REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan
Akal sehat, apa itu? Adalah kebalikan dari akal sakit, akal yang tidak dapat berpikir secara baik dan terukur. Karenanya, akal sehat bisa dimaknai akal suci yang mampu hadir melihat segala sesuatu yang terjadi dengan pikiran yang lepas dari muatan-muatan kepentingan yang menghasilkan sesuatu yang tidak baik.
Melihat dan memaknai akal sehat bukanlah perkara mudah. Definisinya, oleh kepentingan tertentu, bisa ditarik ke sana kemari sesuai dengan kehendak yang bersangkutan...
Satu pihak menganggap bahwa pikiran yang dikembangkan dan, lalu menimbulkan perbuatan, itu seolah dilakukan dengan menggunakan akal sehat. Menganggap apa yang dilakukan itu sesuatu yang tepat, yang seharusnya dia lakukan, dan karenanya benar adanya.
Klaim atas nama akal sehat menjadi terminologi yang mesti diurai sebagaimana mestinya. Jika tidak, maka klaim bahwa sayalah pengguna akal sehat, dan karenanya selain itu pengguna akal sakit yang tidak mesti diikuti, akan terus hadir di tengah-tengah umat.
Inilah fenomena yang mesti dicermati oleh tokoh, pemuka agama, dan pemangku kebijakan, atas nama moral, untuk tidak menganggap pikiran dan perbuatannya sematalah yang menggunakan akal sehat. Meski tidak mengatakan bahwa pihak lain tidak menggunakan akal sehatnya.
Jika klaim akal sehat itu disampaikan oleh Ulama atau Politisi yang kebetulan mahir menggunakan dalil-dalil agama, maka potensi mempolitisasi tidak saja agama, tapi juga “mempolitisasi” akal sehat untuk tujuan pribadinya, menjadi begitu mudah dan leluasa. Semua seolah digunakan bagian dari pola memenangkan pertarungan klaim atas nama akal sehat.
Akal sehat memang abstrak, sesuatu yang tak tampak, tapi terasa jika itu dilakukan dengan parameter umum, bukan individual... Klaim akal sehat menjadi sia-sia, jika yang muncul adalah kepentingan individual yang disandarkan seolah akal sehat. Itu semacam pemaksaan pada khalayak, bahwa dialah semata pengguna akal sehat.
Logika terbalik
Adalah TGB Muhammad Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), menyampaikan pada khalayak alasan-alasan kenapa dia mesti memilih pendapat “Jokowi Dua Periode”. Beberapa alasan disampaikannya, dan satu di antaranya adalah “demi akal sehat”.
TGB mengklaim pendapatnya menggunakan akal sehat, meski dia tidak “menuduh” bahwa pendapat yang berbeda dengannya, “2019 Ganti Presiden”, adalah pendapat yang tidak menggunakan akal sehat.
Klaim akal sehat semestinya tidak perlu disampaikan, meski tidak disampaikan bahwa yang selainnya menggunakan akal sakit. Begitu kita menganggap sesuatu itu benar, tentu belum diuji, maka otomatis kita sedang menyampaikan pesan bahwa “ada benar dan salah”... Maka logika yang ingin dibangun adalah bahwa pikiran yang selainnya adalah pikiran salah...
Logika yang dibangun semestinya menggunakan parameter kebenaran universal. Tapi acap logika dimain-mainkan sesuai kehendak. Logika dibolak balik, entah tidak sadar atau memang disadarinya, sebagaimana yang diinginkan...
Jika logika terbalik itu tidak disadarinya, karena alasan-alasan tertentu, maka bisa dikonotasikan sebagai kerancuan berpikir, sekalipun dia Mahaguru yang juga kebetulan Hafizh Alquran.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, lebih dari sepuluh abad yang silam, telah mensinyalir munculnya penggunaan logika terbalik itu, dengan ungkapannya, “Yang paling aku takutkan di masa yang akan datang adalah kerancuan berpikir para pemikir.”
Keprihatinan al-Ghazali di atas, menemui realitanya, diantaranya klaim akal sehat yang bersifat argumentatif politis yang sempit. Maka, dalil-dalil kitab suci diangkat sebagai penunjang, seolah apa yang disampaikan sebagai akal sehat itu memang benar adanya, sehat akal sesehat-sehatnya.
Wacana akal sehat menjadi hambar di pikiran mereka yang terkontaminasi kepentingan-kepentingan yang ada, individual maupun kelompok. Dari sinilah kita memulai harapan menemukan sejatinya akal sehat.
Karenanya, publik atau umat akan mencari akal sehatnya sendiri, tidak dari wacana-wacana yang dibangun dan dikembangkan tokoh-tokoh yang bermain di tataran politik praktis, tapi membangun dan mengembangkan pola akal sehatnya sendiri itu dengan berpedoman pada nilai kebenaran yang diyakininya...
Sebenarnya klaim akal sehat, tidak perlu lalu menjadi sesuatu yang perlu diperdebatkan. Karena efeknya tidak sampai menjadikan umat secara transparan terlihat menjadi terbelah. Namun implikasi hubungan antartokoh setidaknya lalu menjadi tidak baik. Ini lebih pada sikap “kurang bijak” menggunakan kata “akal sehat” dalam argumentasi penyampaian keberpihakannya.
Bijak menduduki maqam tertinggi dalam aspek kehidupan, termasuk dalam menyikapi perbedaan memaknai pilihan yang berbeda. Bijak dalam sikap memiliki peran signifikan kapan kata atau kalimat yang tepat itu disampaikan, atau bahkan tidak patut disampaikan... Meski merasa benar sekalipun, sikap bijak dapat menekan ego untuk tidak berkata yang tidak sepatutnya...
Wallahu A’lam.