Ahad 16 Sep 2018 06:10 WIB

Indonesia dan Masa Depan Ekonomi Syariah

Perkembangan Ekonomi Syariah tergantung pada preferensi moral-keagamaan umat Islam.

Ada hal penting dalam pengembangan ekonomi syariah. (ilustrasi)
Foto: aamslametrusydiana.blogspot.com
Ada hal penting dalam pengembangan ekonomi syariah. (ilustrasi)

Oleh: Ema Indriana, Mahasiswi Fakultas Ekonomi Univesitas Islam Jakarta

Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia kian tumbuh. Tapi apa arti Ekonomi Syariah ini?

Jika kita teliti Pasal 1 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dikutip Dr. Mardani dalam bukunya Hukum Sistem Ekonomi Islam (2015), sepintas Ekonomi Syariah adalah “Ekonomi Biasa”. Sebab Kompilasi itu mengatakan bahwa Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial. Yang sedikit membedakannya adalah ada tambahan kalimat “menurut prinsip Syariah”.

Hanya saja, aktifitas ekonomi berkarakter Syariah itu salah satunya didasarkan pada Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 29 : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.”

Kalimat terakhir ayat tersebut menekankan prinsip ekonomi umum dengan tekanan pada suka sama suka. Ini menunjukan ada unsur “pasar” dalam pandangan Ekonomi Syariah itu. Yang membedakannya, juga berdasarkan ayat di atas, adanya  larangan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil. Dimensi etik ekonomi sangat terlihat pada ayat tersebut.

Mungkin, karena adanya unsur “pasar” di dalam perekonomian Syariah tersebut telah menyebabkan jenis ekonomi khusus ini bisa berkembang di Indonesia. Ini terbukti dari berkembangnya lembaga-lembaga keuangan dengan label Syariah. Sebagaimana kita lihat dewasa ini hampir tidak ada lembaga perbankan yang tidak mengembangkan “Bank Syariah”. Kendatipun ada bank yang dimiliki asing misalnya kita menemui adanya bank asing itu syariah”.

Jika bank asing saja mempunyai unsur syariah apalagi bank-bank yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti Bank Mandiri Syariah, Bank BRI Syariah, Bank BNI Syariah, dan Bank BTN Syariah. Bahkan Bank BCA yang dimiliki pengusaha nonpribumi pun membangun “Bank BCA Syariah”. Belakangan ini muncul lembaga-lembaga keuangan Syariah yang beroperasi di dalam sektor Asuransi, Koperasi, dan Pegadaian.

Semua ini membuktikan apa yang disebut dengan Ekonomi Syariah fungsional dan memiliki unsur “pasar”. Jika tak ada faktor keduanya, fungsional dan “pasar”, tidaklah mungkin jenis ekonomi ini berkembang.

Ekonomi Kapitalisme Sekular

Masalahnya adalah Sistem Ekonomi Syariah ini berjalan seiring dengan Sistem Ekonomi Kapitalisme “Sekular”. Kenapa Sekular? Karena sistem kapitalisme ini lahir tanpa dukungan agama.

Jenis ekonomi ini merupakan pengalaman kongkrit masyarakat barat yang dirumuskan Adam Smith (1723-1790) dalam buku terkenalnya yang terbit pada 1776, The Wealth of Nation. Karya Smith ini menekankan pembagian kerja (division of labor) dan bersifat sukarela dalam mengejar keuntungan. Ini berbeda dengan Ekonomi Syariah yang didasarkan pada al-Qur’an. Smith berpandangan bahwa pada intinya orang perorang mengejar kepentingan mereka masing-masing. Inilah yang menimbulkan sistem pembagian kerja di atas.

Lebih lanjut, Paul De Grauwe dalam bukunya The Limits of The Market (2017) menjabarkan lebih lanjut pandangan ini. Bahwa bekerjanya ekonomi kapitalistik itu karena konsumen memutuskan secara otonom berapa banyak dan apa yang dikonsumsi. Ini juga berlaku dengan perusahaan-perusahaan yang memutuskan berapa banyak dan apa yang diproduksi. No one tells them what to do “tak seorangpun mengajari apa yang harus dilakukan), kata Paul De Grauwe.

Semua ini mengikuti arus penawaran dan permintaan (suply and demand). Paul De Grauwe menyatakan “ketika produk barang dan jenis pelayanan baru menarik perhatian (catch on), maka para pengusaha dapat memperoleh laba tinggi. Ini menunjukan dua hal. Pertama, ada demand yang mendorong pengusaha memproduksi barang dan jasa tertentu. Kedua, “rekayasa” yang membuat harga barang dan jasa itu lebih atraktif (menarik).

Untuk itu, lanjut Paul De Grauwe “makes higher provit”  (memperoleh keuntungan yang lebih tinggi). Caranya adalah dengan cheaper production method (metode produksi yang lebih murah). Lalu Paul De Grauwe menyimpulkan “This mecanism explains why capitalism is a system in which there is constans technological progress, forming the basis for spectaculer advances in material prosperity” (Mekanisme ini menjelaskan mengapa kapitalisme adalah sistem dimana terdapat kemajuan teknologi yang tetap, membentuk dasar untuk kemajuan luar biasa dan kemakmuran material). Di sini, demand (permintaan), direkayasa sedemikian rupa untuk secara kontinu memikat konsumen.

Masa Depan Ekonomi Syariah

Perbandingan antara Ekonomi Syariah dan Ekonomi Kapitalis memperlihatkan bahwa yang terakhir jauh lebih dinamis dan lebih tanggap terhadap perkembangan zaman.

Contoh rekayasa demand (permintaan) yang dinyatakan Paul De Grauwe di atas menunjukan tingginya tingkat daya tanggap Sistem Ekonomi Kapitalisme Sekular. Sistem Ekonomi Syariah lebih dibimbing oleh ketentuan-ketentuan yang berada dalam al-Qur’an. Kendatipun berkembang, namun kepesatannya belum sebanding dengan sistem ekonomi kapitalisme sekular.

Hal ini wajar mengingat kapitalisme barat jauh lebih tua dibandingkan dengan praktek Ekonomi Syariah di Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana masa depan Ekonomi Syariah berhadapan dengan Ekonomi Kapitalis?

Tentu perlu penelitian lanjutan untuk menjawab pertanyaan di atas. Untuk sementara dapat dinyatakan bahwa perkembangan Ekonomi Syariah dewasa ini lebih ditentukan oleh preferensi keagamaan dan moral daripada sifat fungsional dan “pasar”-nya. Secara otomatis, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam perkembangan Ekonomi Syariah sangat tergantung pada preferensi keagamaan dan moral penduduk terbesar itu.

Di sinilah letak masa depan Ekonomi Syariah. Kendatipun sukar mengalahkan Sistem Ekonomi Kapitalis Sekular, jika preferensi keagamaan dan moral tersebut meluas kepada hampir seluruh penduduk Indonesia yang beragama Islam, yaitu 80% dari 280 juta penduduk Indonesia, jenis ekonomi ini menemukan pasar yang sangat luas.

Bukankah 208 juta penduduk itu merupakan pasar yang sangat besar?.  Maka setidak-tidaknya dilihat dari sudut pandang ini Ekonomi Syariah akan cerah.

    .

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement