Oleh: Akhmad Danial, Dosen Komunikasi UIN Jakarta
Sehabis shalat subuh tadi saya langsung berbelok masuk gang menuju ke warung Mpok Mar. Permpuan Betawi ini adakah tukang nasi uduk, lontong sayur, dan gorengan dekat masjid. Tradisi pagi, beli sarapan.
Sambil dia bungkus nasi uduk dan lonsay pesanan saya, iseng-iseng saya tanya isu yang lagi hits di media soial (medsos). "Harga-harga mahal ye Mpok?".
"Iyee. Cabe rawit, tadinye sekilo 18 rebu, sekarang 60 rebu !", jawabnya.
Saya jelas ikut kaget juga. "Masa sampe segitu Mpok. Naeknya tinggi banget!" kata saya.
"Iyee. Ape lagi nyang ijo-ijo (sayur-sayuranan maksudnya), semuanya naek. Ini harga-harga lebih parah sekarang daripada mau lebaran kemaren !"," jelas Mpok Mar sambil menyebut beberapa komoditas sayuran yang saya lupa harganya, tapi intinya semua harganya naik tinggi.
"Tapi nasi uduk, lonsay sama gorengan kagak naek kan Mpok Mar?", kata saya sambil senyum-senyum. "Kagak laah....," jawabnya sambil mesem-mesem. “Asyikkkk’’ pikir saya
Jadi apa opini Mpok Mar soal kenapa harga sayur mayur meroket?
Pertama. "Mungkin mau lebaran haji kali yee....?" Saya bilang, lebaran haji kan masih akhir Agustus. Kedua. "Ini musim kering kali. Jadi sayuran jarang!".
Jelas gak ada sedikitpun kata-kata menyalahkan pemerintah dari mulut Mpok Mar. Dia menyebut penyebabnya hanya soal ‘waktu’ dan ‘musim’
Kesimpulannya sederhana saja, media sosial itu tetaplah media. Realitas yang ditampilkannya adalah realitas media yang kadang berbeda dengan realitas yang dipahami rakyat di dunia nyata. Apalagi di kampung-kampung dan desa-desa. Panas kritik pemerintah di medsos, kadang adem di level tukang nasi uduk.
Tapi, itukan Mpok Mar di kampung saya. Mungkin lain lagi di kampung anda, penjual sayuran memiliki penjelasan yang berbeda dengan menjawab, "Ini gara-gara pemerintah gak bisa jaga pasokan sayur mayur dan gak bisa kendaliin harga dolar bu! Jadi dagangan saya harganya segitu!".
Terakhir sekali akankah suara rakyat suara Tuhan! Saya jadi teringat filsuf yang jadi menteri pendidikan, mendiang Fuad Hasan. Ketika berada di pelataran Taman Ismail Marzuki Jakarta dia menyaksikan iringin-iringan demonstran. Kala itu zaman demonstrasi di tahun 1998. Para demonstran berteriak-teriak: rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, suara rakyat suara Tuhan.
Mendengar dan melihat keriuhan itu Fuad berkomentar pendek.’’Apa bener suara rakyat suara Tuhan. Kalau rakyatnya gak pintar apa Tuhannya bodoh?” Fuad menjawab santai sembari tersenyum.
Lalu dengan jawaban tersebut, jawaban saya kini: Apa mungkin suara Mpok Mar itu suara Tuhan. Atau jangan-jangan suara Tuhan ada di kelompok rakyat yang lain?
Dan ingat juga, dahulu di zaman Yunani, Socrates dihukum mati dengan disuruh minum racun gara-gara mengkritik dan tak sepakat demokrasi yang berjargon suara rakyat suara Tuhan. Dia bercita-cita pemimpin negara dipegang oleh filsuf. Pemimpin dipilih oleh sebagian orang yang entah karena apa kini diartikan sebagai cara negatif.
Masih percaya suara rakyat suara Tuhan di zaman medsos ini?