REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip
Selama dua pekan terakhir, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam. Kurs jual sempat menyentuh level Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Banyak analisis dan opini yang berkembang di tengah situasi pelemahan rupiah ini.
Sayangnya, beberapa dari analisis dan opini yang berkembang dari kalangan pengkritik pemerintah atau pemerintah sendiri cenderung politis dan mengabaikan konteks. Sebagai contoh adalah adanya upaya yang mengaitkan kondisi pelemahan nilai tukar kali ini dengan krisis ekonomi pada 1998.
Beberapa pihak menyebutkan, pelemahan rupiah saat ini sudah seperti krisis ekonomi 1998. Namun, pihak pemerintah pun memberikan sanggahan yang tidak kontekstual dalam membandingkan antara kondisi saat ini dan pada 1998.
Perlu saya tegaskan bahwa krisis nilai tukar rupiah saat ini tidak sama dengan krisis nilai tukar rupiah pada 1998. Dilihat dari derajat pelemahan rupiahnya, jelas sangat berbeda.
Pelemahan nilai tukar rupiah saat ini jauh lebih kecil dari 1998. Itu artinya, sekalipun level nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini (katakanlah) sama atau beberapa pihak menyebut lebih rendah daripada level pada 1998, kinerja rupiah saat ini masih lebih baik dari 1998.
Setahun terakhir, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sekitar 11 persen. Dalam periode yang sama pada 1998, nilai tukar rupiah melemah sekitar 250 persen.
Namun demikian, “reklame” yang menyebut kondisi ekonomi saat ini tidak sama dengan 1998 juga merupakan klaim yang tidak kontekstual. Mengapa tidak kontekstual? Krisis nilai tukar rupiah pada 1998 dapat disebut sebagai puncak dari rangkaian krisis yang terjadi sejak awal 1997.
Krisis nilai tukar rupiah yang mencapai puncaknya pada Juni 1998 dimulai dari adanya currency turmoil di Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia pada Juli 1997. Lalu, krisis nilai tukar ini berkembang luas menjadi krisis ekonomi dan sekaligus krisis politik karena di saat yang sama ketidakpercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah kian meluas akibat serangkaian kebijakan yang bernuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Memasuki 1999, meski krisis ekonomi belum sepenuhnya selesai, kondisinya mulai berangsur pulih setelah serangkaian kebijakan reformasi (termasuk reformasi ekonomi) dijalankan. Bahkan, pada akhir masa pemerintahan Presiden BJ Habibie (Oktober 1999), nilai tukar rupiah menguat menjadi sekitar Rp 6.500 per dolar AS.
Pertanyaannya, apakah kondisi pelemahan nilai tukar saat ini sudah mencapai puncak sebagaimana yang terjadi pada 1998? Sejauh ini, tidak satu pun pihak yang berani memastikan nilai tukar rupiah saat ini sudah mencapai level paling bawah. Itulah mengapa saya menyebut “reklame” yang membandingkan kondisi saat ini dengan 1998 tidak kontekstual. Sebab, peluang pelemahan rupiah lanjutan dan penguatan masih sama-sama terbuka.
Kondisi ekonomi kita saat ini memang masih lebih baik. Namun, belajar dari krisis ekonomi 1997-1998 yang awalnya dari krisis nilai tukar, bila kita tidak mampu mengembalikan stabilitas nilai tukar, bisa jadi kondisi ekonomi yang saat ini baik akan berubah menjadi tidak baik dan mendekati kondisi 1998.
Itu artinya, pengendalian nilai tukar dapat disebut sebagai salah satu kunci untuk menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi yang kini positif. Bila tidak diantisipasi secara serius, efek dari pelemahan rupiah ini dapat ke mana-mana, tidak hanya pada sektor keuangan, tetapi juga bisa berimbas pada sektor riil dalam bentuk gangguan produksi akibat terhambatnya impor karena semakin mahalnya bakan baku dan barang modal.
Betul bahwa pelemahan nilai tukar rupiah saat ini banyak disebabkan oleh faktor eksternal, seperti efek dari kebijakan kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, kebijakan perang dagang AS, dan respons kebijakan yang dikeluarkan negara-negara lain. Tampaknya, faktor kegaduhan (noise) lebih dominan membentuk persepsi pelaku pasar dalam menentukan keputusan investasinya, terutama investasi portofolio.
Sebagaimana analisis saya di Republika (Senin, 3/9) lalu, kita sedang menghadapi AS yang sedang ingin menjadi “great again”. Oleh karena itu, saya berpendapat penanganan krisis mata uang ini tidak bisa dilakukan parsial oleh masing-masing negara. Saya menyarankan agar pemerintah dan BI berinisiatif mengajak negara lain, terutama yang terdampak noise yang diciptakan AS, untuk bertindak bersama-sama mengatasi krisis nilai tukar ini.