Rabu 04 Jul 2018 09:48 WIB

Pilkada Raya dan Kemenangan Sesungguhnya

Menang dengan baik masih akan ditanya. Apalagi menang dengan curang.

Seorang anggota KPPS di TPS 4 lingkungan Berokan, Kelurahan/ Kecamatan Bawen mengenakan kostum tokoh Semar, maskot pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Tengah 2018. (ilustrasi)
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Seorang anggota KPPS di TPS 4 lingkungan Berokan, Kelurahan/ Kecamatan Bawen mengenakan kostum tokoh Semar, maskot pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Tengah 2018. (ilustrasi)

Oleh: Erie Sudewo. Pendiri Dompet Duafa

Dikasih yang benar, pilih yang bathil. Itu tamsil yang pas. Gambarkan nabi berdakwah. Lebih 900 tahun dakwah Nabi Luth. Tetap saja sebagian besar umatnya menolak. Bahkan keluarga pun menjauh. Apakah Nabi Luth gagal?

Disodorkan yang hak, pilih yang subhat. Begitulah kondisi yang pas gambarkan pilraya (pemilihan raya) di kita. Nabi itu benar. Sebab diturunkan Allah SWT. Sedang kandidat jelas bukan nabi. Harapan kita, mereka orang baik. Itu hak kita.

Pilih Bathil

Namun yang bathil lebih disukai. Mana yang menang dan yang kalah jadi bias. Tak lagi jelas duduk soalnya. Apa ciri yang bathil? Bagi-bagi sembako. Serangan amplop di remang fajar. Umbar janji. Dan yang tak kalah buruk, intimidasi, ancaman phisik dan mutasi. Mutasi terjadi bagi pegawai yang jadi bawahan.

Tak ada sembako dan amplop, tak dipilih. Tak terpilih dianggap kalah. Yang punya sembako dielu-elukan. Masyarakat pilih kulit ketimbang isi. Yang penting senang dapat amplop. Padahal saat itu juga habis dibelanjakan. Lantas lima tahun lagi tak paham yang bathil sedang menikmati kekuasaan, fasilitas, anggaran dan kongkalingkong dengan pengusaha jahat.

Apa cuma sampai di sini? Tidak. Kebathilan itu punya konsekuensi. Dampaknya negeri ini tergadai. Bangsa pun terkotak-kotak. Dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat goyah. Serta fondasi berbangsa dan bernegara dibongkar. Tak percaya? Coba jawab: “Apakah negeri ini makin baik atau makin bermasalah?”

Tujuan Sesungguhnya

Pemilihan raya di kita banyak. Ada pilpres, pilgub, pilkada, pileg, pilrah (pemilihan lurah) dan pildes (pemilihan kepala desa). Kehidupan di Indonesia, jadi amat ditentukan oleh KPU. Tiap lima tahunan, energi kita habis dikerahkan ke pilraya. Satu rezim tumbang diganti yang baru. Terus berulang dan berulang. Sedang hasilnya?

Kita bisa tanya apa tujuan kandidat ikut pilraya. Jawabnya aneka ragam. Lebih banyak yang menjawab moralis. Ingin mengabdi dan bangun bangsa. Paling tidak ingin punya manfaat bagi warga. Keren. Cuma betulkah?

Itu pertama. Jawaban ke-2, ada yang ingin geser petahana. Alasan bisa beragam. Misal tak puas karena kebijakan petahana malah rugikan masyarakat. Atau tak suka, karena kepemimpinan petahana genit, sok pintar, dan mungkin sering lecehkan orang lain. Atau juga tak suka karena petahana bukan kelompoknya.

Ke-3 tak bisa menjawab. Ini kelompok orang yang ikut-ikutan. Atau sebenarnya ingin tenar atau kesohor setelah menangkan pilraya. Biasanya ini melanda orang yang kelebihan uang. Daripada daripada ya mending jadi pejabat publik. Uang ada dan kedudukan dapat. Maka bukankah jadi orang terpandang dan terhormat.

Ke-4 apa ada jawaban yang sungguh-sungguh ingin bangun masyarakat. Pasti ada. Jumlahnya tentu sedikit. Pendudukan kita 250-an juta orang. Cuma cari sosok yang negarawan, lebih banyak yang mengaku saja. Yang terbukti berkiprah di masyarakat, sosoknya bagai mencari jarum di tumpukan jerami.

Platinum

Sudirman Said (SS) dan Ida Fauziah (IF) itu platinum. Keduanya tak terindikasi korupsi. Khusus SS, bukan tak korup malah termasuk penggagas KPK. Perilakunya santun. Tutur kata sopan. Justru itu jadi masalah juga. Sebab tak pernah sampai hati menggasak lawan debatnya.

Soal leadership, lingkungannya di STAN memilih dia jadi ketua senat. Lepas kuliah, lantas jadi Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Di kepemimpinannya, IAI banyak lakukan terobosan. Bersama Kuntoro Mangkusubroto, SS mengarsiteki Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD & Nias.n Lepas dari menteri, lantas membuat dan jadi komandan Insitut Harkat Negeri (IHN). Tujuan IHN sederhana. Mendorong munculnya pemimpin lokal di pentas bangsa.

Soal profesional, SS benahi beberapa perusahaan. Pernah jadi corporate secretary Pertamina. Pernah duduk di BOD Petroci dan PT Inka. Sebelum jadi Menteri ESDM, SS diminta benahi PT Pindad.

Al kisah presiden sodorkan enam nama ke KPK sebagai Menteri ESDM. Namun semua dicoret merah. Lantas diusulkan pula 3 nama. Oleh KPK diberi tinta orange. Lantas presiden bertanya, siapa kandidat yang pas. KPK menjawab, itu orangnya ada sedang memimpin Pindad.

Dan ada satu prestasi SS yang “mengerikan”. Di Indonesia tak ada satu pun mahluk yang berani dan mampu bubarkan Petral. Termasuk presiden sekalipun. Namun di tangan SS, Petral melepas nyawa. Melepas sekian fasilitas yang melingkupi para pihak terkait. Negeri guncang meradang.

Jabatan

Dikasih platinum, pilih yang bermasalah. Begitulah Jawa Tengah. Ingat yang platinum pun tak tawar-tawarkan diri. SS diminta sobat-sobat terdekat maju di Jateng. Yang akhirnya diusung partai koalisi.

Makna pesan Rasulullah SAW tentang jabatan tegas. Jangan berikan bagi yang meminta. Apalagi mengotot. Bahkan menyuap, lakukan fitnah, intimidasi dan lakukan apapun. Nabi itu peran. Untuk jadi nabi, tak ada kisah menyuap malaikat.

SS tak dibanjiri limpahan harta. Teman yang ingin donasi untuk pilgubnya, entah mundur semua. Memang jalur logistik SS dikerat. Terakhir supir dan orang terdekatnya dihadang. Dengan tuduhan pengguna dan bandar narkoba, mereka digelandang sebagai pesakitan.

Barang platinum ini dihabisi. Dari awal hingga hari pencoblosan. Dan masyarakat Jateng pun belum paham. Hingga mereka memilih yang bukan platinum. Nama SS jadi jaminan bekerja di perusahaan besar. Dalam dan luar negeri. Namun reputasi itu, tak bisa antar SS pimpin Jateng. Siapa yang rugi?

Hikmah

Johan Cruffy mengatakan: “Pemain Barcelona tak hanya dilatih menyepak-nyepak bola. Tapi juga dilatih karakternya. Memenangkan kejuaraan hanya dinikmati tiga bulan. Namun membuat tim berkarakter, itulah kemenangan sesungguhnya”.

Memenangkan pilraya perlu dimaknai. Dan tidak untuk dipestakan. Sebab memegang jabatan seperti menggenggam bara api. Apapun jabatan itu tanggung jawab. Pandai-pandailah memahami amanah. Yang kelak pasti diminta tanggung jawab. Maka memenangkan pilraya, tak lain kemenangan semu.

Tahukah apa kemenangan sesungguhnya? Itulah yang bisa menjaga dirinya dari curang, bohong, suap, fitnah, jelek-jelakkan pihak lain dan intimidasi. Kalah tanpa kekeliruan bebas tuntutan. Menang dengan baik masih akan ditanya. Apalagi menang dengan curang.

Ikut pilkada raya dengan terapkan nilai, itulah pendidikan politik yang sehat. Tak larut dalam curang, akan menginspirasi para pihak. In syaa Allah banyak pihak akan turut serta dalam pilraya yang penuh nilai.

Presiden, menteri, gubernur, legislatif dan kades, semua itu jabatan. Jabatan ibarat senjata. Baik tidaknya tergantung orang di belakangnya. Saat orang baik pegang senjata, maslahatnya meluas. Sebaliknya jika yang bermasalah pegang, bisa jadi senjata itu jadi mudharat kemana-mana.

Tak menang pilkada raya tak mengapa. Asal tetap punya nilai baik. Perilaku baik tanpa iman itulah karakter. Perilaku baik dengan iman itulah ahlak. Karakter cuma sampai dunia. Ahlak dan taqwa menembus langit.

Ada nasihat bijak bilang begini:

Jika engkau kehilangan harta, engkau tak hilang apa-apa. Karena bisa dicari lagi.

Jika engkau kehilangan sehat, engkau kehilangan sesuatu.

Jika engkau kehilangan karakter, engkau kehilangan segalanya.

Tapi jika engkau kehilangan iman, itu kiamat. 

Hai para pemenang pilkada raya. Jabatan sudah engkau raih. Maukah engkah menangkan perang sesungguhnya? Itulah keridhoan Allah SWT. Sebelum ditanya malaikat, gugatlah dirimu sekarang. Jangan tunda. Sebab jabatan tanpa iman, hanya akan menjerumuskan engkau.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement