REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy, Guru Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ
Tanggal 10 Agustus 2018 sebagai batas akhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden tinggal menghitung hari. Namun hingga kini belum ada satu pun pasangan yang mempunyai "keberanian" untuk mendaftarkan lebih dulu.
Kondisi ini hampir sama dengan suasana jelang pendaftaran Pilpres 2009.
Saat itu SBY yang menjadi capres pejawat juga tak mempunyai "keberanian" untuk mendaftar lebih awal di KPU. Bedanya, SBY saat itu elektabilitasnya cukup tinggi di atas 60 persen. Sementara elektabilitas Jokowi saat ini hanya di bawah 50 persen. Persamaannya, baik SBY maupun Jokowi sama-sama kesulitan dan kebingungan memutuskan cawapresnya.
SBY terlalu banyak memberikan Pemberi Harapan Palsu (PHP) kepada banyak tokoh untuk menjadi cawapresnya. Sementara Jokowi kebingungan karena sulit menentukan siapa cawapres yang potensial bisa meningkatkan elektabilitasnya.
Meskipun belum ada yang mendaftar, tetapi rasanya satu pasang capres dan cawapres hampir pasti akan berasal dari pasangan Jokowi dan wakilnya yang kemungkinan akan berkisar pada nama-nama yang sudah beredar selama ini, yaitu KH Makruf Amin, Din Syamsuddin, dan Moeldoko. Sementara pasangan lainnya masih begitu liar.
Nama Prabowo selama ini sudah diusung oleh tiga partai, yaitu Gerindra, PAN, dan PKS. Hasil ijtima ulama juga memperkuat posisi Prabowo, yang memutuskan Prabowo sebagai capres dan ada dua nama lainnya diputuskan menjadi cawapres, yaitu Salim Assegaf dan Ustaz Abdul Somad.
Kalau mau menghormati putusan ijtima ulama, sebenarnya Prabowo tinggal menentukan satu nama di antara dua nama yang sudah diputuskan oleh ijtima ulama. Toh dua nama tersebut juga rasanya cukup layak untuk mendampingi Prabowo. Namun sepertinya Prabowo tidak cukup percaya diri untuk mengambil satu di antara dua nama tersebut. Prabowo sepertinya tidak yakin dengan putusan hasil ijtima ulama.