REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Shamsi Ali, Diaspora Indonesia di kota New York, AS.
Ada banyak hal yang menjadikan mata kita terbelalak hari-hari terakhir. Dalam negeri tentu masih seputar pilkada yang “panasnya” merambah ke rencana pemilu tahun depan, baik pilpres maupun pilihan anggota legislatif (DPR dan DPD RI).
Pilkada telah berlalu. Tapi perbincangan itu masih ramai. Di beberapa daerah suhu politik sempat menaik dan membakar, seperti yang terjadi di Pilwalikota Makassar. Mungkin di daerah saya ini terlalu banyak restoran coto Mangkasara’. Apalagi kalau coto itu bukan coto “capi”, tapi coto “jarang”. Pasti pabbambanganngi (cepat naik pitam), kata orang sana.
Di tingkat nasional semua sibuk berbisik-bisik, siapa gerangan yang pasti akan maju menjadi penantang incumbent (petahana). Dengan hashtag “ganti presiden” yang sangat populer di media sosial itu, apakah memang diambil serius oleh masyarakat di arus bawah?
Selain itu di tingkat nasional, terjadi perebutan untuk menjadi cawapres pendamping petahana. Mereka yang bernafsu untuk maju mendampingi Presiden Jokowi seolah telah yakin akan mengambil alih tempat pak JK tahun depan. Yakin dengan popularitas dan dukungan partai yang luar biasa itu, Jokowi seolah pasti memenangkan pilpres tahun depan.
Benarkah demikian? Boleh Iya, boleh tidak. Dalam dunia ini semua bisa berubah dadakan sesuai kehendak yang mengaturnya. Bahkan kerap kali terjadi “surprises” atau kejutan-kejutan yang sangat di luar dugaan. Api bisa jadi pendingin bagaikan AC di musim panas. Kalau itu dikehendaki oleh Sang Pencipta, yang ditangan-Nya terletak otoritas mutlak.
Di luar negeri juga tidak kurang dari ragam isu yang menjadikan mata kita terbelalak kebingungan. Di negeri Paman Sam, negara Adi Daya, tempat tinggal saya, juga hampir setiap hari ada saja isu-isu yang tidak menentu.
Yang paling menarik karena isu-isu keseharian di negara Amerika ini, paling sering keluar dari rumah sang presiden yang dikenal dengan Rumah Putih atau White House. Ada-ada saja hal yang menjadi isu kontroversial. Dari isu keterlibatan Rusia dalam memenangkan presiden negara super power ini, hingga ke isu pelecehan wanita-wanita.
Salah satu hal yang paling menarik, bahkan mungkin bersejarah dari pemerintahan Amerika saat ini adalah bahwa dalam waktu singkat begitu banyak pejabat tinggi, termasuk Menteri, yang dipecat atau terpaksa mengundurkan diri. Menariknya, di negara yang dianggap paling maju dalam pengelolahan public affairs (urusan publik), seorang menteri dapat dipecat melalui kiriman Twitter.
Tidak kalah menariknya pula beberapa waktu lalu Amerika yang selama ini menjuluki Korea Utara sebagai bagian dari “poros syetan” (axe of evil) melakukan pertemuan. Bahkan pertemuan secara “miraculously” (bagai mukjizat) itu mengubah Presiden Korea Utara dari seorang syetan menjadi “half angel” (setengah malaikat).
Baru kemarin juga Presiden Amerika dengan sangat tidak etis dan sangat tidak “presidential” (karakter seorang presiden) menjelek-jelekkan negara mitranya di Eropa, Jerman. Dan itu dilakukan secara terbuka dalam pertemuan NATO. Tentu ini termasuk hal-hal yang harusnya membelalakkan mata dunia. Tapi terlalu keseringan demikian, prilaku Presiden Amerika ini menjadi sekedar sebuah lolucon semata.
Di dunia olahraga juga banyak surprises yang terjadi. Tengoklah kejuaraan bola dunia (FIFA) saat ini. Tim negara-negara favorit hampir semuanya terjungkal di awal-awal babak penyisihan. Dari Spanyol, ke Argentina, ke Portugal, hingga ke Brazil. Semuanya tersingkir bahkan oleh tim negara yang tidak difavoritkan.
Bahkan kejutan besar terjadi. Tim Kroasia yang tidak terlalu difavoritkan itu mampu membabat tim-tim nasional kuat, termasuk mengalahkan Inggris di babak semifinal dengan skor 2-1 itu.
Melihat fenomena persepakbolaan ini, menjadikan saya berkhayal jauh. Apakah ini juga akan merambah ke dalam dunia lainnya, termasuk dunia politik?
