Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika
Pilkada serentak pada 2018 memunculkan sejumlah kejutan besar. Merujuk hasil hitung cepat versi lembaga survei, ada dua hasil yang paling menyita perhatian, yakni kemenangan Ridwan Kamil di Jawa Barat (Jabar), Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur (Jatim), dan Edy Rahmayadi di Sumatra Utara.
Lewat Pilkada dari 2017 hinga 2018, kita juga menyaksikan sebuah anomali, yakni oposisi yang bisa mencuri suara signifikan di basis kekuatan pemerintah, seperti Jawa Tengah, Sumatra Utara, DKI, dan Banten. Sisi yang menarik juga perihal kekalahan partai pengusung utama Jokowi, PDI Perjuangan di mayoritas daerah kunci pada pemilihan presiden 2019.
Mari kita telaah secara saksama.
1. Antara Jokowi dan PDIP
Sejatinya, partai yang mengusung Jokowi di Pilpres 2019 amat penting untuk menyatukan langkahnya di Pilkada Jabar dan Jatim sebagai konsolidasi jelang Pilpres 2019. Sebab dua daerah itu merupakan lumbung suara.
Di Jabar ada 31,7 juta pemilih, sedangkan Jatim punya 30,1 juta. Dengan total pemilih Pilpres 2019 yang mencapai 196,5 juta, maka Jabar dan Jatim punya bobot sekitar 30 persen dari total pemilih nasional.
Tak berlebihan maka jika ada teori bahwa Jabar dan Jatim akan menentukan siapa Presiden Indonesia 2019. Dengan kenyataan itu jadi amat menarik untuk menyaksikan sesama partai koalisi Jokowi justru saling bertempur, bukan justru menyatukan satu langkah demi 2019.
Beberapa jam menjelang pencoblosan di Jatim, ada pernyataan dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang menyebut Jokowi mendukung Khofifah Indar Parawansa untuk jadi gubernur. Padahal di sisi lain, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turun gunung untuk memenangkan rival Khofifah, yakni Gus Ipul dan Puti Soekarno.
Pernyataan itu membuat PDIP berang dan menyebut Airlangga sedang mengadu domba Jokowi dan Mega. Satu hal yang bisa diamati serius bahwa Ketum Golkar yang tak lain adalah menteri Jokowi.
Sang menteri secara terbuka berani menyebut posisi politik sang presiden di Jatim. Di sisi lain, Jokowi tak pernah membantah secara langsung pernyataan Airlangga.
Apa seberani itu seorang Airlangga mencatut nama Jokowi? Atau justru pernyataan Airlangga itu adalah sikap politik Jokowi yang sesungguhnya?
Tak hanya di Jatim, Jabar juga memperlihatkan sebuah anomali. Ridwan Kamil nyatanya merupakan calon yang paling awal didukung Nasdem. Sama seperti Golkar, Nasdem merupakan partai yang secara sukarela menyerahkan tiket pilpres 2019 pada Jokowi.
Suara Golkar di DPR mencapai 16,2 persen. Jika ditambah Nasdem yang mengantongi 6,4 persen maka Jokowi sudah aman maju untuk 2019 dengan suara total di atas 20 persen presidential threshold. Makin manis lagi bagi Jokowi, sebab dia bisa maju dengan keleluasaan untuk mencalonkan wapres pilihannya sendiri.
Golkar dan Nasdem memberi tiket pada Jokowi tanpa embel-embel tuntutan terkait posisi cawapres. Jokowi jelas punya posisi tawar sangat tinggi dan cukup strategis di kedua partai itu. Sebab dengan Nasdem dan Golkar saja, Jokowi sudah cukup mengantongi tiket untuk bertarung di 2019.
Di sisi lain, PDIP justru lebih aktif dalam mendikte penentuan siapa cawapres Jokowi. Posisi tawar Jokowi di PDIP pun coba dikerdilkan di sejumlah kesempatan dengan sebutan bahwa dia hanya seorang petugas partai.
Karena itu, di balik manuver politik Nasdem di Jabar dan Golkar di Jawa Timur, banyak yang menilai ada sosok Jokowi yang pegang kunci.
Jokowi bisa jadi sedang menguji mesin politik Nasdem dan Golkar sekaligus menaikkan posisi tawarnya di PDIP. Dengan kemenangan Nasdem di Jabar dan Golkar di Jatim, Jokowi jauh lebih percaya diri untuk menentukan siapa cawapresnya tanpa tekanan elite partainya.
Memang, ada sejumlah isu terkait tarik ulur cawapres Jokowi. Pria Solo itu tampak tak nyaman dengan sikap beberapa partai yang mendikte penentuan cawapres.
Dan berkaca pada hasil Pilkada, Jokowi tampaknya akan semakin mantab dalam memilih cawapres dari kalangan profesional. Sebab hasil di Pilkada membuktikan sejumlah calon yang berlatar nonkader adalah calon yang dikehendaki rakyat.
Sebagai contoh, Edy Rahmayadi yang berlatar militer. Atau Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Nurdin Abdullah yang punya latar akademisi dan profesional. Pun halnya Khofifah yang notabene kini bukan kader partai manapun.
Jadi berkaca dari hasil Pilkada kali ini, tak berlebihan jika nantinya Jokowi lebih memilih menunjuk seorang profesional nonkader partai sebagai pendampingnya.
Walhasil, Jokowi tampak coba mengubah embel-embelnya dari petugas partai menjadi penguasa partai. Kini Jokowi bisa menerapkan strategi //take it or leave it// pada partai yang kerap mendiktenya terkait penentuan cawapres 2019.
Itu berarti elite yang kerap melabeli Jokowi sebagai petugas partai, mau tak mau harus menerima siapapun cawapres yang dipilih Jokowi. Jika tidak maka, Jokowi bisa meninggalkan mereka dengan kendaraan Nasdem dan Golkar yang telah terbukti keampuhannya di sejumlah Pilkada.
Jadi pertanyaan besarnya, apakah Jokowi akan tetap bersama PDIP?
2. Peluang Oposisi di 2019
Pilkada serentak juga membuka peta persaingan baru antara partai pengusung Jokowi dengan oposisi. Sebab di sisi lain, oposisi mencatat sejumlah peningkatan suara di daerah yang pada 2014 menjadi basis kekuatan Jokowi.
Hasil di DKI pada 2017 tentu menggambarkan kekuatan oposisi. Formula kekuatan oposisi terletak pada kesolidan mesin partai, seperti PKS dan Gerindra.
Tapi kekuatan utama dari oposisi Jokowi adalah keberadaan alumni Gerakan 212. Tak bisa dipungkiri, Pilkada DKI 2017 telah menciptakan spektrum baru dalam perpolitikan nasional.
Warna baru muncul dalam perpolitikan nasional adalah kekuatan antara umat dan ulama dalam Gerakan 212. Sifat dari gerakan ini begitu cair dengan ulama yang menjadi motor dari setiap gerakan umat.
Kesuksesan Gerakan 212 ini makin tergambang dari hasil Pilkada serentak 2018. Yang paling fenomenal adalah melejitnya suara Sudirman Said-Ida Fauziah di Jawa Tengah. Di basis kekuatan utama pemerintah, Sudirman mampu mencuri lebih dari 40 persen suara. Padahal, dia berlaga di kandang banteng yang dikenal sebagai basis kekuatan PDIP.
Sumatera Utara yang juga menjadi basis PDIP juga berhasil direbut oleh koalisi Gerindra lewat kemenangan telak Edy Rahmayadi dan Musarajekshah. Padahal, hitungan sebelum Pilkada hasil survei menunjukkan perolehan suara dari pasangan ini hanya terpaut tipis dari Djarot-Sihar.
Tapi, gerakan ulama yang dimotori Tengku Zulkarnain dan ustaz kondang Abdul Somad mampu membalik konstelasi di Sumatera Utara. Pun halnya di Jawa Barat. Sudjarat-Syaikhu yang popularitas awalnya hanya di bawah tujuh persen, tiba-tiba bisa menyodok.
Ini tak terlepas dari gerakan masif para ulama yang ramai membanjiri media sosial untuk mendukung Sudrakat-Syaikhu.
Walhasil, mengukur kekuatan oposisi sepanjang Pilkada 2018 jangan sekadar mengukur hasil menang kalah. Tapi dengan melihat kenaikan elektabilitas yang signifikan di tiap wilayah yang jadi kantong oposisi.
Memang, di Jabar dan Jateng, koalisi oposisi masih kalah dari kubu pemerintah versi lembaga survei. Tapi yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa yang diajukan oposisi di kedua daerah itu adalah calon yang relatif tak populer, baik calon gubernur atau wakilnya.
Ini berbeda saat Aher memenangkan Pilgub Jabar dua periode sebelumnya. Saat itu Aher menggandeng wakil yang punya tingkat popularitas tinggi, yakni Dede Yusuf dan Dedy Mizwar.
Dengan calon yang punya popularitas rendah saja, oposisi bisa meraih angka 30 persen di Jabar dan 40-an persen di Jateng. Jadi bisa dibayangkan kekuatan oposisi bila mencalonkan kandidat yang punya popularitas tinggi. DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Timur, dan Sumatra Utara sudah jadi buktinya.
Dengan deretan fakta tersebut, kubu koalisi patut mewaspadai kekuatan oposisi di Pilpres 2019. Tapi di sisi lain, oposisi juga mesti menyiapkan calon yang punya bekal popularitas yang mumpuni untuk menantang Jokowi.
Mungkin inilah saat yang tepat bagi petinggi Gerindra, PKS, PAN, atau bisa jadi Demokrat untuk menimbang siapa calon yang paling punya bekal popularitas dan akseptabilitas untuk menantang Jokowi di 2019.
Boleh jadi nama-nama itu mulai satu dan dua hari ini mulai dirundingkan oleh kekuatan oposisi yang disokong oleh Gerakan 212. Nama yang bisa jadi mengerucut pada Prabowo, Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, Aher, atau bisa saja Jusuf Kalla yang pindah perahu.n