REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Reza Indragiri Amriel*
Gempa susul-menyusul di Lombok. Kesempitan hidup datang tak terperi. Semua pihak--bisa dibilang demikian--datang mengulurkan bantuan. Bisa dibayangkan, sumbangan berupa barang yang paling banyak diterima para korban gempa Lombok adalah mi instan, beras, popok, dan benda-benda kebutuhan harian lainnya.
Juga gampang untuk direka: perusahaan mi instan akan juga mengirim berkardus-kardus mi, perusahaan obat akan mendistribusi obat-obatan, perusahaan susu akan mendatangkan susu.
Bagaimana dengan perusahaan rokok? Apakah mereka juga mengirim bantuan dalam bentuk berjuta-juta batang rokok ke lokasi pengungsian? Toh secara getir harus diakui, rokok kadung menjadi bagian dalam menu harian sangat banyak orang di negeri ini.
Kehadiran perusahaan rokok di wilayah bencana bukan omong kosong. Di Kolombia, misalnya, Diana Nina Munoz (2015) menyimpulkan tidak sedikit otoritas lokal dan nasional yang memosisikan perusahaan rokok sebagai mitra dalam upaya mencapai tujuan pembangunan daerah dan nasional. Juga, sering kali perusahaan rokok menggandeng pihak pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dalam program-program kesejahteraan masyarakat, termasuk yang secara langsung menyasar kaum papa dan para korban bencana alam. Berkat 'jasa-jasa' yang didedikasikan oleh perusahaan rokok, instansi pemerintah pun menganugerahkan penghargaan kepada perusahaan dimaksud.
Pertalian sedemikian rupa jelas dibutuhkan oleh perusahaan rokok. Selama masa bencana letusan Gunung Merapi, salah satu perusahaan rokok dengan sempurnanya mengirim pekerja bala bantuan, mendirikan tenda-tenda pengungsian, dan menyediakan kendaraan untuk evakuasi korban. Logo perusahaan rokok maupun logo yayasan milik perusahaan rokok terpampang di semua perabotan tersebut. Dengan berkegiatan filantropis si daerah bencana, perusahaan-perusahaan rokok mengirim pesan sekaligus mengumpulkan bukti bahwa mereka adalah sama persis dengan dunia usaha lainnya. Yakni, mereka berbisnis mencari keuntungan seraya memeragakan--seolah-olah--kepedulian sejati pada warga yang berduka terpapar bencana.
Atas dasar itu, sesungguhnya amat penting apabila dana-dana tanggung jawab sosial baik dari perusahaan rokok maupun yayasan yang dibiayai perusahaan rokok tidak disalurkan sebagai bantuan bagi pengungsi bencana. Korban bencana tidak sepatutnya dimanfaatkan sebagai isian daftar penerima kebaikan perusahaan maupun yayasan semacam itu. Andai itu belum memungkinkan, patut kiranya diberlakukan aturan main bahwa perusahaan rokok maupun yayasan milik perusahaan rokok tidak memasang atribut mereka dalam bentuk apa pun pada segala bantuan mereka di lokasi pengungsian. Semestinya, karena partai politik saja dilarang memajang logo mereka di kamp pengungsi, apalagi perusahaan rokok dan yayasan terkait perusahaan rokok.
'Kebutuhan' Pengungsi
Pada sisi lain, banyak pula para pengungsi bencana alam yang memasukkan rokok ke dalam daftar 'kebutuhan pokok' mereka. Itu yang tergambar dalam riset Jennifer Q. Lanctot dkk. (2013). Menjadikan pengungsi badai Katrina sebagai subjek penelitian, para ilmuwan tersebut menemukan lebih dari separuh mantan perokok mengalami kekambuhan. Dengan alasan stres, sedih, dan merasa desakan yang tak tertahankan, rokok kembali menari di jemari dan bara kembali menyala di bibir para pengungsi itu. Begitu pula di kalangan pengungsi yang masih aktif mengisap rokok, aktivitas merokok mereka kian menjadi-jadi. Lebih dari separoh mengaku mengonsumsi rokok dalam jumlah semakin banyak sejak bencana berlangsung, yaitu rata-rata hingga lebih dari setengah bungkus per hari per orang.
Tidak sebatas pada fase bencana. Pascabencana, bahkan hingga dua tahun berselang, 44 persen lebih dari 143 keluarga yang diteliti dalam situasi banjir Buffalo Creek (Virginia Barat) juga melapor bahwa aktivitas merokok mereka semakin tinggi. Demikian temuan Matthew T. Feldner, Kimberly A. Babson, dan Michael J. Zvolensky.
Data di atas sama sekali tidak patut disepelekan. Apalagi memahami begitu vitalnya tindak-tanduk orang tua sebagai acuan perilaku anak, orang tua yang merokok tak terelakkan merupakan faktor yang sangat kuat memengaruhi anak-anak untuk juga menjadi pecandu rokok. Spesifik dalam situasi bencana, anak belajar dari orang tua mereka di zona pengungsian bahwa rokok merupakan penawar mujarab atas segala perasaan negatif yang muncul.
Kecenderungan untuk menjadi pecandu rokok juga semakin tinggi apabila guncangan stres pascatrauma para korban bencana tidak teratasi secara baik. Ini sesuai simpulan bahwa orang-orang yang menderita guncangan stres pascatrauma, termasuk trauma terkait bencana, menunjukkan perilaku merokok lebih tinggi ketimbang mereka yang tidak mengalami guncangan tersebut.
Mencegah para pengungsi agar tidak mengatasi kekalutan dengan melarikan diri ke rokok, menangkal para mantan perokok mulai menjadi perokok kembali di tenda-tenda pengungsian, perlu menjadi bagian dari rehabilitasi psikis para korban bencana alam. Jangan sampai nantinya para korban berhasil menjadi penyintas bencana alam, namun pada saat yang sama telanjur tenggelam sebagai korban bencana rokok.
Allahu alam.
*Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada