Senin 10 Sep 2018 07:46 WIB

Ekonomi Politik Perebutan Tanah

Negara yang seharusnya sebagai wasit justru menjadi aktor memenangkan korporasi.

Ilustrasi Sengketa Tanah , Konflik Tanah
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi Sengketa Tanah , Konflik Tanah

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh: Yoppie Christian, Sosiolog Pedesaan FEMA IPB/Peneliti di PKSPL-IPB

Euforia infrastruktur sedikit banyak menghapus memori khalayak kebanyakan bahwa sejak tahun 2009 Indonesia telah memiliki UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Lajunya pembangunan infrastruktur terjadi merata dari pusat sampai daerah untuk kepentingan transportasi antar daerah, industri dan perumahan. Penggusuran, ketimpangan, eksklusi masyarakat, hilangnya tanah-tanah produktif bukanlah persoalan utama yang menjadi prioritas. Konflik agraria kembali melebar, tak hanya di lokasi-lokasi tradisional seperti di kawasan sekitar hutan dan perkebunan melainkan juga di pesisir dan pulau kecil.

Implikasinya adalah akumulasi kekayaan di tangan beberapa orang. Dalam dokumen “Menuju Indonesia yang Lebih Setara: Laporan Ketimpangan Indonesia” (INFID-OXFAM 2007) dinyatakan bahwa kekayaan empat orang Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Salah satu jalur membanjirnya aset ke pribadi-pribadi super kaya adalah melalui korporasi untuk mengapitalisasi aset-aset komunal dan lahan-lahan garap petani, nelayan dan miskin kota, dengan menggunakan mekanisme legalitas tanah. Selama 15 tahun terakhir proses terkonsentrasinya kekayaan di Indonesia terus bertambah dari sektor ekstraksi sumber daya alam seperti sawit, batubara maupun mineral lain, serta dari bidang teknologi informasi dan keuangan.

Dari kajian di atas teridentifikasi bahwa faktor yang menyebabkan peningkatan ketimpangan tersebut adalah: a) Fundamentalisme pasar di mana pasar memaksa mekanisme konsentrasi kapital ke sebagian orang; b) Political capture di sektor yang lekat dengan rejim ijin dan policy yakni sektor keuangan, pertambangan, pertanian dan industri;  c) Terkonsentrasinya sumber daya pada laki-laki sementara perempuan dan anak kehilangan hak atas kesehatan dan pendidikan serta rentan menjadi miskin karena bekerja tanpa bayaran atau dibayar rendah; d) Ketidaksetaraan akses pada layanan kesehatan dan pendidikan bermutu; e) Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia adalah tenaga kerja dengan ketrampilan rendah dan kerja tidak aman. Jumlah ini makin bertambah dengan migrasi pekerja sektor pertanian ke sektor formal berkualifikasi rendah atapun informal yang tidak terlindung serta korban PHK dan penggusuran yang melahirkan buruh bebas; f) Sistem perpajakan yang tidak adil. Selama ini kontribusi pajak banyak berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sifatnya regresif dengan persentase tetap sehingga berlaku sama untuk semua kalangan sementara tidak ada pajak kekayaan progresif dari Pajak Penghasilan Pribadi (PPh), dan; g) Ketidaksetaraan akses pada infrastruktur dan lahan.

Konfigurasi ketujuh faktor di atas mengancam sumber agraria penting, yakni lahan atau tanah. Tanah-tanah dalam peta penguasaan negara Indonesia makin berkurang karena beralih menjadi milik pribadi, tanah bahkan menjadi komoditas yang diperdagangkan antar pemilik modal, atau dimonopoli. Negara kehilangan kuasanya atas tanah untuk kepentingan keadilan sosial dan tanah semata digunakan untuk kekayaan pribadi. Dari sinilah kehancuran bangsa agraris akan terjadi seperti dikatakan oleh Christodolou (1990): “ Masalah-masalah agraria sepanjang zaman pada hakikatnya adalah masalah politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan, dan siapa menguasai sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia!” (Wiradi 2001)

Secara global, perorangan dan badan-badan usaha secara sistematis berupaya untuk menguasai tanah di manapun berada sepanjang memiliki nilai ekonomi sebagai ruang produksi baru kapitalisme. Kondisi saat ini disebut dengan “racing to secure land rights before companies come knocking.” Namun yang terjadi, arena ini tidak seimbang karena negara yang seharusnya sebagai wasit justru menjadi aktor penting yang beragenda memenangkan korporasi dengan lagu lama “kemudahan investasi”. Masyarakat adat maupun lokal seringkali menghadapi kesulitan besar dalam proses registrasinya untuk mendapatkan dokumen legal. Jikapun berhasil, itu melalui waktu yang panjang dan melelahkan, namun secara kontras, korporasi bisa mendapatkan tanah relatif lebih mudah dan menemukan jalan pintas untuk mengatasi prosedur dan ketentuan/ijin pertanahan sehingga lebih cepat mendapatkan hak. Di Indonesia, masyarakat adat baru mendapatkan hak formal setelah kurang lebih 15 tahun sementara korporasi hanya perlu 4 tahun untuk mendapatkan hak (Nottes et al. 2018).

Setidaknya terdapat lima temuan dari riset ini tentang bagaimana sulitnya masyarakat adat/lokal untuk mendapatkan haknya berdasarkan studi di 15 negara berkembang: a) Proses registrasi yang panjang dan prasyaratnya tidak mudah bagi masyarakat yang selama ini terisolasi dalam dinamika lokal yang terbatas; b)Ketika masyarakat sudah mendapatkan tanah, masyarakat justru harus menerima haknya tidak penuh, bahkan menerima risiko baru misalnya jika ada pihak ketiga yang juga sudah mengklaim; c) Prosedur untuk mendapatkan pengakuan formal sangat sulit. Penyeragaman prosedur pendaftaran tanah menempatkan masyarakat lokal dan korporasi tidak seimbang karena masyarakat sulit secara finansial, waktu, enerji maupun database. Berbeda dengan korporasi yang memiliki tim hukum dengan dana besar untuk melengkapi dokumen serta melobi birokrasi; d) Masyarakat biasanya hanya punya dua opsi, gagal atau berhasil namun korporasi memiliki banyak cara baik yang legal, quasi-legal, extra-legal, atau bahkan ilegal. Hal ini bisa terlihat dari inkonsistensi tindakan ketika ada pelanggaran oleh korporasi.Keunggulan ini tidak pernah dimiliki oleh masyarakat; e) Kerangka kebijakan dan regulasi lebih murah hati bagi kepentingan investor daripada masyarakat sementara masyarakat hanya menerima dukungan yang lemah dari pemerintah, sebaliknya investor dilayani dengan murah hati.

Maka perebutan hak atas tanah adalah arena kompetisi ekonomi politik yang tak bersifat statik melainkan dinamis tergantung seberapa besar sumberdaya sosial, budaya politik dan ekonomi yang dimiliki dapat diperjuangkan. Namun arena pertempuran tidak akan seimbang sepanjang negara tidak juga berkehendak baik menyelesaikan persoalan agraria di Indonesia. Konflik-konflik agraria diperkirakan masih akan panjang akibat pertarungan antara kebutuhan mendasar yang nyata untuk hidup berhadapan dengan kekuatan modal yang didukung kebijakan. Melihat perjalanan Reforma Agraria sampai tahun 2018 tampaknya harapan bahwa negara akan mau menjalankan Reforma Agraria yang sejati menurut rumusan pendiri bangsa maupun UU Pokok Agraria masih jauh panggang dari api, bahkan malah dibajak untuk memberi karpet merah investasi dan neoliberalisasi. Rasanya 73 tahun ini kaum tani belum bisa merayakan kemerdekaan dari ketimpangan, mungkin nanti di peringatan kemerdekaan yang ke-74, ke-75, atau berikut-berikutnya, semoga.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement