar nalarnya saja sudah dianggap sebagai kebenaran...
Bahkan terkadang para pengagumnya itu menambah-nambahkan “kesaktian” tokoh itu. Tanpa sadar dia telah menjadi juru bicara yang baik, sekalipun tanpa diminta. Dia mengabdikan dirinya agar sang tokoh lebih dikenal.
Fenomena ini muncul di tengah-tengah komunitas tertentu, oleh banyak sebab. Saya tidak sedang membahas sebab-sebab yang melatarbelakanginya...
Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran, bahwa mengagung-agungkan tokoh berlebih-lebihan (taklid), tidak baik. Taklid itu pada dasarnya adalah penguasaan seseorang atas diri seseorang. Pikiran jadi terbelenggu. Maka pikiran dikondisikan seolah kebenaran cuma milik sang tokoh.
Penguasaan akal pikiran atas seseorang, inilah awal dari kejumudan. Dalil-dalil dan konvensi yang ada sudah tidak lagi jadi panutan. Taklid itu sejatinya pembunuh akal sehat.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, adalah murid utama Ibnu Taimiyah. Apa kata beliau tentang Sang Guru itu, dan itu agar beliau terbebas dari taklid terhadapnya?
“Aku mencintai Guruku, Ibnu Taimiyah. Tapi aku lebih mencintai suara kebenaran (al-haq).”
Ibnul Qayyim mampu menjaga jarak subyektivitas pada Sang Guru, yang itu tidak boleh keluar dari pemahaman kebenaran... Karenanya, Ibnul Qayyim mampu keluar dari “bayang-bayang” kebesaran Sang Guru. Dia “berselancar” di samudera ilmu tak bertepi...
Berpuluh karya besar dihasilkannya. Bahasan dari karya-karya yang dihasilkannya itu, hampir tidak bersentuhan dengan karya-karya Sang Guru. Dan, itu mustahil bisa dimiliki murid yang cuma bertaklid pada Sang Guru.
Fenomena memprihatinkan
Ahlus-Sunnah mengenal empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Perbedaan yang ada di antara keempat madzhab itu hanya pada masalah-masalah khilafiyah furu’iyah.
Tidak ada satu dari para Imam Madzhab itu yang mengklaim bahwa cuma madzhabnya sajalah yang paling benar. Mereka senantiasa mengajarkan pada murid-muridnya untuk tidak taklid pada madzhab yang dibawanya...
Mereka sepakat mengatakan, apabila ditemukan pendapat dari madzhab lain yang dianggap benar, maka tinggalkanlah pendapatku. Ada semacam pameo di antara mereka, mengagungkan kebenaran ketimbang mempertahankan pendapatnya.
Pada fenomena kekinian, pada masyarakat kita akhir-akhir ini, muncullah sikap yang mempertahankan pendapat madzhabnya pada masalah-masalah khilafiyah berlebihan, dan itu jauh dari keinginan para Imam Pendiri Madzhab.
Perang pendapat yang saling mengecilkan, menafikan, dan menganggap kelompoknya yang bermadzhab tertentu sajalah yang paling benar. Perbedaan khilafiyah yang tidak prinsip dibesar-besarkan melebihi kewajiban adanya persatuan di kalangan umat Islam (ukhuwah Islamiyah)...
Kewajiban diabaikan, dan tidak prinsip berkenaan dengan masalah-masalah khilafiyah, dianggap seolah satu keharusan untuk dipaksakan. Itu tampak dipicu oleh elit masing-masing pihak yang menganggap madzhab yang dianutnya paling baik dan benar...
Mainstream di negeri ini bermadzhab Syafi’i. Tapi, siswa-siswa yang belajar di Timur Tengah khususnya yang menganut madzhab Hanbali, saat balik dari menimba ilmu itu mereka merasa “wajib” menyampaikan apa saja yang dipelajarinya dengan tidak melihat “kebiasaan” yang sudah ada di negeri ini berabad lampau. Di sinilah persoalan “persinggungan” itu dimulai.
Belajar dari toleransi Imam Ahmad
Persinggungan soal qunut dan tidak qunut dalam shalat Subuh menjadi perdebatan yang tidak produktif, tapi justru menodai marwah madzhab yang ada. Madzhab Syafi’i mensunnahkan adanya qunut pada shalat Subuh, tapi tidak pada madzhab Hanbali.
Maka dalil memakai qunut dan tidak memakainya tidak lagi dipelajari sebagaimana mestinya, dipelajari sebagaimana seharusnya. Karenanya, perbedaan pendapat itu semestinya tidak sampai menjadi saling merendahkan antarpengikut madzhab...
Memakai qunut dan tidak memakainya, itu punya dalilnya masing-masing, dan karenanya tidak disikapi dengan, yang tidak memakai itu lawan dan yang memakai itu kawan, atau sebaliknya...
Bahkan lebih ekstrem lagi, perbedaan khilafiyah ini sampai pada olok-olok menganggap yang satu keluar dari sunnah, sehingga salam pun tidak dijawab, sakit tidak dijenguk, dan bahkan wafat pun enggan untuk menshalatkan.
Hal-hal itu tentu tidak terjadi di masa saat para Imam Madzhab dan murid utamanya itu hidup, khususnya di kehidupan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berdua saling menghormati pendapat masing-masing dengan hujjahnya, dan karenanya tidak saling merendahkan satu dengan lainnya.
Apa pemicu fenomena munculnya kelompok madzhab yang mengecilkan madzhab lainnya di luar kelompoknya itu? Bisa jadi mereka tidak benar-benar kenal akan madzhab yang dipilihnya, apakah mereka mengenal dengan baik kitab masterpiece karya Imam Syafi’i, al-Umm, bagi mereka yang bermadzhab Syafi’i. Dan apakah mereka mengenal kitab Sunnan Imam Ahmad, dan terutama mengenal sikap keteladanan dan toleransi yang dimiliki Imam Ahmad berkenaan dengan perbedaan khilafiyah?
Jika mengaku bermadzhab tertentu, tapi tidak mengenal kitab-kitab induk dari para Imam Madzhab, dan kitab-kitab rujukan lainnya dari ulama penganut madzhab yang ada dengan baik, maka mustahil kita bisa memahami dengan benar ajaran-ajarannya yang saling menguatkan.
Satu contoh kisah yang patut diteladani... Imam Ahmad berpendapat, bahwa Qabliyah Maghrib (shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib) itu sunnah. Namun pengakuan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak sekali pun di antara para muridnya yang pernah melihat Imam Ahmad melakukan Qabliyah Maghrib di masjid...
Dan bertanyalah salah seorang di antara muridnya, mengapa Sang Guru mensunnahkan Qabliyah Maghrib, tapi tidak pernah sekali pun dia melakukannya?...
“Saya tidak ingin karena pendapat saya yang bersifat khilafiyah, nantinya akan menjadi perdebatan, atau bahkan perselisihan di antara umat Islam.”... Saat itu di Baghdad, tempat Imam Ahmad bermukim, mainstream penduduknya menganut madzhab Hanafi, yang tidak mensunnahkan Qabliyah Maghrib.
Begitulah sikap Imam Ahmad yang lebih mengutamakan semangat ukhuwah meski meninggalkan pendapatnya yang bersifat sunnah, yang diperselisihkan kesunnahannya oleh madzhab lainnya. Dalam konteks di atas, dianggap tidak sunnah oleh madzhab Hanafi.
Menekan ego yang diajarkan Imam Ahmad di atas, untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar, mestinya menjadi pijakan kita untuk tidak mempermasalahkan hal-hal yang tidak prinsip dalam beragama. Persatuan umat (ukhuwah) mestinya diposisikan di atas hal-hal yang bersifat khilafiyah furu’iyah.
Siapa bilang Imam Ahmad itu Imam paling puritan di antara Imam lainnya? Imam Ahmad puritan pada hal yang menyangkut akidah, tapi dia Imam paling toleran untuk masalah yang bersifat khilafiyah.
Banyak contoh keteladanan dan sikap toleransi yang diajarkan dan diamalkan oleh Imam Ahmad, sampai pada hal-hal yang kecil. Ada kisah menarik, untuk menyudahi artikel ini... Ada seorang muridnya yang pergi ke Makkah. Sepulangnya sang murid dengan bangga memakai pakaian penduduk Makkah. Imam Ahmad yang melihatnya, memanggilnya, “Apakah kamu berbangga dengan pakaian yang kamu pakai (penduduk Makkah) itu? Cepat tanggalkan pakaianmu, dan ganti dengan pakaian lainnya (pakaian yang biasa dikenakan penduduk Baghdad)!”... Subhanallah.