REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erick Thohir, Ketua pelaksana Asian Games 2018 (INASGOC)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sportivitas berarti "sikap adil terhadap lawan, bersedia mengakui keunggulan lawan, atau kelemahan sendiri". Sportivitas merupakan perwujudan dari sifat sportif.
Kata sportivitas ini yang selalu didengungkan pada apa pun kegiatan olahraganya. Dari kejuaraan tingkat RT hingga level Olimpiade, pasti embel-embel 'sportivitas' selalu menyertai. Pun halnya di Asian Games 2018 kali ini.
Sportivitas sekilas terdengar klise. Sering diucapkan, tapi sulit diwujudkan. Sebelum menyuruh orang lain sportif, kita pribadi mesti berkaca, apakah sudah benar-benar menjalankannya?
Saya bersama seluruh jajaran kepanitiaan juga perlu menerapkan sportivitas dalam mengevaluasi pelaksanaan Asian Games 2018 sejauh ini. Berbicara pelaksanaan hingga pecan terakhir, harus diakui masih banyak yang mesti ditingkatkan.
Pantang bagi seluruh panitia Asian Games 2018 untuk berpuas diri. Sebaliknya, setiap hari memuat kewajiban untuk meningkatkan kualitas dalam hal penataan, penyelenggaraan, dan pelayanan.
Adanya masukan hingga kritik terhadap pelaksanaan Asian Games 2018 membuat seluruh panitia termotivasi. Kritik dan masukan bukan perlambang kebencian, melainkan bukti kepedulian.
Kritik dan masukan yang kami terima juga menjadi inspirasi untuk melakukan sejumlah inovasi. Ini utamanya terkait dengan tiket pertandingan.
Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo meraih medali emas setelah mengalahkan juniornya, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dalam babak final Asian Games 2018 dengan 13-21, 21-18 dan 24-22 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8).
Salah satu kritik soal penukaran tiket membuat panitia melakukan sejumlah terobosan. Salah satunya adalah tiket yang dibeli secara daring tak perlu lagi ditukar menjadi tiket fisik. Setelah mendapat e-tiket di ponsel, pembeli bisa langsung masuk ke arena pertandingan dengan menunjukkan bukti.
Inovasi lain adalah membagi penjualan ke sejumlah mekanisme. Bagi yang hendak membeli tiket dengan jangka waktu maksimal dua hari sebelum laga, bisa membelinya di tautan http://blib.li/tiket-asian-games. Untuk pembelian tiket hingga jangka waktu maksimal sehari sebelum laga, bisa membelinya di https://tiket.com/promo/tiket-asian-games-2018.
Sementara untuk pembelian tiket khusus cabang olahraga bulu tangkis, basket, sepak bola pria, polo air, bola voli, dan e-Sports, tiket tersedia sampai hari pertandingan di https://asiangames2018.loket.com. Namun, semua alokasi tiket itu juga bergantung pada ketersediaan.
Sebagai gambaran saja, minat untuk membeli tiket bulu tangkis nyaris mencapai angka 100 ribu pembeli. Sedangkan kapasitas Istora hanya kurang dari tujuh persennya. Walhasil 93 persen dari calon pembeli terpaksa kecewa.
Memang, banyak yang mengeluh bahwa tiket habis, tetapi bangku tetap ada yang kosong. Ada berbagai penyebab dari bangku kosong itu. Umumnya, bangku kosong itu milik tamu undangan atau penonton yang belum datang ke arena pertandingan.
Ini seperti di awal babak pertama cabang sepak bola antara Indonesia versus UEA. Banyak yang awalnya protes di media sosial karena melihat via layar kaca banyak bangku kosong di Stadion Wibawa Mukti Cikarang. Kosongnya bangku karena si pemilik tiket datang agak telat ke lokasi pertandingan. Begitu 15 menit pertandingan berjalan, bangku pun terisi penuh.
Terkait tiket khusus undangan, inovasi pun mulai dilakukan dengan membatasi jumlah alokasi. Ini seusai hasil koordinasi Inasgoc dengan Dewan Olimpiade Asia (OCA). Tiket untuk jalur undangan, wartawan, atau federasi olahraga hanya akan dialokasikan sekitar 10 persen dari total kapasitas.
Tapi, perubahan itu tak lantas mengubah mekanisme bangku kosong untuk kepentingan keamanan. Sebab, tetap diperlukan ruang kosong demi antisipasi keadaan darurat. Jika ada kondisi darurat di tengah laga, area kosong itu bisa menjadi jalur evakuasi.
Saya menyadari, mayoritas kritik terkait penyelenggaraan Asian Games 2018 masih dalam batas-batas yang terukur dan konstruktif. Kritik memberi inspirasi terhadap perbaikan tata kelola dan teknis penyelenggaraan Asian Games 2018 yang semakin baik lagi.
Namun, saya juga berharap adanya sportivitas pula dalam menyosialisasikan sejumlah solusi yang telah ditempuh panitia. Ini agar setiap masukan yang diberikan seimbang bobotnya dan dapat dicerna masyarakat dengan utuh. Sebab, kritik tentu perlu dijawab dengan solusi. Sebaliknya, bukan kritik namanya jika juga tak dibarengi dengan informasi yang berimbang.
Tak sportif pula rasanya jika ada yang mengatakan dengan mudah bahwa Asian Games 2018 hanya berisi permasalahan dan rapor merah semata. Faktanya, lebih banyak apresiasi yang datang sejauh ini.
Chef de Mission (CDM) Kontingen Jepang, Yasuhiro Yamashita bahkan menyebut negaranya yang akan jadi tuan rumah Olimpiade 2020 harus mencontoh Indonesia dalam melaksanakan Asian Games 2018. "Saya cukup kagum sekali. Saya rasa ini bisa dijadikan contoh buat kami yang akan menjadi tuam rumah Olimpiade," kata Yamashita mengomentari penyelenggaraan Asian Games 2018.
Apa pun itu, pasti akan selalu muncul beragam reaksi dalam menyelenggarakan ajang sekelas Asian Games 2018. Mulai dari pujian, kritik, hingga cacian datang silih berganti. Semua menjadi konsekuensi yang harus dihadapi. Tapi, pujian tak lantas membuat kami terbang, cacian tak pula membuat kami tumbang, tapi kritikan yang membuat kami berkembang. Terima kasih.