Senin 20 Aug 2018 07:42 WIB

Titik Balik Asian Games

Asian Games memberikan harapan besar atas kebangkitan ekonomi Indonesia.

Nonton Bareng Pembukaan Asian Games Palembang. Kembang api ikut disuguhkan saat menonton bareng pembukaan Asian game 2018 di Jakabaring Sport City, Palembang, Sabtu (18/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Nonton Bareng Pembukaan Asian Games Palembang. Kembang api ikut disuguhkan saat menonton bareng pembukaan Asian game 2018 di Jakabaring Sport City, Palembang, Sabtu (18/8).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ismatillah A Nu’ad, Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Development Jakarta

Pembukaan atau Opening Ceremony Asian Games XVIII di Gelora Bung Karno, Sabtu (18/8), sangat spektakuler. Asian Games akan berlangsung hingga 2 September 2018 yang menjadi event penting sebagai titik balik bagi kebangkitan Indonesian di tengah-tengah pergaulan komunitas Asia.

Indonesia menjadi tuan rumah kedua kalinya karena sebelumnya pernah pada Asian Games IV yang diadakan di Jakarta pada 1962. Sebagian fasilitas yang dibangun pada Asian Games IV akan kembali digunakan dalam Asian Games XVIII. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Asian Games kali ini akan diadakan di dua kota sekaligus, yakni Jakarta-Palembang.

Di tengah berbagai persiapan menuju Asian Games, bukan tanpa persoalan karena berbagai rintangan dihadapi bangsa kita. Misalnya soal laporan hasil riset Bank Dunia berjudul "Ketimpangan yang Semakin Lebar" di Indonesia. Bank Dunia menilai, pengentasan kemiskinan di republik ini mulai stagnan, dengan penurunan yang mendekati nol.

Ketimpangan pendapatan naik dengan cepat dan hampir sepertiganya berasal dari ketimpangan kesempatan. Kemudian dalam laporan tersebut menyebutkan, Indonesia menjadi negara yang semakin tidak setara.  Disebutkan pula soal ketimpangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Laporan Bank Dunia mungkin saja sebetulnya ingin berharap supaya bangsa ini kembali menjadi pasiennya. Karena secara tersirat melalui laporan itu hendak menawarkan sesuatu pada pemerintah.

Bank Dunia, seperti juga International Monetery Fund (IMF) seperti tengah mencari peluang-peluang untuk kembali menjerat negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tengah mengalami krisis moneter. Rupiah pernah terjun bebas hingga di angka Rp 14 ribu per dolar AS sebagai salah satu dampak dari krisis ekonomi global.

Sebagian elite bangsa ini lantas panik dengan keadaan menghadapi hal-hal semacam laporan Bank Dunia, sehingga misalnya, dijadikan patokan untuk agenda penting pemerintahan. Apalagi, dengan ekspektasi bahwa Bank Dunia satu-satunya harapan untuk meminimalisasi kondisi perekonomian Indonesia.

Jika bangsa ini mau berkaca, ketika di dunia pernah diguncang oleh tragedi Perang Dunia II, konflik ideologis antara sosialisme vis-a-vis liberalisme, huru hara kemanusiaan yang terjadi pada dekade 40-an, Erich Fromm seorang filsuf dan psikolog itu menulis sebuah karya Revolution of Hope (1990) sebagai jawaban atas kepedihan dan krisis yang tengah menyelimuti umat manusia jaman itu.

Menurut Fromm, di tengah-tengah kita sekarang ada hantu, bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu baru. Fromm mengingatkan bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan sebagai konsekuensi penemuan teknologi mutakhir; akibatnya di satu sisi jalan menuju masyarakat yang "dimesinkan" secara total, akibat senjata nuklir yang "bertugas" untuk melumatkan manusia. Sementara di sisi lain, jalan menuju pada pencerahan humanisme dan harapan, masyarakat yang menempatkan teknologi untuk melayani kesejahteraan manusia.

Dari narasi itu ada satu hal penting, bahwa seberat apa pun ujian yang tengah menimpa, harapan itu harus tetap ada. Harapan itu merupakan kekuatan moral dan merupakan semangat yang mesti diejawantah dalam realita hidup.

Jika harapan-harapan itu disinergiskan, maka kekuatan dan semangat yang dahsyat akan dapat menjungkirbalikkan rasa putus asa dan patah harapan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement