REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sintong Arfiyansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan
Akhir-akhir ini, kinerja ekonomi Indonesia mendapat sorotan tajam akibat defisit neraca perdagangan yang berlebihan dan nilai tukar rupiah yang mendekati angka terlemah.
Belum lagi, pemerintah juga sedang berjibaku dan berpikir keras untuk meminimalisasi efek buruk perang dagang yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS) dalam pertarungan dahsyat melawan Cina.
Dalam suasana Asian Games seperti saat ini, menarik apabila membahas perang dagang tersebut dengan nuansa olahraga. Keduanya sebetulnya memiliki tujuan utama yang sama, yaitu kompetisi untuk mencapai sebuah kemenangan.
Bedanya, pertandingan olahraga menjunjung sportivitas dan aturan-aturan mengikat bagi setiap individu, sedangkan perdagangan internasional bersifat sebaliknya, penuh intrik, pilih kasih, brutal, dan hampir tanpa aturan.
Semuanya bermula dari sifat merkantilisme negara untuk mengeruk sumber daya alam negara lain sehingga menghadirkan permasalahan yang tiada kunjung pulih.
Zaman dulu ketika revolusi industri dan globalisasi belum lahir, kolonialisme adalah cara instan negara dominan mengeruk keutungan. Negara-negara jajahan seperti Indonesia semakin terjerumus dalam dekapan kemiskinan akibat penjajahan.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, strategi kolonialisme mulai dikritisi dan diserang. Perdebatan mengenai permasalahan ini terus berlangsung. Ini menyebabkan kolonialisme ditinggalkan dan diganti skema lain yang lebih halus, yaitu perdagangan internasional.
Hubungan perdagangan tersebut semakin intens akibat munculnya revolusi industri dan globalisasi.
Mungkin, kita tidak pernah menyadari, revolusi industri yang mengubah perekonomian dunia itu terjadi di Eropa tepatnya di Inggris, bukan terjadi di negara dengan ekonomi terbesar di dunia saat ini, yaitu AS.
Revolusi industri dimulai pada 1750 dengan pengalihan teknologi dan transformasi model ekonomi di Britania Raya. Perubahan fundamental terhadap aspek-aspek ekonomi tumbuh dengan dahsyat pada era tersebut.
Peralihan teknologi dari sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, tergantikan oleh penggunaan mesin berbasis manufaktur.
Pada zaman tersebut, Inggris dan negara-negara Britania Raya lainnya menjelma menjadi pemain utama perubahan ekonomi dunia. Menjadi petarung tertangguh dalam pertarungan bertajuk perdagangan internasional.
Di antara petarung kelas berat tersebut, AS muncul sebagai anak ingusan yang bermodal sarung tinju imut-imut. Negara yang terletak ribuan kilometer dari terjadinya revolusi industri itu, masih menggunakan teknik manufaktur lambat.
Mereka mengandalkan cara-cara konvensional untuk mengendalikan produksi. Meskipun demikian, mereka punya modal penting dan menjadi senjata utama mereka, yaitu sebuah aturan, intrik, dan inteligensi.
Alih-alih ikut bertarung dalam ring tinju kelas berat perdagangan, AS malah melakukan doublecover dalam strategi pertarungannya.
Melalui Menteri Kemakmuran Alexander Hamilton di bawah masa pemerintah George Washington, AS bermanuver untuk meningkatkan proteksi bisnis dan menambah subsidi produk lokal.
Ini ditempuh untuk menghindari pukulan keras negara-negara dengan modal revolusi Industri dan di sisi lain, meningkatkan pembangunan inklusif di negerinya sendiri. Strategi AS tersebut membuahkan hasil.
Mereka bertahan sambil mempelajari, bagaimana petarung kelas berat menjalankan pukulannya sambil menghindar dari area pertarungan.
Setelah teknologi dan industrinya dirasa mumpuni, serta ketika struktur ekonomi telah berdiri kokoh, AS menjelma menjadi petinju kelas berat. Lambat laun, AS berubah menjadi salah satu pengendali ekonomi.
Strategi tersebut diikuti oleh negara-negara dengan pertumbuhan industri yang secara historis juga lambat, seperti Jepang, Jerman, dan Italia. Strategi itu kembali membuahkan hasil dan menjadikan mereka sebagai petarung utama perdagangan internasional.
Ironisnya, anak kecil yang awalnya menggunakan strategi antipasar bebas itu, sekarang berubah menjadi pemimpin besar dan menggalang kebebasan pasar dengan embel-embel globalisasi.
AS merancang World Trade Organization (WTO) dan memaksa negara-negara kecil lainnya bertarung dalam ring tinju bernama pasar bebas. Negara-negara berkembang yang masih belum mampu bertarung tidak perlu khawatir.