REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erick Thohir, Ketua pelaksana Asian Games 2018 (INASGOC)
Berapa waktu yang diperlukan Korea Selatan (Korsel) untuk mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Asian Games Incheon 2014? Jawabannya lebih dari tujuh tahun.
Waktu lebih lama diperlukan Inggris untuk mempersiapkan Olimpiade 2012 di London. Sembilan tahun waktu yang diperlukan London untuk mempersiapkan diri sebagai tuan rumah tersukses sepanjang sejarah Olimpiade itu.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Berapa waktu yang tersedia bagi Indonesia untuk mempersiapkan Asian Games 2018? Jawabannya 827 hari!
Jika dihitung secara efektif, Indonesia hanya punya waktu sekitar dua tahun untuk mempersiapkan pesta olahraga terbesar di Asia. Dewan Olimpiade Asia (OCA) awalnya menunjuk Vietnam sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Penunjukan dilakukan pada 2012.
Vietnam saat itu punya waktu sekitar enam tahun untuk mempersiapkan diri. Baru sekitar 1,5 tahun mempersiapkan diri, Vietnam tiba-tiba mengangkat bendera putih.
September 2014, OCA menunjuk Indonesia menjadi tuan rumah pengganti Asian Games 2018. Namun untuk mempersiapkan diri tak bisa langsung dilakukan Indonesia. Sebab saat ditunjuk sebagai tuan rumah, Indonesia sedang dalam proses transisi pemerintahan.
Walhasil, kepanitiaan Asian Games 2018 baru secara utuh disahkan pada 13 Mei 2016 lewat Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2016. Sejak 13 Mei 2016 hingga hari pembukaan pada 18 Agustus 2018, berbagai pekerjaan mesti segera dituntaskan.
Membangun venue pertandingan, wisma atlet, membenahi transportasi, manajemen pertandingan, penyiaran, promosi, hingga mencari sponsor harus segera dituntaskan pemerintah maupun panitia Asian Games 2018 (Inasgoc). Pekerjaan makin kompleks karena persiapan tak hanya dilakukan di satu kota, melainkan dua wilayah yang terpaut jarak ribuan kilometer, Palembang dan Jakarta.
Singkatnya waktu, padatnya kerja, dan luasnya jangkauan wilayah membuat panitia kerja siang hingga malam. Bahkan tak jarang 24 jam.
Tak sedikit dari panitia yang jatuh sakit. Saya sendiri harus kehilangan tiga orang yang menjadi bagian dari kepanitiaan Asian Games 2018. Ketiga kawan itu meninggal dunia selama mempersiapkan Asian Games 2018. Sehingga jika saat ini Asian Games 2018 dipuji, maka dedikasinya lebih patut disematkan kepada ketiga sahabat itu.
Waktu singkat memang bukan jadi alasan. Terlepas dari waktu 827 hari persiapan, semua pihak yang terlihat dalam Asian Games 2018 tetap punya standar tinggi yang siap diuji.
Waktu 827 hari memang tak sebanding dengan Incheon yang punya waktu persiapan tujuh tahun.
Tapi kualitas Asian Games 2018 bisa diadu dengan Incheon bahkan Olimpiade London atau Rio sekalipun.
Presiden Joko Widodo menaiki motor saat pembukaan Asian Games 2018 di Stadion GBK, Senayan, Jakarta, Sabtu (18/8).
Lantas sukses atau gagalkah Asian Games 2018 ini? Saya tak ingin mendikte isi kepala masyarakat, apalagi media. Setiap pihak punya otonomi sendiri untuk menilai kualitas Jakarta dan Palembang sebagai tuan rumah Asian Games 2018.
Mulai dari venue, wisma atlet, promosi, penyiaran, hingga manajemen pertandingan bisa Anda semua bandingkan. Ini termasuk persoalan tiket pertandingan Asian Games 2018 yang bisa dibandingkan dengan ajang Asian Games terdahulu hingga ajang Olimpiade tersukses sekalipun.
Perlu diketahui bersama, setiap ajang multievent yang punya standar tinggi selalu memuat perhatian di sisi penjualan tiket. Mengapa? Sebab tiket adalah sarana masyarakat untuk bisa masuk dan terlibat dalam atmosfer pertandingan.
Sehingga saat tiket habis dan bangku kosong, sontak hal ini jadi sorotan. Sama halnya dengan Olimpiade London, Asian Games 2018 pun jadi sorotan karena isu tiket.
Mungkin orang Indonesia yang hadir atau wartawan yang ikut meliput Olimpiade London masih mengingat apa yang terjadi 2012. Saat itu, masyarakat Inggris protes karena tiket selalu habis, tapi bangku ada banyak yang kosong.
Usut punya usut, penyebabnya karena alokasi tiket khusus untuk sponsor dan undangan tidak diisi. Ya, karena kontribusi yang tidak sedikit, sponsor memang mendapat keistimewaan punya jatah khusus bangku di dalam stadion.
Bangku itu yang kemudian bisa dimanfaatkan langsung pihak sponsor, baik untuk direksinya, karyawan, atau kostumer. Tapi tak selamanya bangku sponsor itu terisi penuh.
Akibatnya muncul kesalahpahaman di tengah masyarakat saat Olimpiade 2012 lalu. Media terkemuka Inggris, the Telegraph bahkan mengangkat laporan mengkritisi persoalan tiket dengan tajuk 'Kegagalan, 12 Ribu Kursi Kosong'.
Hal yang sama terjadi di Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro. Saat itu, hampir setengah dari kapasitas stadion kosong karena tiket undangan tak dipakai. Lagi-lagi masalah bangku kosong juga menjadi isu saat pelaksanaan Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan.
Di Asian Games 2018, kondisi yang sama terjadi, walau dalam skala yang lebih kecil. Solusi yang diambil Inasgoc untuk mengatasi isu tiket adalah dengan memotong jatah tiket undangan. Langkah yang diambil ini mirip dengan apa yang dilakukan panitia Olimpiade London 2012.
Jadi jika ada yang mengira problem tiket adalah isu yang baru terjadi di Asian Games 2018, maka hal itu keliru. Isu tiket habis dan bangku kosong merupakan persoalan yang jamak terjadi dalam ajang multievent besar. Bahkan Olimpiade London 2012 yang dianggap sebagian kalangan sebagai Olimpade terbaik dalam sejarah muncul pula persoalan terkait tiket.