Jawabannya sangat bisa. Pemilihan Presiden Amerika yang terakhir adalah contoh konkrit. Bahwa memang yang memiliki kehendak mutlak itu bisa menentukan secara paradoks dari semua perkiraan manusia. Yang menang di perkiraan manusia bisa kalah. Dan yang kalah di perkiraan manusia bisa menang. Siapa yang menyangka bahwa seorang Donald Trump ketika itu akan mengalahkan Hillary Clinton?
Karenanya ragam realita ini harusnya diambil pelajaran oleh semua pihak di mana saja. Bahwa popularitas, bahkan dukungan banyak partai tidak serta merta menjadi jaminan kemenangan dalam sebuah kontestasi politik. Bahkan tingginya poling-poling, yang memang kerap kali terjatuh dalam terperangkap cengkraman sponsor, juga tidak menjamin.
Jaminan itu ada pada pemilih sesungguhnya. Dan percayalah jiwa-jiwa pemilih itu berada dalam genggaman Yang Maha memiliki keputusan. Dialah yang memberi dan mengambil kekuasaan dari siapa yang dikehendakiNya.
Tapi, di tengah hiruk pikuk kejuaraan bola dunia itu, di mana saya termasuk penonton setianya, saya tersentak dan trenyuh melihat sebuah tayangan video dari kejuaraan lari di Tampere Finland.
Di pertandingan lari 100 meter world U20 (kurang dari umur 20 tahun), ada seorang peserta yang sederhana, kalem (cool), dan memperlihat senyuman khas Nusantara. Namanya Lalu Muhammad Zohri. Dialah pemenangnya. Mengalahkan pelari-pelari tangguh dunia sebayanya, termasuk Amerika.
Yang menarik perhatian saya bukan kemenangannya. Karena saya tidak terlalu terkejut jika ada anak-anak bangsa ini berhasil dan menang di gelanggang global. Hal itu karena Saya yakin Indonesia tidak kalah dari bangsa-bangsa lain dunia. Buktinya banyak sekali.
Dari kejuaraan matematika dunia di Amerika dan Eropa putra-putri bangsa besar ini seringkali memenangkan kompetisi itu. Kejuaraan MTQ dan hafal Alquran bahkan mengalahkan peserta dari negara-negara Arab sendiri. Hingga kepada kejuaraan pidato atau debat dalam bahasa Arab di negara Arab. Putra-putri Indonesia tidak kurang sedikit pun dari bangsa lain.
Yang membuat saya trenyuh bahkan sedih adalah ketika Muhammad Zohri memenangkan lari 100 meter itu, tampak kesepian dan kesendirian. Berkali-kali menengok kiri kanan, mencari sesuatu, tapi tidak seorang pun yang hadir memberikan selamat.
Yang paling menyedihkan dan disayangkan adalah ketika mencari bendera negaranya untuk dipakai berfoto, sebagai simbol kebanggaannya. Berkeliling mencarinya akhirnya diberikan oleh seorang panitia yang mungkin memang menyediakan.
Sementara peserta Amerika yang menempati urutan kedua dan ketiga dengan bangga menyelimuti diri mereka dengan benderanya. Saya jadi bangga dengan itu. Sebab bagaimanapun Amerika adalah rumah tempat tinggal saya.
Mungkin saya salah. Mungkin saya tidak melihatnya. Tapi, di mana perwakilan pemerintah di negara itu? Di mana pendampingnya dari Kemenpora? Kenapa putra bangsa yang mengharumkan nama negara dan bangsa dibiarkan dengan kesendiriannya?
Jangan-jangan ini bagian dari sikap inferioritas dan minder, bahkan perilaku yang cenderung kurang menghargai bangsa sendiri. Dan ini tidak saja dalam dunia olah raga. Tapi hampir dalam segala aspek kehidupan.
Saya teringat seorang teman yang meyelesaikan S1, S2, dan S3 di Jepang. Setelah itu menjadi researcher (peneliti) di Universitas Ohio. Saking cintanya kepada bangsa dan Tanah Air-nya dia kembali mengabdikan diri dengan mengembangkan sebuah sistim pengobatan kanker melalui aliran listrik (electrical treatment).
Yang terjadi malah dicurigai dan dipersulit. Bahkan usaha yang dibangun dari nol itu dipaksa ditutup karena dituduh melanggar kode etik (entahlah). Akhirnya, dia harus kembali minggat keluar negeri. Terakhir, Saya dengar dia di Belgia mengembangkan talente dan keahliannya.
Kapan bangsa kita menghargai bangsanya sendiri? Entahlah....terlalu banyak yang saya ingin goreskan. Takutnya ada jiwa-jiwa yang ikut tergores dan sakit...Hehe.
New York, 12 Juli 2018