Senin 24 Sep 2018 12:07 WIB

Krisis Timur Tengah, Masihkah Mengharapkan PBB?

Kekerasan di Timur Tengah terus terjadi dan menimbulkan badai pengungsian besar.

 Pengungsi Suriah bersiap meninggalkan negaranya untuk mencapai Arsal, kota perbatasan Lebanon Kamis (28/6).
Foto: AP Photo/Bilal Hussein
Pengungsi Suriah bersiap meninggalkan negaranya untuk mencapai Arsal, kota perbatasan Lebanon Kamis (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh Arief Setiawan, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, Malang

Dunia seolah-olah diam mendengar jerit tangis anak-anak, orang tua, dan perempuan di Palestina, Yaman, dan Suriah. Juga di belahan bumi lainnya ketika kekuatan negara merampas hak asasi manusia dengan beringas.

Berbagai kantor berita hampir tiap hari menampilkan terjadinya kekerasan bersenjata di seluruh penjuru dunia. Berbagai kekerasan tersebut seakan-akan terus berlangsung tanpa solusi karena serangkaian upaya yang dilakukan seringkali hasilnya nihil.

Berbagai forum internasional bermunculan untuk menuntaskan beragam peristiwa kekerasan tersebut. Dialog-dialog tersebut terkesan hanya menjadi komoditas karena tak bisa hentikan hasrat struggle of power suatu negara.

Alih-alih menunjukkan perubahan positif, faktanya cenderung bekebalikan. Kekerasan terus berlangsung sehingga menimbulkan badai pengungsian di negara yang menjadi arena konflik. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun hanya bisa berseru.

Selain itu, mereka hanya melakukan tindakan kuratif yang sifatnya sementara terhadap para korban. Paparan di atas merupakan gambaran dari konflik yang melanda dunia saat ini. Konflik yang di dalamnya berkelindan dengan kepentingan negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Kekerasan di Gaza akibat aneksasi Israel, agresi koalisi Arab Saudi di Yaman, konflik berakar dalam di Suriah, genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar, dan diskriminasi terhadap jutaan warga Uighur di Cina menjadi potret dunia masa kini.

Berbagai laporan kredibel tentang situasi hak asasi manusia di wilayah tersebut tak menyurutkan nyali negara tersebut untuk terus bertindak atas nama kepentingan nasional. (Carlsnaes, Risse, dan Simmons, 2002).

Kerja keras masyarakat global untuk mengakhiri kekerasan di bebagai wilayah selalu terhenti ketika dihadapkan pada forum DK PBB. Beberapa negara anggota tetap DK PBB hampir selalu memveto tiap keputusan yang dinilai merugikan koalisi mereka.

Padahal, kita bisa melihat terang benderang itu layak disebut sebagai pelaku kejahatan paling serius. Akibatnya, PBB tak bisa melakukan aksi intervensi kemanusiaan dan/atau penindakan secara hukum terhadap pihak yang dinilai paling bertangggung jawab.

Andaikan muncul resolusi tanpa veto, keputusan DK PBB seringkali terlambat akibat lamanya negosiasi yang dilakukan. Dalam tataran internasional, mekanisme di PBB bukanlah satu-satunya instrumen untuk menuntaskan dugaan kejahatan paling serius.

International Criminal Court (ICC) juga bisa menjadi solusi untuk penyelesaian kejahatan paling serius. Namun, ICC dalam hal ini mempunyai yurisdiksi terbatas, yakni hanya bisa mengambil tindakan atau menerima aduan di negara peratifikasi Statuta Roma.

Inilah masalah besar yang harus dihadapi masyarakat dunia ketika kekerasan masif, terpola, dan sistematis terjadi di suatu negara. Dalam hal ini, PBB tak bisa berbuat banyak terhadap sistem internasional.

Mendiskusikan sepak terjang organisasi regional kontemporer, berbagai literatur cenderung memusatkan pada kerja sama pada aspek ekonomi. Membentuk pasar bersama atau melakukan liberalisasi perdagangan dalam kerangka organisasi kawasan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement