Jumat 24 Aug 2018 00:08 WIB

Perlukah Capres-Cawapres Dites Baca Alquran?

Kalau tes seperti itu diberlakukan, Rasulullah dulu tak akan lulus waktu dites Jibril

Presiden Jokowi bertemu Prabowo Subianto.
Foto: AP Photo
Presiden Jokowi bertemu Prabowo Subianto.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurcholis MA Basyari*

Pemilihan Presiden (pilpres) baru akan akan berlangsung tahun depan. Tetapi, masyarakat Indonesia, di dalam maupun di luar negeri, sudah ramai membincangkannya. Di alam nyata di warung-warung kopi, kampus-kampus hingga tempat kerja. Pun tidak kalah seru dan kerasnya perdebatan di dunia maya. Di jagat "ghaib" ini, perbincangan mengenai capres-cawapres bahkan menjurus ke perang kata-kata.

Deklarasi yang kemudian dilanjutkan pendaftaran pasangan capres-cawapres menambah riuh hiruk pikuk perbincangan mengenai hal itu. Publik seolah-olah dikondisikan dalam suasana perang. Dan sasar atau tidak, publik mulai terbelah mengidentifikasikan diri dalam dua kubu pro-kontra dua paslon capres-cawapres, yakni Jokowi-KH Ma'ruf Amin Vs Prabowo-Sandiaga Uno.

Salah satu topik perbincangan menarik ialah munculnya proposal (baca: ide) perlunya tes khusus bagi bakal calon (balon) capres-wapres. KPU diminta agar menguji kemampuan baca tulis Alquran para capres-cawapres.

photo
Bakal capres-cawapres Prabowo Subianto (kiri) dan Sandiaga Uno (kanan) mengikuti upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-73 di Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta, Jumat (17/8).

Wah kalau ini menurut saya bagus kalau dapat diterapkan di negara yang mayoritas warganya Muslim ini. Tapi kurang pas. Kurang fit dan tidak proper. Mengapa?

Pertama, Indonesia bukan negara Islam meskipun dasar negara Pancasila dan Konstitusi UUD 45 secara eksplisit maupun implisit mengakui nilai-nilai agama sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, kita sebagai bangsa sudah terikat kesepakatan yang dipelopori para pendiri bangsa yang mewakili ragam latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Umat Islam yang mayoritas jelas terikat dengan kontrak sosial-politik itu sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan para pengikut dulu terikat dan konsisten mematuhi kontrak yg sangat mashur, yakni Piagam Madinah -betapa pun ketika itu dinilai oleh mayoritas muslim isinya sangat merugikan Islam.

Ketiga, tidak ada rujukan yang menguatkan gagasan tes khusus tersebut. Setidaknya, tidak ada preseden sejarah pada masa kenabian Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Karena itu, kemampuan baca tulis kurang pas dijadikan sebagai materi uji penyaringan balon capres-cawapres. Cukuplah itu hanya sebagai pemberi nilai tambah balon yang bersangkutan.

Kalau tes seperti itu diberlakukan, Rasulullah dulu tidak akan lulus waktu dites Jibril AS di Gua Hira. Beliau secara jujur spontan menjawab, "Aku tidak bisa baca". Rasulullah terpilih krn memenuhi persyaratan yang diukur berdasarkan empat indikator utama. Yakni: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah atau jujur, dapat dipercaya, menyampaikan pesan tanpa menambah atau mengurangi, dan cerdas.

Tiga hal pertama menyangkut integritas pribadi terkait dan moralitas dan etika.

Yang terakhir menyangkut kapasitas/kapabilitas pribadi. Keempat aspek tersebut mutlak diperlukan dan harus dipenuhi pemimpin. Integritas dan kapasitas bagai dua sisi dalam satu mata uang.

Dalam konteks good governance yang kini menjadi tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yg bersih dan bebas KKN, integritas dan kapasitas/kapabilitas itu sangatlah mutlak dipenuhi oleh para pemangku kuasa negara. Dengan dua modal itu, penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada masyarakat atau warga negara melainkan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

*) Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement